I LOVE U !

“Di malam hari, seperti juga hari-hari lainnya, Kei yang berusia 4 tahun menutup matanya, lalu komat-kamit berdoa. Doanya selalu diawali dengan kalimat, “Tuhan, tolong…”. Setelah doa selesai dan ia mengucapkan “Amin”, kemudian ia segera berbaring sambil tersenyum dan matanya menyiratkan, “ya, aku sudah siap…”. Bukan siap tidur, tapi siap untuk dicium, dipeluk, dan mendengarkan kata “I Love You, Kei” dari maminya. Setelah mendapatkan ciuman, pelukan, dan kata-kata cinta, ia akan nyanyi dan mengoceh sendiri beberapa waktu, dan kemudian tertidur dengan dengkuran halus.”

(Keluarga Bernas, 2011)

 

Saya berharap Anda tidak terlalu kecewa. Topik tentang cinta yang diangkat ini, bukanlah cinta dalam bentuk cinta romantic love (menurut istilah Sternberg), yang terdiri dari komponen intim/ kedekatan dan passion/ gairah.  Cinta yang diulas di sini lebih ke dalam bentuk companionate love, yang seringkali merupakan metamorfosis dari cinta yang penuh gairah menggebu ke arah pendewasaan komitmen, afeksi yang mendalam, dan relasi mendalam jangka panjang.

 

Tentang Cinta…

Pembahasan bertema cinta seringkali dilakukan dalam konteks seni dan sastra. Kita menonton film, membaca novel, melihat tarian, menikmati lukisan, membaca puisi, dan menyaksikan drama bertema cinta. Tetapi diskusi dan ulasan ilmiah maupun semi ilmiah tentang cinta, cukup banyak orang menghindarinya. Mengapa? Karena hati kita mengetahui, bahwa cinta melampaui ilmu pengetahuan. Pendekatan ilmiah saja tidak bisa menjelaskan cinta.

Apakah Anda mengetahui saat Anda mencintai seseorang? Saat kita mencintai seseorang, maka umumnya kita akan:

1.     Ingin memberi (bukannya menuntut atau meminta terlebih dahulu)

2.     Rela berkorban dan rela menjalani penderitaan (terutama untuk keselamatan dan kesejahteraan orang yang kita cintai)

3.     Mendahulukan keselamatan dan kesejahteraannya (di bandingkan keselamatan dan kesejahteraan kita sendiri)

4.     Memaafkan (ketika ia menyakit hati kita atau membuat kita kecewa), dan yang semakin langka pada masa kini adalah

5.     Setia (setia mencintai dia, setia pada janji kita kepadanya, setia melayani/ menjaganya)

Anda mencintai pasangan Anda? Atau Anda mencintai anak Anda? Mungkin lima hal ini bisa menjadi bahan refleksi awal.

 

Seberapa Sering Menyatakan Cinta? – Hasil Survey Ad Familia Indonesia

Dari survey sederhana Ad Familia Indonesia, umumnya dalam kehidupan keluarga, orang lebih sering menyatakan cinta kepada anak-anaknya, dibandingkan kepada pasangannya. Hal ini berlaku, baik dari responden laki-laki (ayah) dan responden perempuan (ibu). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara frekuensi pernyataan cinta suami kepada istri, maupun istri kepada suami. Namun ada catatan yang diolah secara kualitatif, bahwa istri cenderung merasa kurang diberikan pernyataan cinta dari suaminya. Sedangkan dari pihak suami, tidak muncul adanya keluhan. Rata-rata seseorang menyatakan cinta kepada pasangannya adalah 3 kali dalam satu hari. Sedangkan kepada anak-anak, orang rata-rata menyatakan cinta 5 kali dalam sehari.  Pasangan-pasangan yang lebih senior cenderung mengatakan bahwa cinta tidak perlu dinyatakan, artinya tidak perlu say “I Love U”. Yang penting asalkan menyatakan dalam bentuk perbuatan dan yang utama tetap setia kepada pasangan.

Untuk responden yang belum menikah, rata-rata menyatakan cinta kepada pasangan (pacar) adalah 5 kali dalam satu hari.

 

Ukuran Cinta

Apakah cinta bisa diukur? Apakah bisa dibuat timbangan apakah sangat mencintai, biasa/ rata-rata dalam mencintai, atau kurang mencintai? Tetapi yang jelas, quote di bawah ini menyatakan dengan tegas:

A flower cannot blossom without sunshine, and man cannot live without love.


Max Muller


Pertama kali mengenal rangkaian kata di atas, saya langsung mengkritisi, “apa iya, manusia tidak bisa hidup tanpa cinta?”

Dalam kenyataan hidup, saya bertemu manusia yang dalam perjalanan hidupnya amat minim dengan konsep cinta. K (28 th) adalah seorang pemuda yang tinggi besar. Ketika ia dilahirkan, ibunya sangat mengharapkan anak perempuan, tetapi yang lahir adalah K, bayi laki-laki. Dalam ingatan K, tidak ada hari tanpa pukulan dan makian dari ibunya sampai ia berusia 6 SD kemudian minggat dari rumah dan bekerja serabutan di sana-sini ikut orang. Sampai saat ini terngiang dalam ingatan K kata-kata ibunya sebelum akhirnya ia memutuskan kabur dari rumah, “Aku menyesal melahirkanmu. Coba dulu kamu lahir, saya cekik kamu sampai mati.” Kata K, sorot mata ibunya ketika menyatakan itu dipenuhi dengan kebencian. K juga berkata, “aku lebih lagi, aku benci dia lebih besar lagi”.

Tapi K tetap ‘hidup’, dalam artian bernafas, bisa berjalan, bisa bekerja, dan bahkan bisa bergonta-ganti pacar setiap saat, karena menurutnya perempuan boleh jadi mainan. Tapi apakah ia sungguh ‘hidup’ (dalam artian ia menjalani hidup secara penuh, mencintai dirinya, merasa utuh, mengikuti hati nuraninya, bahagia)? Belum tentu!

 

Menerapkan Cinta….

Dalam buku The Sane Society tahun 1955, dikatakan oleh Fromm, “the danger of the future is that man may become robots.” Pada tahun 1956, Fromm mempublikasikan bukunya The Art of Loving, yang mengemukakan roh tentang cinta sebagai “the only sane dan satisfactory answer to the problem of human existence”.

Membaca The Art of Loving karya Erich Fromm, saya merasa ‘bertemu’ secara pribadi dengan seorang yang penuh dengan pergolakan sekaligus penuh dengan ide (seperti peternakan ide), yang kreativitasnya muncul dari inspirasi yang diperoleh dari pengalaman hidupnya. Dasar cintanya terhadap manusia membuat Fromm dalam keprihatinannya melihat permasalahan-permasalahan kemanusiaan akhirnya kembali kepada hal yang paling dasar, yaitu CINTA.

Kemanusiaan manusia diulas begitu indah ketika Fromm menyebutkan bahwa manusia dianugerahi hal yang luar biasa, yaitu kesadaran tentang dirinya, tentang sejarahnya, tentang pikiran dan perasaannya, tentang harapannya, tentang waktu, tentang cinta. Kesadaran bahwa ada kekuatan-kekuatan sekaligus keterbatasan-keterbatasan dalam hidup inilah yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan manusia. Menjadi kekuatan karena mampu mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan heroik, membangun, mencipta, mencinta. Tetapi sekaligus menjadi kelemahan, karena membawa perasaan cemas, merasa bersalah, malu, menuntut, merasa kesepian. Bagi Fromm, kemampuan mencintai (bukan menuntut untuk dicintai) menunjukkan karakter yang matang dan produktif.

Topik tentang cinta, meski klasik tetap menjadi topik yang akan bertahan selama masih ada manusia. Bukan cinta dalam segi romantisme yang akan dibahas di sini, tetapi cinta yang matang, yang merupakan jawaban bagi segala permasalahan keberadaan manusia. Fromm meluruskan tentang perbedaan selfishness dan self-love dari kalimatnya sebagai berikut:

“my own self must be as much an object of my love as another person. The affirmation of one’s own life, happiness, growth, freedom is rooted in one’s capacity to love, i.e, in care, respect, responsibility, and knowledge. If an individual is able to love productively, he loves him self too; if he can love only others, he cannot love at all. It is true that selfish persons are incapable of loving others, but they are not capable of loving themselves either” (Fromm, The Art of Loving, P. 56)

Selamat Mencintai…

Sahabat Ad Familia, selamat mencintai, selamat menjadi pribadi yang lebih matang dan bernilai, selamat berbahagia dalam suka dan duka dari mencintai….

 

Jakarta, 11 Juni 2012 

Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog                                                                                                                                                                

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger