Memimpin dari Sekarang

“Oh, dia ikut pelatihan kepemimpinan? Memangnya dia sudah promosi?”

Demikian respon yang cukup sering saya dengar, semisal ketika ada seorang rekan yang masih berstatus sebagai staf atau team member, didaftarkan untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan. Sebuah pertanyaan standar yang memang masih menggelayuti pikiran banyak orang, yang rasanya perlu diluruskan.

Saya termasuk golongan yang percaya bahwa kepemimpinan itu bisa dipelajari. Dan menggunakan kata belajar, saya tidak sedang mengatakan bahwa mempelajari kepemimpinan—sebagaimana mempelajari ilmu lain—adalah sesuatu yang instan. Tidak pernah ada program kepemimpinan yang mampu memastikan seorang extraordinary staff berubah menjadi extraordinary leader, hanya sebab melalui sebuah program pelatihan. Kalau ada, tolong beritahu saya ya, karena saya ingin ikut. Hehehe…

Sementara ahli ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan tidak bisa diajarkan, namun bisa dipelajari. Sebuah pertanyaan yang tricky, karena mengandung asumsi yang menarik. Kepemimpinan tidak bisa diajarkan, sebab ia adalah sekumpulan proses kompleks yang sulit untuk ditransfer. Kepemimpinan tidak punya rumus matematis yang memungkinkan seseorang untuk secara mudah mengikuti langkah demi langkahnya secara pasti, dan selalu memunculkan hasil yang tepat. Maka tak heran, tidak semua anak pemimpin hebat, bisa menjadi sehebat orang tuanya.

Nah, kepemimpinan bisa dipelajari, sebab mempelajari kepemimpinan memang lebih merupakan proses aktif dari sang pembelajar, daripada keahlian transfer of knowledge dari sang pengajar. Sang pembelajar lah yang mesti proaktif menelusuri pengetahuan yang perlu dipelajari, untuk kemudian mengolahnya menjadi keterampilan yang mapan. Maka banyak pula ahli yang kemudian menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah sebuah seni. Dan seni, adalah beyond science. Ketika sains berhasil merumuskan sebuah formula, ia perlu dipoles dalam keseharian agar menjadi seni. Layaknya seorang seniman lulusan IKJ, yang mesti berlatih menghasilkan ratusan karya sebelum akhirnya benar-benar menjadi seorang seniman. Sebab seni, memang merupakan proses mentransformasi sebuah patokan baku, menjadi patokan luwes yang adaptif dan kontekstual.

Sampai di sini, maka saya pun memilih untuk yakin bahwa kepemimpinan jelas bukan merupakan sebuah skill yang ujug-ujug muncul. Ia harus melalui perjalanan panjang pembentukan karakter hingga akhirnya matang. Maka pengembangan kepemimpinan pastilah merupakan proses berkesinambungan yang tidak bisa dipotong-potong. Sebab tabiatnya yang sinambung itulah, maka baru mengikutkan seseorang pelatihan kepemimpinan ketika ia sudah menjabat sebagai pimpinan, jelas merupakan sebuah keterlambatan yang fatal.

Mari kita bayangkan seorang IT Programmer, yang begitu ahli berurusan dengan computer. Sebab performanya yang kinclong, ia pun dipromosi menjadi supervisor. Apa yang terjadi kira-kira, kala ia yang tadinya hanya berurusan dengan mesin, kini harus mengurusi sekian banyak programmer lain plus sejuta  problematikanya? Ada yang suka terlambat, ada yang sakit-sakitan, ada yang baru menikah, ada yang pembantunya pulang kampong, dan seterusnya.

Jika Anda sama dengan saya, maka kemungkinan jawaban kita pun mirip: stres!

Lalu kita ikutkanlah ia dalam pelatihan kepemimpinan. Belajar lah ia tentang berbagai aspek manusia yang sama sekali asing baginya. Dan kita berharap ia segera berubah menjadi pemimpin handal setelah itu?

Mimpi kali yeeee…

Hehehe…

Sepandai-pandainya, taruhlah baru 6 bulan kemudian ia akhirnya ngeh dengan berbagai teori ini, dan akhirnya mulai bisa mempraktikkannya. Maka jadilah selama 6 bulan itu, baik ia dan timnya: menderita.

Ah, terdengar familiar? Tidak heran, karena kasus seperti ini bertebaran di setiap organisasi.

Nah, sampai di sini tentu Anda sepakat bahwa mengikutkan seseorang yang masih staf ke dalam program pengembangan kepemimpinan, bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab keterampilan memimpin memang harus dipelajari jauh hari, dan dilatih secara konsisten, sebelum bisa dipetik hasilnya.

Maka alih-alih menunggu, memimpin lah dari sekarang. Dari tempat kita berada. Dari posisi yang kita pegang.

Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan hal ini?

Insya Allah akan dibahas di artikel berikutnya.

Teddi Prasetya Yuliawan

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger