Membedakan counselling dengan coaching

From: HARSA Consulting

 

Secara sederhana councelling dapat dibedakan dengan coaching sebagai berikut:

Counselling

Coaching

Lebih melebar dan mendalam.

Fokus lebih terarah.

Tujuan: membantu orang lain agar mengerti akar permasalahan yang mebyebabkan terjadinya suatu problem atau issue dalam pekerjaan.

Tujuan: memperbaiki/meningkatkan kinerja seseorang dalam pekerjaan.

Intervensi jangka pendek yang dapat bertahan lama karena luasnya issue yang dihadapi.

Lebih merupakan intervensi jangka pendek.

Counselling bisa digunakan untuk menanggulangi issue psiko-sosial dan performance.

Coaching bukan untuk mengatasi masalah psikologis.  Diaumsikan coachee tidak memerlukan intervensi psiko-sosial intervention

Agenda biasanya disepakati oleh individual yang terkait bersama counsellor.

Agenda umumnya dinuat oleh coachee dengfan persetujuan bersama dengan coach dan para pihak yang dilibatkan.

Tidak melibatkan stakeholder lain.

Dapat melibatkan stakeholder lain.

 

Jelaslah mengapa coaching sangat diperhatikan dalam organisasi/perusahaan yang peduli dengan people development. Ketrampilkan coaching sangat penting bagi manager / atasan (coach) yang berkepentingan dengan perbaikan/peningkatan kinerja anggota teamnya (coachee), dan perbaikan itu dilaksanakan bersama-sama oleh coach dan coachee, bahkan bila perlu melibatkan pihak lain di dalam organisasi/perusahaan. Ketrampilan coaching dapat dipelajari setiap manager/atasan sekalipun tidak berlatar belakang pendidikan psikologi, karena masalah yang dihadapi adalah masalah perbaikan kinerja sehari-hari yang tidak terkait masalah psiko-sosial. Berbeda dengan counselling yang sebaiknya dilakukan oleh profesional dalam psikologi.

 

7 Trik Kampanye K3 Via Email

Bagaimana cara menggunakan media email sebagai media kampanye K3 ?

Selain media kampanye K3 yang sudah kita kenal seperti safety sign, safety poster, safety video, dll, kita juga dapat menggunakan email, baik dalam bentuk teks ataupun newsletter bergambar untuk mengirmkan berbagai materi menarik untuk meningkatkan kepedulian rekan kerja kita terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Berikut ini adalah berbagai trik yang diadaptasi dari teknik email marketing para Internet Marketer dalam mengirimkan email komunikatif  yang kemungkinan besar akan dibaca oleh penerima email:

1.      Pastikan kita mengenal orang yang kita kirimi email agar lebih terpercaya dan tidak dicap sebagai spam yang berujung pada pembuangan email kita ke folder spam/ junk mail. Hindari kata kata pada judul/ subject email yang dapat terdeteksi sebagai SPAM oleh aplikasi SPAM Filtering di email. Kata kata tersebut adalah "Free",  "Money",  kata dengan HURUF KAPITAL SEMUA, dsb.

2.      Kriteria Judul/ Subject email yang kemungkinan akan dibuka oleh penerima email adalah yang memiliki salah satu dari 7 kriteria sebagai berikut:

  • Singkat, contoh: " Tips Cepat Atasi Migrain"
  • Kontroversial, contoh: "Jangan Gunakan Safety Helmet Anda"
  • Frasa Bertanya, contoh: "Apa Media Terbaik untuk Kampanye K3 ?"
  • Memiliki Angka Jumlah Tips, contoh: "7 Cara Selamat Bekerja di Ketinggian"
  • Perintah Solutif, contoh: "Minimalkan Kecelakaan Kerja di Perusahaan Anda Sekarang!"
  • Memiliki Waktu terbatas , contoh: "Safety Helmet Gratis, Hanya untuk Hari ini "
  • Gaya Klasik, yaitu judul email yang cukup terkenal dan memiliki kemungkinan dibaca lebih besar, yaitu "You Are Not Alone" (Anda Tidak Sendirian) dan "Did You Get It ?" (Apakah Anda Sudah Mendapatkannya)

3. Personalisasikan email kita dengan menggunakan software email merge yang dapat memasukan nama penerima email di subject email, jadi walaupun dikirim secara masal, dengan software tersebut bisa menampilkan subject beserta nama penerima email. Contoh, kalau penerima emailnya bernama Pak Budi: Tips K3 di Rumah untuk Pak Budi

4.      Mulailah paragraf pembuka pada email Anda dengan salam penghormatan (seperti Dear Pak Budi), kemudian dilanjutkan dengan sesuatu yang menarik perhatian pembaca seperti kisahnyata/ cerita, data statistik (contoh: Data ILO menu jukkan bahwa Penyakit Jantung adalah Pembunuh No 1 di dunia), dsb.

5.      Gunakan bahasa ringan, sesingkat dan sejelas mungkin

6.       Perbanyak kalimat persusasif dan metafora (permisalan) dan hindari kalimat kalimat yang bernada menggurui.

7.      Tutup akhir email dengan kesimpulan, kalimat ajakan, kalimat himbauan untuk membalas email Anda (Contoh: Bagaiman menurut pendapat Anda tentang hal tersebut ?"), ucapan terima kasih, dan salam penghormatan .

Smoga trik tersebut bisa dipraktekan dalam kampanye K3 dengan menggunakan email kepada rekan rekan Anda di Kantor.

Anda memiliki tips lain untuk memperkaya trik kampanye K3 via email ini ?

Sumber: Lorco.co.id  dan diadaptasi juga dari berbagai sumber

(Silahkan membagikan artikel ini dengan syarat mencantumkan sumber aslinya)

By Kang Aa Widi Safari

 

 

Coaching - a powerful catalyst for transforming performance

When we were at school, perhaps the least useful criticism a teacher could offer us was to write 'could do better' at the end of our work. It was hardly a helpful remark because, unadorned, it told you nothing other than that the teacher didn't like your work very much and wasn't even sufficiently inspired to offer suggestions for how you could actually do better.

As adults, we feel entitled to receive constructive comments about our work or our overall performance. Yet no matter how constructive these comments might be, the truth of the matter is that today, in the real world of business, all of us, without exception, could indeed do better.

Or at least we could, if only we knew how.

The purpose of coaching in business is precisely that: to empower you to do better and to show you how you can do better. Learning how to do better is not an easy task. As children we are more open to having our personalities guided and our performances prodded and improved than we are as adults. By the time we reach adulthood, our experiences of life, combined with our genetic heritage, leave most of us feeling that our personalities are fully formed and that we're not really open to making changes in our attitude or behaviour.

You hear the consequences of this all the time. 'I am what I am', people say. 'Take me or leave me', they proclaim. 'It's too late for me to change' is another comment beloved of those who do indeed feel that it is too late for them to change.

The trouble is, though, that people who make these kinds of proclamations do in fact very rarely perform to the top of their potential. They might do well, perhaps even very well, but even if this is so, you can be sure that, yes, they could do better.

But if they are going to do better, two basic factors need to feature within their attitude towards their performance.

The first factor is a willingness to change. Fortunately, this is a diminishing obstacle in today's business world. Coaching is maturing as a concept and people are getting accustomed to the idea that coaching is not just a remedial intervention for people who aren't doing well, but rather a means of helping people who are already doing well to do even better.

The second factor is a willingness to find out what you need to do in order to change for the better. Add those two factors together and you have an irresistible formula for being more successful in the future. For the truth is that whatever level of performance we reach, there is always going to be an 'increment of improvement' available to us.

Just as professional sportsmen and women take for granted the need to probe every aspect of their performance to make it even better, anybody in business - no matter how much they have achieved to date - should surely do the same. They must, in short, accept the role that coaching can play in maximizing their own performance and helping them strive for a stratospheric level of achievement.

In broad terms, business coaching should be directed at all of the following objectives:
 

  • amplifying an individual's own knowledge and thought processes
  • improving the individual's self-awareness and facilitating the winning of detailed insight into how the individual may be perceived by others
  • creating a supportive, helpful yet demanding environment in which the individual's crucial thinking skills, ideas and behaviours, are challenged and developed


That's the broad picture. What about the specifics of coaching?
Business coaching today covers a wide range of areas of human expertise. Some coaching is directed at improving important niche skills such as writing a marketing plan or even a press release. On the other hand, coaching can also involve psychological interventions that address very fundamental personal issues, preconceptions and attitudes the individual brings to the workplace.

Not every kind of psychological intervention is coaching, however. For example, psychotherapy and counselling, powerful as they can be as tools, are directed more at helping individuals understand themselves better in a personal context and cope with and enjoy life more.

Business coaching is focused on business, and in particular on how individuals can be helped to perform better at the organizations that employ them. In practice, some of the issues addressed by business coaching, psychotherapy and counselling may be quite similar, but there is a significant difference in that business coaching is ultimately about helping the individual to perform at a maximum level within a particular organization.

Another significant difference between business coaching and psychotherapy/counselling is that business coaching tends to be focused around a very specific problem or challenge identified by the individual being coached or by the organization that employs him or her. This means that business coaching is usually limited in duration, and will always focus on the problem in hand. Psychotherapy or counselling, on the other hand, involve going into aspects of the 'private self' and can last for a long time, even many years.

What sort of person should be a business coach?
When a particular professional or technical skill is being taught, an experienced practitioner in that area of expertise is likely to be the best coach. But when a more psychological type of intervention is required, such as when a behavioural issue is being scrutinized in the coaching process, a trained psychologist with experience of the real world of business is most likely to be suited to the demanding needs of the assignment.

"Business psychologists need to be good at spotting the positive aspects of an individual's psychological make-up"

Indeed, if a proper psychologist is not used, there is a serious danger that the intervention may be unskilled or superficial, and may perhaps cause more problems that it solves. Business psychologists, however, bring to their work an in-depth understanding of human behaviour, thought processes and other manifestations of personal psychology in the business world.

Business psychologists need to be good at spotting the positive aspects of an individual's psychological make-up that are responsible for successful performance. But in many ways, the most important contribution business psychologists can make to the coaching process is to be able to identify problems that are inhibiting the individual's performance or preventing the individual from really fulfilling their potential.

This last point is particularly important. As human beings we are, at one level, simply highly sophisticated types of biochemical machines. And, like any other machine, it is all too easy for our capabilities to be massively undermined by a spanner in the works. The spanner might be something easily identifiable through just one or two coaching sessions, or it might be something buried deep down in the individual's make-up: something that needs unearthing by a business coach carrying out a fairly detailed and in-depth investigation into their psychological background.

A high-performer, for example, who refuses to delegate authority even to highly able and dedicated colleagues, may have a simple but not immediately obvious personal reason for being like this. These personal reasons often turn out to originate in the individual's childhood. It's not necessarily the case that the individual doesn't perform well, but rather that the individual will never be all they can be until the problem is identified and recognized. This may be solved in just one session, or it may take many months. But when a cause of negative behaviour is identified and its potency diminished, the sky can be the limit as far as individual - and corporate - performance is concerned.

Because coaching is essentially a psychological intervention, it's easy to assume that the benefits it yields will themselves be psychological and relatively intangible. But this is not the case at all. There is abundant evidence that coaching can be a highly effective process at a commercial level.

Benefits to organizations providing coaching can include the following:

  • Improvement in company revenues and profits
  • Enhancement in operational efficiency
  • Development in employee morale and motivation
  • Increased employee productivity particularly through developing soft skills
  • The provision of clear thinking space to gain clarity and fresh perspectives
  • The leveraging of organizational culture change
  • Better career progression and succession planning
  • The creation of cultures and environments which promote loyalty and reduce staff turnover.
  • There's no doubt that coaching is already recognized as a major resource for businesses in the UK. According to recent research undertaken by the Chartered Institute of Personnel & Development (CIPD), around 87 per cent of UK companies make use of some form of coaching to develop their staff.

Business coaching can take place on a one-to-one or team basis. The crucial point is that either individual executives or the team of executives shall be given access to one or more professional specialist coaches who are solely motivated by the desire to help the coached person succeed. The coach will be - or should be - immune from company dynamics and politics, while also being aware of them. The coach will take time to monitor, assist and guide the coached person without having any other personal or political agenda than the success of the individual.

Today, there is a boom in business coaching. The reason is not hard to find: it can help an individual being coached make great strides in their personal performance, and the quality of this personal performance can also bring huge benefits to the organization employing the individual. There is a particular boom in one-to-one coaching, because this form of coaching is especially effective. Indeed, business executives are so much aware of this that increasingly the provision of a coach on an ongoing or periodic basis will be enshrined in employment contracts, especially for senior people.

Finally, what about the confidentiality issue?
This is always a sensitive matter in business coaching because one principal purpose of the coaching activity is to unearth and identify issues that may be inhibiting the individual from performing to his or her fullest capability. To what extent should the organization who employed the coach (and most coaches are employed by the organization rather than the individual) be made aware of these issues?

The simple answer is that it is unethical for a coach to break confidence about sensitive matters. Coaches will therefore regard the coaching sessions with individuals as sacrosanct and private. However, they will certainly urge individuals to bring particularly difficult problems to the attention of the organization and may in certain circumstances ask the individual's permission to do this themselves. Furthermore, any really serious problem identified does need to be brought to the attention of the organization, but again, this must be done with the full consent of the person being coached. Unless confidentiality is in place, there is little chance of the individual approaching the coaching procedure with the level of frankness necessary for the process to be effective.

Have a positive day!

 

Salam,
Mohamad “Bear” Yunus

 

 

Membudayakan Coaching di Tempat Kerja

Oleh: Ubaydillah, AN

Mengapa coaching itu penting ?

Dari berbagai studi terungkap bahwa sebenarnya karyawan itu menyukai kegiatan semacam training, seminar, workshop, dan semisalnya. Apalagi jika misalnya kegiatan semacam itu diadakan di luar kantor, katakanlah seperti di puncak, di hotel, di luar kota atau di luar negeri. Alasannya tentu bermacam-macam. Mungkin ada yang karena ingin menambah pengetahuan, meningkatkan keahlian, mendapatkan sertifikasi keahlian, memperluas jaringan, ingin mendapat kawan baru, ingin berlibur, atau hanya karena ingin menikmati budget pengembangan SDM yang sudah disediakan organisasi.

Selain itu, secara manusiawi pun sebenarnya perusahaan atau pimpinan akan lebih bangga, lebih bahagia dan lebih senang kalau sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Normalnya, manusia itu akan lebih bahagia kalau bisa memberi apa yang dibutuhkan orang lain. Apalagi orang lain yang diberi itu adalah orang yang selama ini membantu atau bekerja dengannya.

Cuma, dalam prakteknya hanya sedikit perusahaan atau organisasi yang sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Tentu ini sebabnya beragam. Mungkin ada yang disebabkan dananya tipis. Training, seminar atau workshop sekarang ini biayanya gila-gilaan. Apalagi jika diadakan di tenmpat-tempat yang elit. Meski semua mengakui ini penting tetapi prakteknya hanya perusahaan atau organisasi tertentu saja yang mau dan mampu.

Selain karena dana, waktu pun juga menjadi masalah. Untuk sebagian organisasi atau perusahaan, bisa dibilang tidak ada waktu untuk mengirim anak buah ke tempat pelatihan yang memakan waktu lebih dari satu hari. Ini karena pekerjaan di kantor sendiri numpuk sampai ada yang lembur segala. Mengirim anak buah ke tempat semacam itu bisa dianggap pemborosan. Tak hanya soal dana dan waktu, efektivitas training, seminar dan workshop, pun menjadi perhitungan sendiri.

Kalau mencermati berbagai hasil penelitian, ternyata tidak secara otomatis kegiatan training, seminar atau workshop itu bisa efektif bagi organisasi atau perusahaan. Secara hasil, penelitian membaginya menjadi tiga kategori, yaitu: a) positive transfer, b) negative transfer, dan c) poor transfer.

Kita pasti sepakat bahwa meningkatkan skill karyawan (dalam pengertian yang luas) itu penting. Soal caranya bagaimana, ini memang butuh penyesuaian berdasarkan keadaan kita masing-masing. Untuk sebagian kita yang kebetulan belum bisa meningkatkan karyawan dengan mengirim mereka ke pelatihan, seminar atau workshop, cara lain yang perlu kita lakukan adalah membudayakan coaching.

Apakah Coaching itu ?

Coaching adalah pembinaan. Secara teoritis, coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan / senior untuk melatih dan memberikan orientasi kepada bawahanya tentang realitas di tempat kerja dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal. Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru, orang yang menghadapi pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah prestasi kerja atau orang yang menginginkan pembinaan kerja. Tujuannya adalah untuk memperkuat dan menambah kinerja yang telah berhasil atau memperbaiki kinerja yang bermasalah

Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching ini  antara lain:

1.      Meningkatkan TC ke DC

Istilah ini saya pinjam dari literatur kompetensi. Di sana dikatakan bahwa TC (thereshold competency) adalah kompetensi dasar yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum bisa dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa menyalin surat ke komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat telepon, jika seorang sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon orang atau mengirim faksimile penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas dasarnya.

Sedangkan DC adalah Differentiating Competencies (DC). DC adalah karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja tinggi (high performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja rendah (low) atau kurang (poor). Kita bisa ambil contoh misalnya seorang sales yang sudah menguasai keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk memelihara pelanggan yang menghasilkan hubungan kausalitas dengan penjualan. Sales seperti ini bisa dikatakan orang yang berkinerja tinggi dengan kompetensi yang dimiliki.

Persoalan yang kita hadapi adalah, bagaimana meningkatkan TC seseorang menjadi DC? Disinilah coaching berperan. Kalau kita hanya menyerahkan (memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing individu, bisa-bisa saja. Cuma saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab tidak semua individu sadar, tidak semua individu tahu, dan tidak semua individu menempuh cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC ke DC. Konon,  98 % dari usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui pekerjaan yang dilakukan

2.      Jalan menemukan 3R

Meski semboyannya SDM itu aset, tetapi prakteknya tidak seluruhnya begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset. Kata orang-orang SDM: “Hanya SDM yang bagus yang menjadi aset usaha”. Bagus ini apa penjelasannya? Penjelasan yang umum bisa kita singkat dengan 3 R: right people, right job and right performance.

Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana menemukan 3R ini? Tentu kita sadar bahwa 3R ini bukan sebuah hasil yang final (one-off). Amat sangat jarang kita bisa langsung menemukan orang yang tepat untuk ditempatkan di pekerjaan yang tepat agar bisa mencapai performansi yang tepat (tinggi).  Yang sering terjadi, 3R ini ini dicapai melalui proses. Jangan kan karwayan, presiden atau menteri atau pejabat negara yang sudah diseleksi sedemikian rupa pun tidak bisa langsung mencapai 3R ini. Bahkan waktu seratus hari pun dikatakan belum valid untuk menilai kinerja presiden dan menterinya.

Karena itu, coaching bisa menjadi salah satu jalan untuk menemukan 3R. Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke tingkat yang ideal, tapi setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan memperluas wilayah “interkoneksi” antara ‘workforce requirement’ dan ‘workforce capabilities’. Kalau pekerjaan yang ada menuntut  orang yang punya skill berskala 7, sementara skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala 5, ini tentu wilayah interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung, harus dinaikkan.

3.      Jalan menemukan pemimpin dari dalam

Dulu, praktek bajak-membajak tenaga ahli pernah menjadi isu besar di beberapa media massa. Sekarang pun praktek semacam ini masih kerap dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita. Adakah sesuatu yang salah dengan praktek bajak-membajak ini? Secara konsep memang tidak. Cuma dalam prakteknya, tidak semua orang yang kita bajak itu menjadi “berkah”. Ada yang malah menjadi beban. Artinya, meski konsep ini bisa jadi benar di teorinya tetapi untuk mempraktekkannya butuh konteks yang tepat dan alasan yang spesifik.

Kalau melihat hasil studi yang dilakukan Jim Collin, rupanya praktek bajak-membajak ini kurang digemari oleh para pemimpin usaha yang sudah sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka rupanya punya tradisi untuk mengembangkan seorang pemimpin (senior atau tenaga ahli) dari dalam. Dipikir-pikir, ini memang rasional. Orang dalam yang kita kembangkan, akan memiliki pengetahuan tentang keadaan secara lebih mendalam ketimbang  tenaga baru yang kita bajak.

Nah, kalau melihat ke sini, coaching bisa kita jadikan instrumen atau jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari dalam. Dilihat dari efektivitas dan efisiensinya,  cara ini mungkin lebih menjamin ketimbang membajak tenaga baru yang masih “abu-abu”. Kalau pun orang yang kita coaching itu tidak menjadi pemimpin di tempat kita, tetapi setidak-tidaknya kerjanya sudah lebih bagus.

Hambatan di Lapangan

Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang umum, yang perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah lain: soft competency dan hard competency, job skill dan mental skill). Semua karyawan menginginkan skill-nya naik, tapi cara yang mereka inginkan ternyata (yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di tempat kerja. 88 % jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa memiliki seorang mentor atau coacher di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk kemajuan karirnya (CCL, Emerging Leader Research Survey Summary Report, 2003)

Meski sedemikian rupa coaching itu pada hakekatnya dibutuhkan, tetapi prakteknya masih belum banyak yang melakukan. Beberapa hal yang kerap menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini, misalnya:

  1.  Budaya menghakimi / memarahi

 Kita langsung memarahi karyawan saat melakukan kesalahan. Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap kita lupakan adalah apa yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita lakukan membenci atau menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang kita lakukan setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.

  2. Budaya membiarkan

 Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri karena kita malas atau tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini tentu berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk mandiri dalam menerapkan pengetahuan.

  3. Budaya mengerjakan sendiri

 Kita menangani sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang percaya

  4. Budaya mengharapkan hasil yang instan

 Kita mengharapkan hasil yang instan dari apa yang kita instruksikan pada mereka.

  5. Budaya arogansi birokrasi

Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi gengsi atau kita enggan turun ke bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan atau posisi, justru semakin jauh dari realitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan masalahnya di bawah.

Dan lain lain seterusnya

  Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu sebenarnya juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik orang itu jauh lebih berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan. Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau metode yang kita gunakan tidak cocok dengan keadaan orang yang kita coach.

Beberapa hal yang penting

Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah menjadi sebuah realitas tetapi belum ada namanya.  Artinya, kegiatan ini sudah dipraktekkan tetapi tidak memakai nama coaching. Sebaliknya juga, mungkin untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini hanya sebuah nama tetapi tanpa realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu coaching, manfaatnya apa, tujuannya apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.

Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:

1.      Memiliki data yang akurat

Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam pengertian yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan sebagai catatan pribadi yang berisikan tentang gap antara skill yang dimiliki karyawan  dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi masalah yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari waktu ke waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika kita hendak meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang belum perlu, mana yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan seterusnya.

2.      Menemukan metode yang ”teachable”

Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini memang kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang terpenting di sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik yang dapat membuat orang yang kita didik itu bisa mendidik orang lain dan begitu seterusnya. Dengan begitu, tanpa harus kita yang turun langung, program coaching tetap berjalan di tempat kita. Ini tentu sangat positif. Selain meminterkan orang lain, ini juga bisa membentuk lingkungan yang positif.

3.      Menghidupkan, bukan mematikan

Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama tahu bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi dalam prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan tetapi ada cara yang mematikan,  ada cara yang mendorong tetapi ada  cara yang malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang bisa bertentangan dengan niat yang kita maksudkan. Karena itu, meski niat kita baik, namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan, me-looking-down-kan, atau menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah bagus.  Semoga bermanfaat!!  Sumber : e-psikologi

 

 

Kami mengenalnya sebagai kakaknya Hasan

Anak itu masuk ke kelas kami di pertengahan tahun, wajahnya tampan dan tidak banyak bicara. Biasanya anak-anak yang masuk di pertengahan tahun tidak didampingi oleh ibu atau pembantunya, karena mereka sudah cukup dewasa. Tetapi Hasan, yang bertubuh lebih tinggi dari teman-teman sebayanya didampingi oleh seseorang yang belakangan kami ketahui adalah kakaknya, yang sudah kelas lima SD.

Sekalipun kelas kami hanya berlangsung hari Minggu pagi, Hasan cepat sekali menarik perhatian karena ia suka berteriak-teriak tiba-tiba di tengah-tengah jalannya kelas. Kejadian sepert itu membuat semua pasang mata beralih kepadanya. Kecuali satu orang ... kakaknya. Kakaknya akan memeluknya dan berusaha menenangkannya. Kami yang mengajar kelas itu berpikir bagaimana ia bisa tidak malu dengan adiknya itu?

Saat aktivitas mewarnai tiba, Hasan akan berlari-larian di dalam kelas. Hasan belum bisa mewarnai, bahkan ia belum bisa memegang pinsil warna seperti teman-teman TK.B lainnya, jadi ia tidak mau duduk di depan gambar. Pada saat seperti itu hanya kakaknya yang berusaha menangkapnya dan membantunya memegang pinsil untuk mewarnai. Kami seringkali berpikir bukankah seharusnya kakaknya Hasan berkejar-kejaran dengan teman-teman sekelasnya?

Hasan suka sekali coklat, tapi ia tidak mengerti mengapa ia tidak boleh makan remah-remah kue coklat yang jatuh ke lantai dan sudah diinjak-injak oleh anak-anak. Kalau semua orang melihatnya dengan jijik, kakaknya dengan sabar menerangkan kepada Hasan berkali-kali, yang mungkin tidak akan pernah peduli seperti angin yang masuk kiri keluar kanan. Kami juga berpikir betapa sabarnya kakaknya Hasan, lebih dari guru Hasan sendiri.

Waktu setengah tahun sangat cepat berlalu. Anak-anak harus mulai pindah kelas ke kelas satu. Tapi Hasan pindah ke kelas Anak Berkebutuhan Khusus yang baru saja di buka tahun itu, karena disitulah tempat anak-anak Autis dan ber IQ kurang dan kakaknya Hasan pergi ke kelas enam, dimana ia seharusnya. Kami melambai-lambaikan tangan pada anak-anak, tapi kami tidak sempat melambaikan tangan kepada kakaknya Hasan. Kami terharu melihat anak-anak yang sepertinya tiba-tiba bertambah besar, tapi kami rindu pada melihat kakaknya Hasan. Ia pastinya tidak mengerti tentang job desc atau tugas dan tanggung jawab secara tertulis. Tapi ia tahu pasti apa artinya menjadi seorang 'kakak'. Ia akan melakukan seluruh upaya untuk melaksanakan apa yang ia pikir sebagai tanggung jawab seorang kakak.

Saya membayangkan saat hari perpisahan itu seisi langit berhenti bekerja, melihat ke bawah kepada kakaknya Hasan dan berkata, 'disinilah seorang kakak yang agung berada'. Peristiwa itu sudah lama terjadi, tapi kami tidak pernah bertemu lagi dengan kakaknya Hasan, dan kami tidak mengenal namanya, karena yang kami kenal adalah adiknya. Pepatah mengatakan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Andaikata ada tanda jasa, kami merasa, kakaknya Hasan jauh lebih berhak daripada kami.

Ditulis oleh Jusak

 

O Tempora! O Mores!

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.

 


     Itu adalah kata pembukaan orasi dari senator Cicero saat berdebat melawan Catilina, seorang politikus Roma di hadapan Senat Romawi tahun 63 SM. Oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini! Kutipan lengkapnya seperti ini: "O tempora! O mores! Senatur haec intellegit, consul videt; hic tamen vivit. Vivit? Immo vero etiam in senatum venit, vit publici consili particeps, notat et designat oculis ad caedem unum quemque nostrum. Nos autem, fortes viri, satisfacere rei publicae videmur, si istius furorem ac tela vitamus. Ad mortem te, Catilina, duci iussu consulis iam pridem oportebat, in te conferri pestem, quam tu in nos machinaris."

 

      Artinya: Oh, zaman apakah ini! Oh, akhlak macam apakah ini! Senat sudah mengetahuinya, Konsul sudah melihatnya; namun orang ini (Catilina) masih juga hidup. Dia itu sungguh hidup? Ya, dia bahkan datang ke Senat, dia ikut serta merumuskan kebijakan publik, dengan pandangan matanya dia mencatat dan menentukan setiap orang dari kita semua untuk dibunuhnya. Sementara kita ini, orang-orang yang gagah berani, tampaknya sudah puas dengan mengurus kepentingan umum apabila kita berhasil menghindari kegilaan dan senjata orang ini. Dan engkau, Catilina,  seharusnya sudah sejak lama, atas perintah Konsul, bencana kematian yang telah kau rancang untuk kami semua, ditimpakan kepadamu (dikutip dari Proverbia Latina, 2006).

 

***

 

     "Marketing is not just one of the most important ideas in business. It has become the most dominant force in human culture," begitu ujar Geoffrey Miller (dalam bukunya Spent: Sex, Evolution, and Consumer Behavior, Penguin Books, New York, 2009). Di jaman ini, hampir semua produk yang kita beli telah melalui suatu bentukan proses pemasaran tertentu. Para pemasar di era mutakhir ini terus berpikir keras untuk mencari jalan bagaimana menjual produk yang bakal semakin membahagiakan kita. Proses produksi bukan semata dipicu oleh angka pencapaian profitabilitas produk pada semester yang lalu, namun lebih di-drive oleh
pelbagai riset empiris tentang preferensi dan personalitas manusia, termasuk juga penghayatan dan pendalaman lewat riset kualitatif consumer-insight.

 

     Ekonomi nampaknya tidaklah diatur diam-diam oleh "tangan tak terlihat" (the invisible hands) ala Adam Smith, tetapi lebih karena rekayasa canggih melalui teknologi pemasaran para global-marketer di perusahaan-perusahaan transnasional. Hasrat manusia digiring ke arah pemujaan tanda (simbol) dewa-dewi jaman modern atau post-modern. Logo dan merek (brands) menjadi ideologi (diterima kebenarannya tanpa kritik). Dan yang dalam perspektif posmo, kebenaran itu tidak ada yang tunggal. Dengan mengideologikan merek-merek ini, proses penjualan telah dilapangkan jalannya, fanatisme (cara melihat dunia dengan kacamata kuda) telah menjadi cara pandang konsumen terhadap realitas dunianya. Tempat-tempat "ibadah" post-modern (mall, plaza, square, centre, situs internet, dll) telah menjadi suatu lokasi (place and space) dimana para jemaat merek (brand) mereguk kesegaran rohaniahnya paling tidak seminggu sekali. Di dalam mall ada banyak stasi-stasi dimana jemaat post-modern bisa berhenti sejenak untuk mendapatkan visi tentang citra dirinya di masa depan (jika membeli dan memakai merek dari stasi tertentu itu), meng-amin-inya, lalu bergerak ke stasi-stasi berikutnya demi mendapat "pencerahan" lebih lanjut. Begitulah ritual masyarakat pemuja merek mengolah kerohaniannya setiap minggu. Kalau perlu, sekali waktu diadakan semacam "kebangunan rohani" pemasaran (baca: Mega Sale! Diskon 70%), ala Crocs misalnya, yang telah berhasil membuat ribuan orang (tua-muda, pria-wanita) berbaris antri – beratus-ratus meter di dalam mall! – dengan tertib dan khusyuk demi memperoleh "berkat" dari merek sandal modis itu.

 

***

 

     Halaman depan media massa kita beberapa waktu ini terus didominasi oleh kisah para pejabat yang tertangkap terang-terangan mengumbar hasratnya libidinal
dalam pelbagai kasus: Anggoro, Antasari, kasus Gayus serta rangkaiannya, Melinda, kasus Nurpati, sampai ke kasus Nazaruddin yang menyeret-nyeret anggota dewan perwakilan kita ke dalam transaksi pasar buah (apel Malang, apel Washington) yang rupanya adalah kata ganti benda untuk uang rupiah dan uang dollar, walahuallam! Mentalitas menerabas ke jalan pintas, tidak lagi menghargai proses, ketekunan dan disiplin, rasanya telah endemik di jaman ini. Mengapa kita semua bisa sampai di persimpangan jalan (tepatnya: kubangan) seperti ini? O tempora! O mores! Pertanyaan sederhana ini, dengan sedikit perenungan yang berjarak, bisa menjadi eksistensial.

 

     Jika marketing begitu sentral perannya dalam kebudayaan manusia jaman modern, tentu ia membawa tanggung jawab sosial yang juga semakin besar. Dalam
konteks ini, kita sepakat bahwa etika pemasaran menjadi imperatif. Minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin.

 

--------------------------------------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING edisi September 2011)

 

Malu... Antri... Mengerti Dahulu!

Seri Artikel Home Improvement

“Silahkan duluan, Pak…”, ucap seorang bapak tua ramah kepada saya. Beliau mempersilahkan saya untuk duluan antri ke loket sebuah bank.

Pagi itu adalah Senin pertama di awal bulan. Dan seperti yang biasa saya amati di setiap kantor Bank pada hari Senin pertama setiap bulannya, terjadinya transaksi keuangan yang jauh di atas kondisi biasanya. Ditandai dengan begitu banyak orang yang sudah mengantri di depan loket, bahkan ketika loket itu sendiri belum dibuka.

Seperti sebuah ritual bulanan, pagi itu saya setor ke sebuah bank untuk melakukan kewajiban saya membayar kredit kepemilikan rumah yang saat ini saya tinggali. Kebetulan pagi itu juga saya harus bergegas karena baru saja saya mendapat SMS bahwa saya telah ditunggu untuk sebuah pertemuan di kantor tempat saya bekerja.

Bergegas memarkir mobil, menyambar tas, masuk gedung bank, dan begitu banyak orang sudah mengantri di depan loket sementara waktu juga belum menunjukkan pukul delapan. Rasa kemrungsung mulai melanda. Cepat saya menyambar slip setoran, mengisinya, dan sejurus kemudian bergegas menuju antrian. Setengah berlari saya kesana, ketika pada waktu yang sangat bersamaan, seorang bapak tua juga berjalan pelan menuju mulut lorong antrian. Kami berdua bertemu berhadapan tepat di depan bibir jalur antri.

Tiba-tiba dibenak saya dilanda sebuah niatan untuk menyerobot ke jalur antrian lebih dahulu. Karena toh saya menganggap antara saya dan sang bapak tua sama-sama punya hak yang sama untuk saling mendahului...hmm...? Paling tidak begitu anggapan saya saat itu.

Hampir terjerembab ke depan, ketika tiba-tiba saya refleks menahan niatan untuk melompat ke jalur antrian, ketika waktu itu justru dengan ramah sang bapak tua memberi tanda dengan tangan terbuka, sambil tersenyum mempersilakan saya untuk duluan.

Muka saya seperti tertampar. Untuk membalas senyum kepada sang bapak tua itu pun saya begitu berat, malu rasanya. “Maaf, pak, saya melancangi bapak…. Saya terburu-buru…” begitu kata saya kemudian berusaha mencairkan beban rasa bersalah.

“Oh, ndak apa-apa, mas, silahkan…silahkan... Saya tidak buru-buru kok... Kalo sudah sampai jatahnya kan ya nanti pasti kebagian…, ya kan, mas?” begitu kata si bapak. Sebuah kata-kata yang menurut saya barmakna dalam. Membuat saya menjadi semakin merasa kecil.

Saya tidak tahu persis apakah sang bapak ini pernah membaca teorinya ‘seek first to understand…’ atau belum. Tapi yang jelas, pagi itu sang bapak tua ini telah mempraktikkannya. Dan lucunya, beliau mempraktikkannya di depan saya. Di depan seseorang yang belajar ‘seek first to understand’..., mengamatinya dalam kehidupan keseharian, tapi toh praktiknya masih harus banyak belajar justru kepada seseorang yang mendengar nama Stephen Covey aja mungkin belum pernah.

Perilaku antri adalah sebuah contoh bagaimana kita mau tidak mau harus berusaha untuk ‘mengerti dahulu’ orang lain. Terutama ‘mengerti dahulu’ terhadap orang yang berdiri mengantri di depan lebih dahulu dari kita. Entah itu ‘mengerti dahulu’ karena mereka datang lebih awal, atau yang lainnya. Tapi yang jelas esensi dari mengantri, kita seolah dipaksa untuk belajar bahwa sesibuk apa pun kita, sepenting apa pun kita, setinggi apa pun jabatan kita, siapa pun kita, seburu-buru apa pun kita, ketika tiba giliran kita harus mengantri, maka kita harus ‘mengerti dahulu’ bahwa yang mengantri lebih dahulu memiliki hak untuk lebih dahulu dilayani.

Budaya antri di bangsa kita ini, saat ini walaupun terkadang masih terlihat orang-orang berperilaku memalukan—seperti yang saya lakukan pada cerita diatas—tetapi terlihat ada kemajuan yang berarti dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Saya masih ingat sekitar tujuh tahun lalu kebelakang, sebelum saya menikah, di mana saya sering melewatkan waktu saya untuk nonton bioskop. Kala itu, ketika orang harus membeli tiket bioskop, situasi masih begitu menyedihkan. Untuk beli tiket di loket, orang main serobot sana serobot sini. Orang yang besar bisa dengan leluasa mendorong dan mendesak yang lain untuk bisa menerobos antrian, sementara sang kecil juga bisa dengan gesitnya berkelit di antara kerumunan untuk tiba-tiba nongol di depan meja loket.

Tapi saat ini budaya antri itu seperti berangsur-angsur membaik. Pernah juga saya ingat suatu ketika pada suatu masa beberapa tahun lalu, dalam iklan layanan televisi, begitu gencarnya disiarkan kampanye budaya antri ini. Sehingga di saat ini kita bisa lihat, di kantor-kantor layanan masyarakat, loket, kasir pasar swalayan, orang begitu patuh untuk antri. Begitu patuh untuk mempraktikkan sikap ‘mengerti dahulu’ kepada orang lain yang lebih dahulu tiba di antrian. Memang sih, di jalur antrian terdapat pak satpam selalu mengawasi. Apakah orang-orang ini tetap mengantri rapi tanpa kehadiran aparat pengaman? Entahlah. Tapi saya masih berusaha berprasangka baik bahwa saat ini budaya kita untuk ‘seek first to understand’ mulai ada dan tumbuh.

Tapi, ada lagi satu hal yang saya lihat sampai saat ini masih terlihat sangat memprihatinkan. Yaitu, lagi-lagi, budaya orang-orang dalam berkendara di jalan raya. Kita bisa lihat di sekitar kita, bila suatu saat terdapat antrian panjang karena kemacetan jalan. Masih saja ada orang-orang yang berusaha menerobos antrian dan ‘memakan’ jalur jalan sisi kanan mendahului antrian kemacetan jalan. Mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan bepotensi untuk justru semakin membuat jalan menjadi macet. Dan lebih dari itu, yang mereka lakukan adalah sebuah praktek ‘kontraproduktif’ untuk tidak peduli kepada orang lain. Bayangkan kalau di dalam mobil yang nyelonong itu, juga terdapat anak-anak mereka. Apa kira-kira pelajaran yang mereka peroleh dari kejadian itu?

Pagi itu, di kantor bank itu, untuk mengurangi dan meredakan rasa bersalah dan kemrungsung saya. Saya pun kemudian mengambil keputusan untuk menelepon kantor memberitahukan agar pertemuan bisa jalan duluan tanpa kehadiran saya, karena saya baru akan tiba setengah jam kemudian. Kemudian saya berusaha untuk mencairkan suasana dengan cara beramah tamah dengan orang di belakang saya berdiri mengantri, alias sang bapak tua tadi.

Dan luar biasa! Basa-basi singkat dengan sang bapak tua itu selama kami mengantri, telah memberikan begitu banyak pelajaran kepada saya tentang bagaimana sang bapak memahami kehidupan. Saya belajar untuk mulai bisa merasakan bagaimana bisa seseorang yang tahu akan diserobot jalan antriannya, justru tetap tersenyum, berhenti dan memberi jalan sambil mempersilakan untuk duluan.

Dan kalau dirunut-runut. Semua itu hanya bisa terjadi ketika tertanam sebuah sikap proaktif, mampu melihat ‘end in mind’ , memulai yang utama, legawa untuk berpikir menang-menang dan bisa mengerti dahulu sebelum menuntut orang lain untuk mengerti dirinya. Si bapak tua belum pernah belajar Seven Habit. Tapi sikap budaya itu seperti telah menjadi perilakunya. Lagi-lagi saya harus malu.

Dan pagi itu saya masih juga harus merasa malu kepada teman-teman yang menunggu saya untuk pertemuan di kantor. Karena kenyataannya memang, dari keputusan sikap yang saya ambil terhadap mereka pagi itu, mereka tetap berusaha untuk ‘mengerti dahulu’…[pitoyo amrih]  

Have a positive day!

Salam,
Mohamad “Bear” Yunus

 

 

Coaching & Mentoring

Anna Britnor Guest

Implementation of Coaching & Mentoring

It is unfortunate that coaching and mentoring relationships do not typically occur automatically. Both require careful consideration of requirements, expectations and objectives. Format, content and timescales need to be formally agreed. They are dependent on mutual respect and empathy between both parties and underpinned by a shared commitment to achieving results.

For this reason, it may be appropriate to use a third party to assist with the design and implementation of the scheme, whether it be based on a coaching or mentoring model. This could be a specialist within the HR department or one of the many organisations offering mentoring and coaching services, from the 'big players' to the independent 'one person' practices. Finding the right match is important: not only must there be rapport between the two parties but the external mentor or coach must also immerse themselves in the culture and understand the challenges facing the organisation The internal mentor, meanwhile, must demonstrate strong and appropriate communication and interpersonal skills. If these factors are not present, programmes remain superficial and short-lived, with little opportunity for measurement. Assisting companies in finding the right approach is a new Web-based service. The Coaching & Mentoring Network offers free on-line access to a growing database of coaches and mentors both in the UK and overseas and operating in a variety of fields.

In conclusion, both coaching and mentoring have much to commend them. Benefits may be gained from utilising different approaches across the organisation. A newly appointed MD may employ a mentor to assist him in his development into the role, he may also create an internal mentoring scheme within the R&D department and implement an external coaching programme for the sales division.

Whatever the schemes may be called, one-to-one development can be a powerful organisational and personal development tool, assisting forward-thinking companies maximise success in the new Millennium. The key is to define the aim and objective and to implement a programme designed from the outset to achieve specific measurable benefits. In terms of the original question of coaching or mentoring or both? As Marion Gillie of Sheppard Moscow emphasises 'The labels don't matter - it's the process the counts'.

 

 

Coaching and Mentoring

by Anna Britnuor Guest

Coaching and Mentoring for the Senior Executive

In employing a coach or mentor, the senior executive needs to consider a number of factors. The first key consideration is the objective - what am I hoping to achieve? Coaching and mentoring services are often required at times of significant organisational or personal change, for instance on promotion to board level. Many new Directors face a variety of challenges, from how to behave with former peers who are now subordinates through to operating more strategically. Whether the requirement is driven by the individual or the company, the choices are numerous. For instance, is it appropriate to engage a member of the same organisation, a peer within a different company via an exchange scheme or professional mentor or coach? There are no hard and fast rules: there are benefits and drawbacks to each.

An internal mentor can be a powerful aide in providing admittance to parts of the organisation otherwise inaccessible. Their strength comes from their detailed and specific internal knowledge but this can evidently pose some issues in terms of company politics and matters of confidentiality. A mentor who comes from another organisation brings different benefits, particularly in offering alternative perspectives and insights. The downside is that mentoring relationships are not always easy to establish and maintain and can peeter out if they are not formalised at the outset and managed appropriately.

The alternative is to employ a professional coach or mentor. The benefits are gained from working with an individual who is highly skilled as well as experienced in managing such relationships. Drawbacks are that an external coach may not be able to leverage opportunities for networking and inside track promotion.

The growth of coaching as a means of organisational development and training is not insignificant with many prestigious organisations opting to fund one-to-one programmes for entire senior or middle management teams. Others provide board members with a personal, external mentor or coach to facilitate improvements in key interpersonal skills such as communication and co-operation within a team environment. Using this approach, a leading china manufacturer is gaining considerable benefit in examining, understanding and evolving how the board members operate as a cohesive team.

For the senior executive, the coach is an ideal sounding board and a powerful facilitator for personal growth along with behavioural and attitudinal change. He or she is an objective partner who will support and yet challenge views, behaviours and attitudes in a constructive manner. Above all, the executive gains an ally whose primary motivation is their success.

 

 

10 Jenis Pekerjaan dengan Tingkat Resiko Kematian Tertinggi

Apa saja 10 Jenis pekerjaan dengan tingkat resiko kematian tertinggi tersebut ?

The Bureau of Labor Statistics (BLS) di Amerika Serikat  mengeluarkan data hasil surveynya  pada 100,000 pekerja. Data tersebut mengungkapkan 10 Jenis pekerjaan dengan tingkat resiko kematian tertinggi yaitu :

  1. Nelayan/ Pekerjaan menangkap ikan di laut. Angka: 116.0
  2. Pekerja penebangan pohon. Angka: 91.9
  3. Pilot dan teknisi penerbangan. Angka: 70.6
  4. Petani dan Peternak. Angka: 41.4
  5. Operator Mesin Pertambangan. Angka: 38.7
  6. Pekerja yang bekerja di atap: 32.4
  7. Pekerja di tempat barang rongsokan dan daur ulang. Angka: 29.8
  8. Supir mobil dan supir truk.  Angka: 21.8
  9. Teknisi mesin mesin industri. Angka: 20.3
  10. Polisi dan Sherif. Angka: 18.0.

Semoga kebiasaan kita dalam mengutamakan perilaku safety dapat memperkecil angka kecelakaan pada apapun pekerjaan yang digeluti.

Adakah rekan Pro Safety yang memiliki informasi mengenai data sejenis untuk wilayah Indonesia ?

Sumber: Lorco.co.id  dan diadaptasi juga dari berbagai sumber

Sumber Asli dapat dilihat disini

(Silahkan membagikan artikel ini dengan syarat mencantumkan sumber aslinya)

By Kang Aa Widi Safari

 

 

Coaching and Mentoring

Coaching and Mentoring

by Anna Britnor Guest

Organisation-wide Coaching Programmes

Whilst it has been established that a fine line differentiates coaching from mentoring at senior management level, the distinctions are clearer when one examines company-wide schemes.

Coaching programmes are generally implemented at times of change or rapid growth. Results can be phenomenal. Companies developing a strong coaching culture demonstrate a strong commitment to empowering their employees to learn and grow. These companies are rewarded with greater loyalty, involvement and commitment, which in tangible terms are manifested in increased motivation, effectiveness and professionalism of both individuals and groups.

Whilst an increasing number of organisations are introducing coaching as the basis of their staff development programmes, a small number of forward-thinking companies have gone one step further. One such company is Mitel Telecom. Four years ago they replaced their hierarchical management structure with a coaching model. Mike Ford, Sales Director, explains 'We established that the traditional hierarchy was too costly and that we needed a flatter structure. There's no right or wrong, but we felt that the only successful management style for us moving forward was coaching. It means that we share a lot more information on strategic things like business planning and new ventures with our staff early on, before final decisions have been made. Whilst this can mean more to-ing and fro-ing the result is almost always an improved idea'. The benefits have also been realised in employee attitudes. 'We have high levels of motivation and morale and when you have that you have better performance. The coach gives all the power to the people in the team. Their role is totally unselfish - they are there purely to make their people better in terms of both skills and performance. As a result, our people are able to make their own decisions and have the courage and confidence to do so - it saves me an awful lot of time!'

Whilst many organisations recognise the advantages of this approach, the realities of cost-cutting and rationalisation have limited the time individual managers can invest in their people. Introducing external coaches can be effective alternative, enabling the company to adopt the coaching model in-house gradually over a period of time with support from an experienced team of facilitators.

Coaching is designed to empower each individual to understand their potential and to identify how they can achieve it. Through developing a sound understanding of the protegé, the coach knows when to support and when to stretch, when to challenge and when to guide. Working on a one-to-one basis, coach and coachee collaborate to set and achieve key development objectives, taking into account the needs of the organisation as well as the experience, maturity, knowledge and career path of the individual. Coaching encourages the creation of goals, which can then be broken down into manageable, measurable steps. To support this, coaching is delivered on a 'little and often' basis through a combination of face-to-face sessions, telephone and email feedback and 'on-the-job' observation. A coach will require each individual to examine and adapt their approach and to seek fresh ideas for boosting performance and personal job satisfaction.

Attachmate Sales UK, part of the world's largest privately owned software company, is just one organisation which has benefited significantly from coaching and exceeded revenue targets last financial year to prove it! Fundamental to this success have been the retention, motivation and development of key staff. Ian Wells, Country Manager, believes that '[Coaches] help us develop our staff at a pace that suits the changing needs of our business - and we can bounce ideas off them whenever we want. In addition, my staff like the personal attention that coaching brings, and consequently are motivated to use their coach to challenge their approach and technique far more than they would with traditional training'.

Sue Smith, Commercial Director of Hanover Computer Systems, providers of IT solutions in the AS400 and PC arenas, points out another key benefit of employing an external coach. 'Our coach has become a member of the team. As with other outsourcing projects, the contractor has the incentive to maintain focus and enthusiasm for the job in hand - where an employee might not! Of course the ultimate goal is to have a happy, overachieving professional salesforce, which we are steadily working towards'.

 

 

Aset dalam Diri - Bagian 1

Sumber http://nlpintoaction.com/umum/aset-dalam-diri-bagian-1/

by Muhammad Iqbal

Coba deh perhatikan iklan, ada yang bilang Rambut mu Aset mu. Berarti rambut dapat dijadikan duit /segala sesuatu yang bernilai. Jelas gw menolak ini lha wong konsisten botaks sejak tahun 2002 .  Gak berapa lama sejak gw liat iklan itu baca dong di internet mengenai ada seorang artis namanya X. jujur gw juga baru tahu dia artis lantaran film yang dibintangin Pocong Mandi Goyang Pinggul. Dari judulnya aja jelaskan jenis film seperti apa ini?

Dalam wawancar Si X dengan gamblang bilang “Namun ketika terjun ke dunia model, X malah menyesal, karena ukuran dadanya yang besar itu kini diakuinya menjadi salah satu aset yang mendatangkan banyak rezeki.
“Ya ampun kok bodoh banget aku dulu ya, nggak pede dengan payudara aku. Malah sekarang dengan payudara seperti ini justru mendatangkan banyak rezeki buat aku. Ini aset yang berharga,” ungkapnya.

Membaca ini jelas gw sebel, lhaa mang gw butuh payudara besar untuk mendatangkan banyak rejeki. Aye kan cowok bukang lekong ataupun Chong Ping Li alias benCHONG PINGgir kaLI. Kasihan yah kalo ada cewek yang rambut pendek, cewek yang payudaranya kecil jadi gak punya asset.

Secara logika aja jelas gw menolak. Pertama ini sangat mengandalkan fisik. Jika semakin tua maka asset tersebut akan menurun, baik rambut semakin tipis maupun yang satunya itu “turun” beneran. Menganggap ini sebuah asset jelas sebuah kebetulan, karena suatu waktu asset ini tdak akan memiliki nilai lagi.

Pertanyaan berikutnya Mencari Kebenaran mengenai Aset yang ada didalam diri manusia.
Coba analogi:
Saya sebagai orang tua yang normal, masa iya tega membiarkan anak saya berjalan dikehidupan ini tanpa bekal. Beberapa bekal yang biasa diberikan orang tua kepada anaknya antara lain makanan, pendidikan, dan lain lain (banyak banget kan yang dipersiapkan).

Ditarik ke hubungan antara manusia dan TUHAN, masa iya TUHAN tidak memberikan bekal kepada manusia yang katanya menjadi pemimpin di muka bumi.

Pembicaraan kepada diri sendiri pun berlanjut:

1.    Otak
Apakah ini yang menjadi asset manusia?secara katanya manusia adalah mahluk berakal. Tapi kok jika mahluk berakal kenapa kerusakan di muka bumi makin berat?
Lagian apa bedanya Binatang juga punya otak. Kalau diantara pembaca ada yang Binatang lebih banyak menggunakan insting, lha justru karena ada otak maka insting binatang jalan. Karena tugas binatang dan manusia dimuka bumi ini beda jelas Allah memberikan jatah otak (volume) yang berbeda kepada manusai dan hewan.

2.    VAKOG?
Naah ini dia NLP bambang.
-    V alias Visual: banyak toh para fotografer yang memiliki penghasilan gila gilaan. Untuk di Indonesia, silahkan telp Darwis Triadi aja untuk pre wedding. Tp mohon siapkan jantung anda jika dikasih tahu angkanya. Beda yah ama sy yang matanya malah kebanyakan baca FHM melihat fotonya Penyiar Tipi ntu.
-    A alias Auditory: Contoh nya seperti pemusik seperti Dani, Pasha Ungu dll. Dengan mengembangkan fungsi Auditory aja udah tajir.
-    Kinestetik (K), gampangnya deh Lionel Messi, umur masih bocah tuh, seandainya dia pension sekarang juga, teteup aja gaji sy semuanya ditabung butuh puluhan tahun untuk menyamai tabungan Messi sekarang

-    O dan G…fiiuh..makin berasa aja kok yaah sy jadi kufur nikmat. Bondan Cuma ngomong mak nyuss dibayar. Di tempat kerja sy yang lama proses pemilihan kacangpun membutuhkan keahlian yang dibayar mahal.Udah yakin nih kayaknya VAKOG lah sumber daya manusia alias asset sesungguhnya…eeeh lhaa kok..
Bukannya binatang juga punya itu semua.
Elang pun memanfaatkan Visualnya untuk berburu. Kelelawar memanfaatkan pendengarannya untuk terbang dimalam hari, trus apa dwong bedanya ?Apa siih asset manusia sesungguhnya?Apa iya sy harus operasi platik dan hair extension supaya punya payudara besar dan rambut halus, hitam, lurus dan lebat..

…bersambung yaah..malem minggu niih

 

 

KOMUNIKASI LEBIH EFEKTIF DENGAN 6 KOMPONEN VOCAL

Selain dalam percakapan tatap muka langsung, vocal sangat diperlukan dalam percakapan melalui telepon. Karena, modal utama kita hanya suara. Kalau suara tidak diperhatikan, komunikasi bisa tidak efektif.  Komponen vocal atau komponen suara meliputi 6 unsur yang disingkat PAPERS. yaitu:

 1. Projection (proyeksi/volume), adalah keras pelannya suara. Tidak perlu repot mencari alat pengukur volume. Yang paling mudah dan pasti akurat adalah respon lawan bicara. Kalau lawan bicara sudah mengangguk-angguk dengan ekspresi wajah mengerti, berarti volume kita sudah cukup. Tapi perhatikan body language lawan bicara. Kalau dahinya berkerut sambil mengatakan, "Apa...? Apa…?" berarti volume suara kita kurang keras.

Perlu diperhatikan pula luas ruangan. Di dalam ruangan kecil, pembicara tidak perlu menggunakan alat bantu seperti microphone. Tetapi jika ruangannya lebih besar atau audiencenya lebih banyak, kita memerlukan pengeras suara. Jadi ukurannya adalah lawan bicara, apakah pesan sudah bisa ditangkap dengan jelas atau belum.

 

 2. Articulation (artikulasi). Kata-kata diucapkan dengan tepat dan mudah dimengerti. Maksudnya, pengucapan huruf a, b, c sampai x, y, z harus jelas. Setiap huruf punya artikulasi masing-masing. Jangan malas membuka dan menggerakkan bibir, mulut dan lidah dengan tepat agar menghasilkan bunyi masing-masing huruf secara tepat pula. Jadi, jangan seperti orang kumur-kumur. Apalagi untuk beberapa huruf yang sering salah terdengar karena serupa bunyinya, misalnya huruf b dan d, huruf  m dan n.

Jika tidak jelas atau meragukan, kita harus mengejanya. Apalagi untuk nama orang, alamat e-mail atau hal-hal penting lain. Dalam dunia bisnis, ada kode pengejaan huruf yang sering digunakan, misalnya Bravo untuk b, Delta untuk d, dan lain-lain. Kode selengkapnya bisa kita lihat dalam tabel berikut ini. Kalau kita belum hafal dengan kode ini, ada baiknya tempelkan di meja kerja, karena kita tidak tahu kapan kita membutuhkannya.

 Kode Mengeja Huruf – American System

 Ini adalah kode mengeja dengan American System, yaitu sistem yang paling banyak digunakan saat ini. Di samping ini, ada pula British System dan Indonesian System yang diambil dari nama-nama kota di Indonesia.

Yang tidak boleh dilakukan adalah membuat sistem sendiri yang tidak baku. Biasanya dengan kata-kata yang diambil sembarang, seingat kita saja, atau tergantung apa yang sedang kita lihat. Dinamakan Aku's system atau Sistem Semau Gue, dong. Misalnya nama Octavianus dieja dengan "Opor, Cabe, Tempe, Asin, Vanila, Ikan, Air, Nasi, Udang, Sate." Mungkin kita akan dikomentari, "Lagi makan di restoran, ya?" Jangan juga kita sebut nama-nama binatang seperti Anjing untuk a, Bebek untuk b, Cicak untuk c, Domba untuk d, Elang untuk e, dan seterusnya. Memangnya mau buat kebun binatang? Ya, salah sih tidak. Mungkin lawan bicara kita juga mengerti apa yang kita maksud. Tapi coba saja lakukan hal ini, besar kemungkinan Anda ditertawakan, atau paling tidak image Anda jadi tidak profesional.

Sebaliknya, untuk memperlancar komunikasi juga, kita perlu menghafal kode mengeja ini agar mengerti jika ada orang lain mengeja huruf. Jangan sampai orang menyebut "Nama saya Charlie India November Tango Alpha," lalu kita berkomentar, "Namanya kok panjang sekali."

 

 3. Pronounciation (lafal ucapan) yaitu ketepatan pengucapan. Kita, orang Indonesia, sering salah mengucapkan kata-kata asing dalam hal pronounciation ini. Misalnya kata "sales". Seharusnya, kata ini diucapkan dengan lafal "sÉ™ils". Tapi, kesalahan yang sering dilakukan adalah mengucapkannya dengan lafal "se-les". Salah sih tidak, tapi kalau kita mengucapaknnya dengan benar, akan terlihat profesional. Ya, kalau kemampuan kita terbatas, tidak perlu menguasai seluruh kata dalam Bahasa Inggris, tetapi kuasailah kata-kata yang sering diucapkan saja.

 

 4. Enunciation, yaitu  intonasi, tekanan dan tinggi nada. Berbicaralah dengan intonasi yang lembut dan halus, tidak kasar, tidak ketus. Untuk beberapa kata penting, berikan tekanan. Tinggi nada perlu diatur normal, tidak melengking dan tidak terlalu rendah.

Ketepatan intonasi juga diperlukan untuk membedakan antara kalimat tanya atau kalimat pemberitahuan. Karena, kalau salah bisa fatal akibatnya, seperti contoh kasus berikut ini.

Paula dan Siska sedang menyiapkan surat penawaran untuk Riza, seorang calon pelanggan. Sementara mereka menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan, Paula mengatakan, "Eh, kayaknya kita perlu telepon Pak Riza dulu ya, jangan-jangan dia nggak ada di tempat siang ini. Soalnya saya ingin ketemu langsung sama dia."

Menjelang penawaran selesai dibuat, Siska berkata, "Pak Riza sudah ditelepon." Kalimat ini ia ucapkan dengan intonasi yang salah, yaitu intonasi memberi tahu, bukan intonasi bertanya. Sebenarnya, ia ingin bertanya pada Paula, apakah Pak Riza sudah ditelepon? Karena yang terdengar di telinga Paula adalah intonasi  pemberitahuan, ia mengira Siska sudah menelepon Riza. Ia pun hanya mengangguk dan langsung pergi ke kantor Riza. Ternyata, sesampainya di sana Riza tidak ada di tempat dan ia pun tidak bisa bertemu dengannya.

            Dalam bahasa tertulis memang mudah membedakan kalimat tanya dan informatif. Kalimat tanya tinggal diberi kata tanya dan tanda tanya, misalnya "Apakah Pak Riza sudah ditelepon?" Sedangkan dalam percakapan tatap muka, kalau enggan menambahkan kata tanya, berarti hanya intonasi yang bisa kita perkuat.

 

5. Repetition (pengulangan). Untuk mendapat perhatian lebih dari lawan bicara dan untuk menghindari kesalahan, beberapa kata penting harus diulang, misalnya alamat, nomor telepon, e-mail dan angka-angka penting.

 

6. Speed (kecepatan, jeda). Kecepatan berbicara jangan terlalu cepat atau terlalu lambat. Kecepatan normal yang disarankan adalah maksimal 150 kata per menit. Kalau sangat cepat, lebih dari 150 kata per menit, informasi yang disampaikan bisa tidak diterima dengan lengkap dan benar. Sebaliknya, bila kurang dari 150 menit, itu berarti lambat. Misalnya, "Se…la…mat… pa…gi…, Pak… Sa…ya… Bu…di… da…ri…."  Orang bisa tidak sabar menunggu kita selesai bicara. Apalagi, dalam dunia bisnis saat ini, karena waktu terbatas dan kesibukan tinggi, orang lebih senang kalau kita berbicara cenderung agak cepat, diikuti body language (bahasa tubuh) yang cekatan. Misalnya, bila kita memberi pelayanan pada pelanggan, ucapkanlah kalimat dengan cepat dan gerak tubuh cekatan.

Namun, perlu juga kita perhatikan lawan bicara. Kalau menghadapi orang yang sudah berusia lanjut dengan speed lambat, ada baiknya kita hormati beliau dengan berbicara tidak terlalu cepat.

 

Keenam unsur vocal ini akan semakin baik jika ditambah:

1. Pernafasan yang baik. Sambil berbicara, atur pernafasan yang baik agar tidak terlihat tersengal-sengal seperti habis lari maraton. Khusus sewaktu bertelepon, suara nafas tidak boleh terdengar dan jangan mendesah. Jangan lupa, beri jeda secukupnya.

 

2. Aksen daerah tidak terlalu menonjol, kecuali kita berbicara dengan lawan jenis dari satu daerah dan akan mempererat hubungan jika menggunakan bahasa daerah.

 

3. Ekspresif dan tidak monoton seperti robot. Misalnya, ekspresi terburu-buru, senang, atau sedih. Jika ada pelanggan yang kecewa dan berkata, "Bagaimana ini? Pesanan saya kok belum datang juga," kita perlu berempati, menyelami suasana hatinya dan menjawab dengan suarau ekspresif, "Aduh, maaf ya Bu, kami ikut menyesal atas kejadian ini. Kami akan segera percepat pesanan Ibu." Hal ini tentu akan lebih mudah jika raut wajah kita menunjang, dan memang tulus dari hati kita berniat menolong. Suara akan otomatis terdengar ekspresif.

Namun, ekspresi yang berbeda tidak boleh terlihat. Misalnya kita sedang marah dengan seseorang, lalu ada orang lain datang hendak berbicara pada kita. Suara kita tidak boleh masih berekspresi marah. Kasihan, bukan? Sering orang berkata, "Lho, marahnya sama orang lain, kok saya kena 'semprot' juga." Begitu pula misalnya kita sedang tertawa cekikian kemudian ada orang menelepon. Begitu mengangkat telepon, ekspresi geli dan suara tawa kita harus dihilangkan. Jangan sampai si penelepon terbengong-bengong karena ikut mendengar suara cekikikan kita sementara ia tidak tahu apa yang lucu.

 

4. Smiling voice, yaitu suara yang keluar dalam posisi wajah tersenyum. Kalau sudah senyum, intonasi otomatis menjadi halus dan lembut. Apakah memang berbeda? Coba saja Anda ucapkan kalimat "Selamat pagi, PT ABC, dengan Tuti, ada yang bisa dibantu?" sambil tersenyum. Lalu, bandingkan kalimat yang sama tapi ucapkanlah sambil cemberut. Terasa berbeda, bukan? Apalagi kalau kalimat ini diucapkan di telepon. Walaupun kita cantik atau ganteng, orang tidak akan tahu. Yang ia terima hanya suara. Ini sensitif sekali dan bisa dirasakan. Kalau sebuah kalimat kita ucapkan sambil cemberut, pasti orang di seberang sana bisa tahu. Kok tahu? Ya, memang tahu!

Sama juga halnya dengan suara orang bangun tidur. Masih di telepon, contohnya. Kalau kita sedang tidur lantas terbangun menerima telepon, orang sering berkomentar, "Eh, maaf. Lagi tidur ya?" Anda mungkin malu ketahuan lagi tidur kalau hari sudah siang dan menggerutu dalam hati, "Kok tahu sih?" Jadi, lebih baik tidak usah menerima telepon kalau Anda sedang tidur, daripada image kita jelek hanya gara-gara suara serak dan lemas.

 

5. Hindari bergumam, yaitu mengucapkan kalimat dengan kurang jelas, suara perlahan, dan tidak ditujukan kepada lawan bicara, melainkan berbicara pada diri sendiri. Kapan biasanya kita bergumam? Biasanya bergumam dilakukan jika kita kurang percaya diri, ragu-ragu dan tidak ingin secara jelas didengar oleh orang lain atau sibuk dengan pikiran kita sendiri, tanpa memperhatikan keinginan lawan bicara. Bergumam bisa jadi tidak menimbulkan efek negatif. Paling-paling lawan bicara kita berkomentar, "Ngomong apa, sih, nggerundel aja." atau  "Ngapain sih itu, kok ngomong sendiri." Lebih parah lagi, bergumam bisa menimbulkan salah paham seperti yang dialami Tari berikut ini.

Tari, seorang ibu rumah tangga hendak merenovasi rumahnya. Ia bertemu dengan Krisna, seorang arsitek.

 

Tari      : "Pak Krisna, bisa minta tolong dibuatkan disain untuk renovasi rumah 

              Saya? Saya ingin menambah 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi."

Krisna  : "Baik, Bu Tari, akan saya coba buatkan rancangannya."

 

Sesungguhnya permintaan Tari agak sulit dipenuhi karena lahan yang sangat sempit. Tapi, Krisna tidak menjelaskan kesulitan itu. Ia sibuk sendiri dengan pikirannya dan hanya bergumam dengan suara sayup-sayup tak sampai: "Waduh, bagaimana ini? Tanahnya sempit, udah mentok sama bangunan tetangga, mana bisa ditambah kamar segitu banyak. Kelihatannya susah nih. Paling-paling cuma bisa nambah 1 kamar tidur."

Semua kalimat itu sama sekali tidak terdengar jelas oleh Tari. Ia berpikir, "Pak Krisna ini ngomong apa sih? Nggerundel aja. Tapi ya sudahlah, pokoknya dia sudah tau aku maunya gimana."

            Akhirnya, apa yang terjadi? Krisna datang dengan rancangan penambahan 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Tari pun kecewa.

 

Tari      : "Lho, kamar tidurnya kok cuma 1, pak."

Krisna  : "Iya, Bu. Kan saya sudah bilang tidak bisa ditambah 2 kamar tidur,

              karena lahannya sempit."

Tari      : "Ah, Pak Krisna nggak bilang begitu kok. Kemarin Pak Krisna

              kelihatannya oke-oke saja dengan permintaan saya. Kenapa sekarang tiba-

              tiba jadi nggak bisa. Kalau emang nggak bisa, bilang dong dari awal.

              Saya jadi nggak buang-buang waktu begini."

 

Gubrak! Dar der dor....! Ah, sayang sekali, bukan? Kalau Krisna mengucapkan kalimat dengan jelas, pasti tidak akan terjadi salah paham dan kekecewaan seperti ini.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

by: "C&G TRAINING NETWORK" <cg8@cg-learning.com>

 

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger