Potensi Baik Dan Buruk Dalam Diri Kita

Catatan Kepala: ”Tak seorang pun mengetahui dimana batas tertinggi kemampuan dirinya, sehingga kata ’maksimal’  tidak cocok untuk kita gunakan.”

 

Bisakah Anda sebutkan pencapaian apa saja yang sudah berhasil Anda raih dalam hidup? Maksud saya, pencapaian yang benar-benar layak untuk dibanggakan. Jika Anda punya banyak pencapaian seperti yang saya maksudkan itu; silakan buat dalam sebuah daftar yang panjang. Ada orang-orang yang sedemikian mudah mengenali pencapaian pribadinya. Lalu dengan penuh percaya diri menyebutkan pencapaian pribadinya itu satu demi satu. Ada juga orang-orang yang memilih diam saja, karena tidak yakin apakah mereka telah berhasil meraih sebuah pencapaian pribadi yang benar-benar bermakna dan pantas dibanggakan itu. Siapa yang paling jujur? Siapa yang paling benar?

 

Orang bisa saja hanya sekedar ‘mengklaim’; sehingga bisa menyebutkan ini dan itu, padahal belum tentu benar begitu. Orang bisa juga terlalu rendah hati, sehingga meskipun pencapaian pribadinya banyak tapi mereka tidak menilainya sebagai sesuatu yang pantas dibanggakan. Sekalipun demikian, ada satu kesamaan pada semua orang, yaitu; tak seorangpun yang telah berhasil menggunakan seluruh daya dirinya secara maksimal. Mengapa? Bahkan kita tidak pernah tahu dimana batas tertinggi kemampuan kita yang sesungguhnya itu. Jika Anda masih bingung dengan apa yang bisa dibanggakan, maka kebingungan itu akan hilang jika sudah mampu mengoptimalkan potensi diri Anda. Dan jika Anda merasa bangga dengan pencapaian yang selama ini Anda raih, maka kebanggaan itu tentu akan jauh lebih besar lagi jika Anda telah berhasil menggunakan kapasitas diri yang Anda miliki itu lebih banyak lagi. Faktanya, kita belum benar-benar mendayagunakan potensi diri yang kita miliki. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mendayagunakan potensi diri, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

 

1.      Pencapaian Anda belum seberapa. Saya tidak bermaksud menyinggung Anda jika mengatakan bahwa pencapaian Anda belum seberapa. Tak usah tersinggung, karena saya tidak membandingkan diri Anda dengan orang lain. Saya mengatakan demikian karena saya percaya bahwa kapasitas diri Anda jauh lebih besar daripada pencapaian yang sudah berhasil Anda raih hari ini. Saya pribadi pun demikian. Jika ditengok kebelakang; pencapaian saya tidaklah buruk-buruk amat. Bahkan beberapa diantaranya melampaui yang bisa dilakukan oleh orang lain. Tetapi, saya sadar benar bahwa pencapaian saya belum seberapa. Bukan dengan membandingkannya dengan teman atau tetangga saya. Melainkan fakta bahwa didalam diri saya terdapat sedemikian besar potensi diri yang belum tergali. Maka saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa pencapaian Anda itu belum seberapa. Sama seperti belum seberapanya pencapaian yang bisa saya wujudkan, jika dibandingkan dengan potensi diri saya yang sesungguhnya.

 

2.      Anda berhak mendapatkan yang lebih baik. Sudah baikkah pencapaian Anda hari ini? Mungkin Anda sudah memperoleh penghasilan seperti yang Anda cita-citakan. Mungkin Anda sudah menjadi Manager, atau Direktur. Bahkan Presiden Direktur untuk sebuah perusahaan besar yang terkenal. Izinkan saya untuk mengatakan bahwa betapapun tingginya pencapaian Anda hari ini; Anda berhak mendapatkan yang lebih baik dari itu. Kenapa? Karena Anda memiliki lebih banyak hal lagi yang selama ini belum digunakan secara maksimal. Silakan tanyakan kepada diri Anda; jika setiap hari Anda lebih rajin 1% dari biasanya. Berapa banyak lagi yang bisa Anda hasilkan. Jika setiap hari Anda lebih terampil lagi dari sebelumnya; berapa banyak lagi yang bisa Anda selesaikan dari yang selama ini. Jika setiap hari, saya bersedia memberikan kontribusi sedikit lebih banyak lagi kepada perusahaan; betapa prestasi saya akan menjadi semakin baik. Semakin tidak tertandingi. Dan itu menjadikan kita seorang pribadi yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik lagi dari yang sekarang. Jadi, bagaimana jika mulai sekarang; kita berkomitmen untuk lebih rajin, lebih produktif, dan lebih kontributif dari sebelumnya? Yu’, ya’, yu…

 

3.      Asahlah di sisi yang tepat. Merasa diri berhak mendapatkan ‘yang lebih baik’ itu seperti pisau bermata dua. Hal itu bisa memotivasi kita untuk terus melaju kencang berjuang tanpa kenal lelah. Terus menerus mengeksplorasi potensi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Itu sisi baiknya. Tapi hati-hati, karena sisi buruknya pun tidak kalah tajamnya. Misalnya; kita sering merasa bahwa sesuatu itu adalah ‘hak kita’. Maka kita pun mengambilnya. Atau, merasa bahwa kita dibayar dibawah yang semestinya. Maka kita pun hitung-hitungan dalam soal pekerjaan. Atau, merasa bahwa orang lain telah merenggut sesuatu yang seharusnya kita dapatkan. Maka kita pun melakukan segala cara untuk menjegalnya. Bergantung sisi mana dari pisau itu yang paling sering Anda asah. Sisi baiknyakah atau sisi buruknya. Jika kita lebih rajin mengasah sisi buruknya, hati-hati; karena cepat atau lambat, pisau itu akan melukai Anda. Namun jika Anda bersedia untuk menajamkan sisi baiknya, maka berbahagialah. Karena Anda akan semakin mampu ‘menajamkan’ kehandalan kualitas diri Anda.

 

4.      Bersihkanlah ‘penangkap’ sinyalnya. Sering tidak mudah untuk membedakan kebaikan dengan keburukan. Kita merasa benar, padahal salah. Kita merasa baik, padahal buruk. Makanya, kita sering melihat orang ‘tidak mengaku’ telah melakukan keburukan meski fakta dan bukti sudah memadai. Mengapa bisa begitu? Kata guru kehidupan saya, hal itu terjadi karena ‘cermin didalam dirinya sudah kotor’. Cermin yang beliau maksud adalah hati nurani. Setiap perbuatan kita memancarkan energy sesuai dengan ‘nilainya’ masing-masing. Keburukan memancarkan energy buruk. Kebaikan menebarkan energy baik. Norma umum sering dapat dengan mudah menangkap energy itu. Makanya, kita semua sepakat bahwa mengambil sesuatu yang bukan hak kita itu buruk. Namun, mengapa ketika melakukannya kita tidak merasa itu sebagai sebuah keburukan? Karena cermin diri kita tidak dapat menangkap sinyal keburukan itu dengan baik. Maka, penting untuk selalu membersihkan hati nurani kita. Karena dialah yang bisa membantu kita untuk menangkap sinyal yang mengontrol baik dan buruknya akhlak atau perilaku kita.

 

5.      Periksalah laporan rugi laba.  Bukan hanya perusahaan yang membutuhkan laporan rugi-laba. Setiap pribadi pun memerlukannya. Mengapa? Borad of Directors wajib memberikan laporan tahunan kepada pemilik perusahaan melalui rapat umum pemegang saham. Setiap pendapatan dihitung ‘plus’ sedangkan setiap pengeluaran bernilai ‘minus’. Jika plus lebih banyak dari minus, maka perusahaan mencetak laba. Sang pemilik, tentu merasa senang. Begitu pula dengan kita sebagai seorang insan. Kita adalah Direktur Utama bagi diri kita sendiri. Siapakah pemilik diri kita jika bukan yang menciptakannya? Setiap perilaku baik kita dicatat ‘plus’ sedangkan perilaku buruk kita bernilai ‘minus’.  Jika dibandingkan antara ‘plus’ dan ‘minus’ seluruh perilaku kita itu; apakah ‘laporan pembukuan pribadi kita’ mencetak laba atau sebaliknya? Semua perusahaan selalu memeriksa laporan keuangannya secara berkala. Bukan hanya menjelang Rapat Umum Pemegang Saham saja. Begitu pula mestinya kita. Secara berkala perlu memeriksa laporan pembukuan rugi laba. Jangan sampai tidak menyadari jika ‘bottom line’ kita ternyata negatif karena perilaku buruk kita lebih banyak dari perbuatan baik. Rapat dengan pemegang saham ada jadwalnya. Sedangkan ‘rapat’ kita dengan sang pemilik diri; tidak terjadwal secara pasti. Karena itu bisa terjadi tahun depan, minggu depan, atau hari ini. Maka penting untuk memeriksa dan memastikan ada laba dalam buku pribadi kita.

 

Sesungguhnya, setiap manusia memiliki segala kelengkapan diri, sekaligus kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri. Makanya, didalam diri manusia ada potensi untuk melakukan kebaikan maupun keburukan. Namun, Tuhan mengingatkan bahwa ”Orang-orang yang menyucikan dirinya, pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan orang-orang yang mengotori jiwanya akan memperoleh kerugian.” Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menjadikan perusahaan yang merugi bisa menuai laba. Namun, untuk mengubah diri dari pribadi yang rugi menjadi insan yang beruntung tidaklah terlalu sulit. Cukup melakukan dua hal saja; Satu, membersihkannya dengan taubat dan permintaan maaf. Dua, menggeser perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Itulah sebabnya mengapa; Tuhan memberi hati kita kecederungan kepada kebaikan. Karena Tuhan ingin kita lebih banyak mendayagunakan potensi diri yang baik. Untuk hal-hal yang baik.

 

Mari Berbagi Semangat!

DEKA - Dadang Kadarusman

 

Memimpin Dengan Karakter Pribadi

Catatan Kepala: ”Pemimpin yang handal sanggup menanggalkan kekuatan jabatannya, lalu memimpin dengan mengedepankan karakter pribadinya.”

 

Lucu juga ya kalau mendengar orang yang mengerutu tentang atasannya. Dulu saya sering mendengarnya di toilet atau di lorong bawah tangga tempat orang-orang merokok. Sekarang, kita bisa menyimaknya lewat facebook, twitter, atau milist. Nyata sekali jika banyak orang yang dihargai hanya karena mereka memiliki posisi lebih tinggi. Jika Anda mempunyai posisi tinggi, maka perlulah juga untuk bertanya pada diri sendiri; apakah orang-orang yang Anda pimpin benar-benar menghargai ‘diri Anda’ atau ‘posisi Anda’?  Apakah itu penting? Kalau bagi saya itu penting. Bagi Anda? Silakan tentukan sendiri.

 

Alhamdulillah, saya pernah mendapatkan kesempatan untuk berperan sebagai pemimpin dalam beberapa tingkatan. Selain di kantor, juga sebagai Ketua RT. Ternyata, peran yang paling menantang adalah menjalankan amanah sebagai Ketua RT itu. Di kantor, semuanya jelas, dan setiap orang yang saya pimpin memahami makna hirarki. Sebagai pemimpin di kantor saya memiliki kewenangan yang mengikat setiap orang dalam team. Sedangkan sebagai Ketua RT? Boleh dibilang, kita memimpin dengan ‘tangan kosong’. Sekarang saya sudah tidak lagi menjadi Ketua RT. Namun, justru dari pengalaman itulah saya menyadari hal ini; “Kalau Anda ingin belajar tentang kepemimpinan yang sesungguhnya, maka jadilah ketua RT.” Jika Anda bisa sukses menjadi Ketua RT, maka Anda bisa sukses memimpin team Anda di kantor, di lembaga kenegaraan, atau dikomunitas manapun. Mengapa? Karena ketika Anda menjadi Ketua RT, Anda hanya bisa mengandalkan karakter diri Anda sendiri. Jika dengan ‘tangan kosong’ itu saja Anda bisa memimpin dengan baik, maka apalah lagi seandainya Anda punya otoritas dan kewenangan seperti yang didapatkan oleh para pemimpin formal, bukan?  Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memimpin dengan karakter pribadi, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

 

1.      Belajar memimpin sebelum menjadi pemimpin. Ini adalah pelajaran yang sangat mendasar sekali. Banyak orang yang merasa dirinya bukan pemimpin hanya gara-gara mereka belum memiliki anak buah. Makanya, kebanyakan anak buah tidak memperlihatkan kemampuannya dalam memimpin. Padahal, justru ketika belum menjadi pemimpin itulah kita harus belajar menjadi pemimpin. Anda harus belajar menerbangkan pesawat sebelum menjadi pilot; bukan sesudahnya. Ini yang sering tidak disadari orang. Makanya, nunggu aja sampai nanti jadi pemimpin. Kalau masa itu datang. Kalau tidak? Seumur hidup bakal jadi follower terus. Kalau ternyata ada ‘nasib mujur’ kita menjadi pemimpin, ya cuma bakal jadi pemimpin yang bingung dan jadi bulan-bulanan bawahan. Sebelum Anda punya anak buah adalah saat yang tepat untuk belajar memimpin. Caranya? Sederhana saja; tampil menjadi pribadi yang penuh inisiatif, berperilaku positif, dan proaktif dalam setiap aktivitas di team Anda. Teman-teman selevel Anda itu adalah ‘media’ bagi Anda untuk belajar memimpin orang lain. Jika dapat tugas dari atasan, pastikan hasil punya Anda lebih cepat, lebih tepat, dan lebih akurat. Jika teman Anda kesulitan, bantu mereka menyelesaikannya. Jika teman Anda tidak kompak bangun kebersamaan diantara mereka. Sekarang, Anda sudah belajar menjadi pemimpin bagi mereka. Padahal, Anda bukan atasannya, kan?

 

2.      Belajar memimpin tanpa otoritas. Saya serius mengatakan ini; belajarlah memimpin tanpa otoritas. Semua terori kepemimpinan yang Anda pelajari mengajarkan bahwa tidak ada kepemimpinan tanpa otoritas. Setidaknya, begitulah system nilai yang kita dapatkan selama ini. Hari ini, saya mengatakan kepada Anda untuk belajar memimpin tanpa otoritas. Mana bisa? Bisa. Percayalah; kita sudah terlalu lama terkungkung oleh paradigm kepemimpinan structural yang formal. Padahal seperti namanya, kempemimpinan formal sering hanya bisa menghasilkan formalitas saja. “Ya.., gue formalitas aja minta tanda tangannya. Dia kan managernya. Yang ngerti seluk beluknya sih bukan dia…” sounds familiar? Atau, ada orang yang menggerutu ketika mendapatkan tugas dari atasannya. Jadi, bagaimana caranya untuk memimpin tanpa otoritas itu? Sederhana juga; Anda ‘mengirimi’ orang-orang yang memiliki otoritas itu dengan ide-ide brilian Anda. Dengan masukan dan gagasan yang berkualitas tinggi. Jika Anda berhasil, maka orang yang punya otoritas itu akan menerima dan menggunakan ide Anda. Lalu apa yang terjadi? Hal-hal yang bisa diwujudkannya adalah ‘apa yang Anda inginkan’. Bukankah prinsip kepemimpinan itu adalah mendapatkan hasil melalui kerja orang lain? Anda, telah mendapatkan hasil melalui kerja orang-orang yang punya otoritas. So, who is the boss then?.

 

3.      Belajar memimpin untuk melayani. Coba perhatikan, betapa banyak pemimpin yang maunya dilayani oleh anak buah. Gak aci! Tapi, yang seperti itu banyak sekali. Menjadi pemimpin itu bukan untuk dilayani, justru untuk melayani orang-orang yang kita pimpin. Amanah yang Anda emban itu adalah untuk menjadi abdi mereka. Apalagi jika Anda adalah pemimpin lembaga Negara? Duh, betapa kedudukan Anda itu diberikan oleh rakyat yang memilih Anda. Nek sampeyan malah lupa diri itu lha keterlaluan toh Rek. Pemimpin di perusahaan juga sama. Jika Anda Manager, maka tugas Anda adalah melayani anak buah Anda supaya mereka bisa menghasilkan kinerja yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Anda berkewajiban melayani mereka untuk belajar dan mengembangkan diri. Anda bertugas untuk melayani mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan begitu banyak hal lagi yang wajib Anda tunaikan. Contohlah para Nabi ketika memimpin umatnya. Mereka melayani loh, bukan dilayani. Mereka menghibur pengikutnya yang sedih. Mengobati yang sakit. Meringankan beban yang berat. Kita, sering keliru memilih idola pemimpin. Sehingga sekarang, kita sering mengira bahwa menjadi pemimpin itu identik dengan mobil mewah, rumah megah, tongkrongan gagah, dan pemasukan melimpah. Hey, ingatlah. Para Nabi mencontohkan kita untuk menjadi pelayan bagi orang-orang yang kita pimpin. Maka jadikanlah mereka sebagai teladan dalam memimpin.

 

4.      Semuanya berlipat untuk para pemimpin. Orang mengatakan bahwa segala hal baik menjadi berlipat-lipat bagi para pemimpin. Gaji, fasilitas, tunjangan, penghargaan. Semuanya berlipat. Wajar. Karena tanggungjawabnya juga semakin besar. Sekalipun tanggungjawabnya semakin besar, namun orang jarang gentar untuk menerima jabatan sebagai pembesar. Bahkan banyak sekali yang mengejar-ngejar. Padahal, tidak hanya hal baik saja lho yang berlipat. Hal buruk pun berlipat. Jika seorang pemimpin melakukan kesalahan, maka nilai pertanggunjawabannya juga lebih besar dibandingkan jika kesalahan itu dilakukan oleh bawahannya. Hal itu wajar juga kan? Sayangnya, inilah justru yang sering tidak kita sadari.  Ketika mengejar suatu jabatan tertentu, benak kita sering sudah terlampau penuh dengan bayangan tentang ‘kenikmatannya’. Enah jadi boss. Ya memang enak. Tapi, mengira bahwa menjadi boss itu bisa seenaknya? Hmmh, berhati-hatilah. Sebab, bagi orang-orang yang mengerti, menjadi pemimpin itu adalah sebuah amanah yang nilai pertanggungjawabannya tidaklah ringan berkali-kali lipat.

 

5.      Luruskan niat dalam memimpin. Tidak ada salahnya kok memiliki impian untuk menjadi pemimpin. Sewaktu bekerja dulu, saya pun sangat berambisi untuk menjadi pemimpin. Bagaimanapun juga, itu adalah indikasi tentang seberapa mampu saya membangun karir. Saya percaya bahwa setiap pribadi wajib menjadi dirinya unggul. Maka menapaki jenjang karir yang tinggi boleh jadi merupakan salah satu cara menunaikan kewajiban itu. Tetapi, eh ada tetapinya. Kita perlu memiliki niat yang lurus saat mengejar dan menjalankan fungsi kepemimpinan itu. Jika niat Anda hanya untuk mengejar uang, maka Anda bakal dikelilingi nafsu untuk mengeruk sebanyak mungkin uang. Padahal, pemimpin itu sangat dekat dengan gudang uang. Berbahaya. Jika niat Anda untuk ‘menunjukkan siapa gua!’, maka Anda akan terjebak kesombongan yang sama seperti ketika dulu Iblis membangkang Adam. Tetapi, jika Anda berniat untuk memberikan kontribusi lebih banyak bagi orang lain. Bagi perusahaan. Bagi masyarakat. Bagi bangsa dan Negara. Maka Anda pun pasti akan mendapatkan kecukupan materi sesuai hak dan tanggungjawab Anda. Insya Allah akan dicukupkan dunia Anda. Namun lebih dari itu; Anda – pasti – memperoleh kecukupan di sisi Tuhan. Tuan dan Nona, siapa lagi yang akan kita temui setelah kita mati selain Sang Pemilik Diri ini? Jika Anda yakin atas hari pertemuan denganNya, maka mari kita luruskan niat dalam mengejar dan menjalankan jabatan kita hanya untuk sesuatu yang disukai olehNya.

 

Guru kehidupan saya mengingatkan bawa hari hisab atau saat perhitungan amal itu akan menjadi hari yang sangat berat. Bagaimana tidak berat. Ketika akan melakukan ujian akhir semester saja kita stressnya minta ampun. Sekarang, kita akan diadili dihadapan Tuhan. Beranikah Anda untuk tidak deg-degan? ”Namun,” begitu kata guru kehidupan saya; ”Ada beberapa jenis orang yang akan dimudahkan prosesnya. Diantara mereka yang sedikit itu adalah para pemimpin yang adil”.  Duh, saya pernah mendapat amanah untuk menjadi pemimpin. Meskipun dalam lingkup yang sangat kecil. Adakah praktek dan perilaku kepemimpinan yang dulu saya tunaikan itu menjadikan ringan masa penghisaban saya? Ataukah justru saya termasuk manusia yang dipersulit dihari pengadilan tertinggi itu karena semasa hidup saya menyalahgunakan amanah ini? Bagaimana dengan Anda? Mari kita benahi cara memimpin kita. Mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Sekarang.

 

Mari Berbagi Semangat!

DEKA - Dadang Kadarusman

 

Menang Jadi Arang Kalah Jadi Debu

Modeling Sun-tzu

 

Tiga belas tahun lamanya Sun Tzu mencari pemimpin yang pantas dijadikan junjungannya. Sungguh bukan perkara mudah. Memang benar ia hidup pada jaman yang dikenal di daratan Tiongkok sebagai Jaman Negara Berperang, dan ia adalah murid seorang pakar perang, seorang jenderal yang disegani dari negeri Qi, yakni Tian Rang Ju.  Tetapi ia hanya akan mengabdi kepada raja yang benar-benar dapat menciptakan perdamaian dengan perang.  Artinya raja tersebut harus benar-benar kuat, berambisi besar untuk mempersatukan seluruh daratan Tiongkok, dengan demikian tidak akan terjadi lagi peperangan memperebutkan daerah kekuasaan. Tanpa perang, maka rakyat dapat hidup tentram. Visi misi itu terinspirasi oleh pesan terakhir kakek gurunya, Tian Rang Ju yang tertulis dalam sebilah bambu "Basmi tuntas kezaliman, cegah perang dengan perang."

Masih berusia muda, Sun Tzu atau Sun Wu sudah berpangkat perwira.  Seperti halnya kakek buyut, kakek dan ayahnya, ia mengabdi di negeri Qi . Sun Wu sebenarnya bermarga Chen, dan nenek moyangnya berasal dari keluarga kerajaan negeri Chen yang kemudian pindah ke negeri Qi sejak 140 tahun yang silam. Di negeri Qi, Chen Wu Yu, kakek buyut Sun Wu memiliki jabatan setingkat menteri. Hubungan kekeluargaan Chen Wu Yu dan Panglima Tian Rang Ju semakin menguatkan posisi marga Chen di negeri Qi.  Dalam salah-satu ekspedisi memerangi negeri lain, Chen Shu, Chen Ping (kakek dan ayah Sun Wu) serta Sun Wu telah berhasil dengan gemilang. Karena itu Raja Qi mengaruniakan marga Sun kepada keluarga Chen Wu. Itulah sebabnya Chen Wu lebih dikenal sebagai Sun Wu. Di kemudian hari, Sun Wu disebut sebagai Sun Tzu untuk menghormati karya-karya besarnya di bidang militer. Prinsip-prinsip perang karyanya yang terakum dalam tiga belas kitab dan dikenal sebagai The Art of War atau Sun-tzi Ping Fa hingga kini tetap relevan. Tidak hanya diterapkan dalam militer, melainkan juga dalam bisnis dan management.

Sun Wu telah memenuhi harapan kakek gurunya, panglima Tian Rang Ju yang sering mengingatkan agar ia terus belajar dan berkarya. "Nenek moyangmu turun-temurun menjadi perwira, kau harus melampaui prestasi tersebut." Nasihat panglima Tian Rang Ju berulang kali. "Untuk menjadi seorang yang dikenang sepanjang masa, kau harus berjiwa ksatria, bersikap kepahlawanan dan membuat karya tulis."

Membuat karya tulis pada bidang yang ditekuni pada masa itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai bun-bu—sastra dan silat.  Seorang militer yang mampu menuangkan ide-ide dan filosofi ke dalam karya tulis akan dipandang sebagai intelektual.

Untuk waktu yang cukup panjang, marga Chen menikmati pengaruh besar di negeri Qi, dengan Tian Rang Ju, jenderal perang yang telah banyak mengukir jasa, memiliki kekayaan seperti tanah, kuda, kereta perang dan jumlah prajurit yang dimiliki,  mereka boleh disejajarkan dengan beberapa keluarga lain, di antaranya keluarga Bao, Luan, dan Gao. Selama ratusan tahun sebenarnya keempat marga tersebut diam-diam saling berebut pengaruh dihadapan raja-raja Qi. Untuk memperkuat diri, ketua keluarga Bao dengan lihai memainkan strategi, di satu pihak ia menjodohkan putrinya dengan Sun Wu, sementara itu di depan raja ia menghasut agar raja memensiunkan jenderalTian Rang Ju. Chen Wu Yu lebih mementingkan kelangsungan kekuasaan keluarganya, tidak ingin menyinggung perasaan Bao Gou yang dekat dengan raja Qi Jing Guang itu menyetujui perjodohan itu.
Namun ikatan perjodohan itu tidak menghentikan persaingan diam-diam tersebut. Bao Gou memang berhasil "mengikat" keluarga Chen, tetapi tetap merasa tidak aman. Sementara itu kakek buyut Sun Wu yang telah lama ingin menyingkirkan keluarga Luan dan Gao, tanpa segan-segan dan tanpa perikemanusiaan membasmi kedua keluarga itu hanya gara-gara hasutan seorang pelayan keluarga Luan yang sakit hati terhadap majikannya sendiri.Chen Wu Yu berpendapat sebaiknya mendahului menghabisi kedua marga itu sebelum dihabisi.
Persaingan itu tidak saja menghancurkan keluarga lain, tetapi juga menimbulkan penderitaan tak terperihkan bagi Sun Wu yang terpaksa harus menyelamatkan kekasihnya sendiri, Luan Mei, putri tunggal keluarga Luan. Tindakannya tersebut bahkan harus mengorbankan nyawa ayahnya sendiri. Setelah kakek buyutnya menyerahkan harta benda rampasan dari keluarga Luan dan Gao, dan mengikat perjodohan dengan keluarga Bao akhirnya gagal juga menyelamatkan jabatan kakek gurunya—Tian Rang Ju, Sun Wu menjadi sangat gundah. Ia lalu meninggalkan negeri Qi dan merantau ke negeri-negeri lain di daratan Tiongkok. Tiga belas tahun kemudian, walau pun ia telah berhasil menyusun karya strategi perangnya yang sangat terkenal itu, ia belum mau turun gunung. Ia harus memastikan menemukan terlebih dahulu seorang raja yang benar-benar pantas menjadi pemimpin yang dapat dijadikan junjungannya.
Dan pemimpin yang akhirnya dianggap layak tersebut adalah Ji Guang yang kini telah menjadi raja negeri Wu dengan gelar He Lu. Ambisi He Lu untuk mempersatukan daratan Tiongkok dapat menjadi sarana Sun Wu untuk mencapai misinya sendiri "basmi tuntas kezaliman, cegah perang dengan perang."
Keadaan Indonesia saat ini, dengan begitu banyak partai politik yang saling bersaing, tidaklah jauh berbeda dengan keadaan 2.500 tahun yang silam. Untuk membesarkan diri sendiri, dan mencari dukungan, partai-partai tak segan-segan saling beraliansi atau saling menjegal. Bedanya di masa itu yang dikenal adalah marga-marga besar yang berkuasa, bukan partai politik seperti sekarang.
Ambisi untuk berkuasa dan menjadi yang teratas terkadang membuat orang menghalalkan segala cara, seperti politik uang. Janji-janji berlebihan ketika kampanye untuk mendapatkan dukungan. Janji-janji yang kemudian tak mampu dipenuhi. Sebagai pemilih, kita pun harus bersikap bijaksana agar tidak terkecoh. Pemimpin berambisi besar tidaklah selalu buruk, pemimpin tanpa ambisi bahkan lebih buruk lagi, tetapi kandidat—baik itu eksekutif ataupun legislatif—yang berambisi tetapi tidak berpotensi adalah yang terburuk di antara yang buruk. Seorang calon yang berperan sebagai boneka harusnya tidak mendapatkan dukungan, tetapi hal ini sungguh sulit, mengingat bahwa panggung politik tidak terlalu jauh berbeda dengan panggung pertunjukan wayang. Selalu yang ada yang bertindak sebagai dalang di balik layar, karena itu pemilik suara juga harus mengetahui siapa yang bergerak di balik layar.

 

Ditulis oleh Erni Julia

 

PENCITRAAN PEREMPUAN, ISTRI, IBU - Prihatin

Tak perlu menunggu hari Ibu untuk mulai prihatin dengan pencitraan perempuan, istri, ibu oleh media iklan.

Waktu 2 jam, 2 kali sehari, 5 hari seminggu cukup rasanya bagi saya menyimak dan menyerap beberapa iklan yg diperdengarkan di radio sepanjang perjalanan berangkat dan pulang kantor.


Dan cukup dalam keprihatinan saya terhadap penggambaran citra perempuan yang notabene menjabat sebagai seorang istri sekaligus ibu yang digambarkan oleh iklan sebagai wanita konsumtif yang merongrong suami dan bukan panutan yang baik bagi anak-anaknya.

 

Berikut beberapa yang sempat terekam oleh saya.


Dalam iklan salah satu minimarket yang tumbuh menjamur dan selalu bersaing dengan kompetitornya, diceritakan seorang ibu pulang arisan menceritakan kepada  suaminya, bahwa Ibu A baru saja membeli mobil baru, masih gres, masih ditutup plastik semuaaa….. dan tadi dia diantar pulang oleh Ibu A naik mobil barunya. Ditambah dengan cerita, kemarinnya, ketemu dengan Ibu B naik motor baru.
Dan sang istri pun berkata, "Lalu, kapan kita ganti mobil?"  Dilanjutkan dengan, "Boro-boro ganti mobil, blackberry aja sampai sekarang belum dibeliin.”, dan diakhiri dengan kata "Huh!" yang ditujukan ke suaminya ....
Sungguh prihatin....


Dalam sebuah iklan salah satu department store “S”, digambarkan seorang Ibu minta dibelikan celana jeans baru ke suaminya hanya karena model yang sekarang dipromosikan sedang bagus-bagus, padahal kata suaminya baru minggu lalu dibelikan.

Namun si Ibu memaksa dengan alasan karena sedang diskon, jadi kapan lagi?? Sampai anak perempuannya pun ikut nimbrung dan meminta dibelikan mainan. Dan si ibu menjawab dengan ringan, “Pasti dibelikan, karena kan sedang ada diskon.”

Sungguh, prihatin untuk yang kedua kalinya..


Iklan otomotif (salah satu jenis mobil).

Diceritakan sepasang suami-istri sedang berdebat kencang soal mau membeli mobil. Sang istri dalam dialognya memaksa suami membeli mobil untuk kepentingan dirinya pribadi (mobil kecil) daripada membeli mobil untuk usaha... Meskipun sang suami sudah memberikan argumentasi bahwa mobil yang akan dibeli adalah untuk memperlancar usaha mereka, namun sang istri terkesan tidak mau tahu...

(iklan ditutup dengan solusi, membeli kedua mobil yang diinginkan dengan program diskon khusus yang ditawarkan oleh provider)

Sungguh, prihatin yang ke tiga kalinya ...


Iklan salah satu provider tv kabel, lebih menyesakkan dada lagi (bagi saya pribadi).

Iklan tersebut menceritakan seorang ayah menelepon ke rumah untuk memberitahukan bahwa dia terlambat pulang karena ban mobilnya bocor. Tetapi apa respon yang dia terima?

Anak perempuannya yang menerima telepon pertama kali mengalihkan telepon ke kakak laki-lakinya karena sedang asik menonton acara tv kesayangannya. Sang kakak yang memperoleh pengalihan telepon, tidak mempedulikan apa yang dikatakan ayahnya dan malah meminta ayahnya untuk menunggu sebentar, karena tim sepak bola kesayangannya sedang bertanding dan akan mencetak goal. Baru setelah goal berhasil (ditandai dengan teriakan gembira sang anak laki-laki), telpon dari ayahnya baru ditanggapi itupun kemudian diteruskan ke mamanya.

Mamanya menerima telepon dari suaminya sambil terus tertawa-tawa karena sedang asik menonton tv, tanpa memperhatikan isi pembicaraan suaminya yang mengabarkan bahwa dia akan pulang terlambat karena ban mobilnya bocor, dan terus tertawa sambil berkata, “Ga apa-apa…..”

Sang ayah pun menutup telepon (samar terdengar nada kesal..)

 

Iklan ditutup dengan tertawa bahagia dari pembawa iklan dengan tagline ‘sekarang, setiap orang, bisa asik sendiri-sendiri karena bla-bla-bla…’

 

Sungguh gambaran keluarga yang memprihatinkan ...

Anak-anak yang tidak peduli. Istri yang tertawa bahagia saat mendengar kabar kurang mengenakkan dari suami (ban mobil bocor dan telat pulang) ....tak ada empati sama sekali….

Bukan sebuah contoh yang bagus yang digambarkan dari seorang perempuan, seorang istri dan seorang ibu…….

Sungguh, prihatin yang keempat kalinya….


Masih dari iklan otomotif, kali ini terkait dengan pelayanannya.

Seorang istri menelpon suaminya yang sedang bertugas di luar kota dan mengingatkan untuk service mobilnya dengan nada marah, dan nada suaranya bertambah tinggi ketika sang suami mengatakan bahwa di kota tersebut tidak ada bengkel untuk service mobil yang mereka maksud.

Diselingi dengan suara pembawa iklan, bahwa pelayanan mereka sudah menyebar ke berbagai kota di Indonesia, iklan ditutup dengan perintah sang istri kepada suami dengan mengatakan,  "Pokoknya harus bawa mobilnya ke bengkel dan cepat pulang ke rumah, TITIK.”

Sungguh bukan gambaran seorang istri yg bijak….

 

Sungguh, prihatin untuk ke sekian kalinya …..

 

 

Memang tidak dipungkiri, iklan bertujuan untuk menjual dan mencetak brand. Semakin ekstrim maka akan semakin diingat oleh calon pembeli (correct me if I’m wrong).

Namun, tidak bisakah sebuah iklan mengambarkan sebuah keluarga dari sisi yang lebih positif? Sebuah keluarga yang bahagia dan saling mendukung, sebuah keluarga yang saling menghargai dan berempati?

Tidak bisakah seorang perempuan, istri, ibu digambarkan dengan citra yang lebih bijak dan patut menjadi teladan bagi anak-anaknya? Yang layak menjadi kesayangan suami?

 

Karena kenyataannya, masih banyak iklan yang tetap mengedepankan sisi positif dari seorang perempuan, istri, dan ibu.

Bagaimana produk mereka mampu membuat perempuan menjadi sanjungan tanpa kehilangan citra positifnya. Bagaimana produk mereka dapat membuat seorang istri menjadi kesayangan dan andalan suami dalam menyelesaikan masalah. Bagaimana produk mereka dapat menjadikan seorang ibu menjadi idola keluarga yang tak terkalahkan …….

Sungguh ………

 

 

Salam,

Oktira

 

 

Benarkah Perbedaan Itu Rahmad?

Kalau perbedaan dipertemukan dalam keserasian,

akan tercipta sesuatu yang jauh lebih hebat.

(John Gray)

 

Begitulah kalimat yang tersimpulkan, terhadap tulisan pendek beliau tentang gift of the magi. Pada catatan tersebut, Om Wimar Witoelar yang biasa juga disebut om WW, mengutip kisah pendek O. Henry tentang Della dan Jim. Sebuah kisah penuh inspirasi akan arti mencintai pasangan apa adanya. Yang om WW tuangkan dalam buku beliau Still More About Nothing.

 

Kisah penuh inspirasi 

Kisah tersebut sangat menyetuh hati saya. O Henry berkisah. Kala itu, Natal hampir tiba. Della dan Jim sepasang kekasih, selama ini mereka saling memberi asa, perhatian, dan waktu satu sama lain. Hingga, pada natal kali ini, mereka ingin memberi bukan saja berupa emosi yang tak terlihat, tetapi berwujud benda. 

Karena sangkin miskinnya, Della berpikir apa yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang. Tiba-tiba dia teringat akan sebuah salon mengumumkan ”Dibutuhkan rambut asli, bersedia bayar bagus”. Maka, Della memutuskan menjual rambutnya. Hasil penjualan tersebut dia membeli rantai emas 24 karat untuk jam saku milik Jim.

 

Beginilah cinta sejati itu 

Pada Natal tiba, Della pun menanti kepulangan Jim. Betapa terkejutnya Jim saat melihat Della, karena kepala Della tanpa rambut kesayangan nya lagi, yang sering dibelai oleh Jim saat mereka duduk di rumah berdua. Kemudian, Della pun menjelaskan semua. Dan berkata kepada Jim, ”rambutku pasti tumbuh kembali” sambil memeluk jim. 

Dalam pelukan itupun Jim mengatakan, ”Aku tetap mencintai, ada atau tanpa rambutmu. Tapi, saat kamu membuka hadiahku ini, kamu baru mengerti mengapa aku terkejut”. Ternyata hadiah yang Jim bawakan adalah sepasang sisir mutiara untuk penghias rambut sempurna untuk mahkota Della. Barang tersebut dia peroleh dari hasil penjualan jam sakunya.

 

Perbedaan itu Rahmad 

O Henry menyebutkan, Jim dan Della sebagai kaum magi, orang bijaksana yang memberikan hadiah berupa kebahagiaan untuk orang lain tanpa melihat kepentingan sendiri. Mungkin, ketika seseorang sudah tidak memperdulikan lagi kepentingan pribadi, saat itulah, perbedaan itu sungguh-sungguh menjadi Rahmad. Tidak ada lagi aku, yang ada kita. Hilang sudah milikku, yang ada milik bersama. Seperti sebuah iklan ”Not my glory but our glory”.

 

Kebutuhan dasar manusia 

Sementara itu, saya teringat dengan konsep six human need. 6 kebutuhan dasar manusia. Konsep ini sering disampaikan oleh motivator dunia, Anthony Robbins, dalam setiap trainingnya, saya juga. Konsep ini sebenarnya berdasarkan hukum Maslaw tentang motivasi. Namun, six human need ini, tidak memiliki tingkatan dan tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain. Di antara kebutuhan dasar itu “ketidakpastian”. Artinya, secara alamiah, manusia memiliki perilaku ingin ketidak-pastian. Ingin perubahan, ingin perbedaan. Dan ingin yang baru.

 

Seperti apa perbedaan itu Rahmad 

Perbedaan itu Rahmad. Sudah dari dulu saya mendengarnya. Bukan baru kali ini, saya membaca pernyataan dan kutipan, bahwa perbedaan itu sungguh Rahmad. Setelah membaca artikel Om Wimar, gift of the magi itu. Saya baru benar-benar memahami, seperti apakah perbedaan yang membawa dan menciptakan Rahmad itu?

 

Orkestra simfoni 

Bagi teman-teman yang terjun dalam dunia musik. Telinga mereka sangat-sangat peka setiap nada-nada yang lahir dari alat musik. Dan, dengan kepekaan tersebut. Mereka menggabungkan perkumpulan beberapa alat musik yang berbeda-beda. Seperti menyatukan suara Gitar, drum, bass, piano, biola, keyboard dan intrumen musik lainnya. Sehingga, terdengarlah simfoni dan harmonisasi suara yang masuk ke telinga kita. Kemerduan bunyi-bunyi itulah, bentuk dari, perbedaan itu Rahmad.

 

Sepakbola 

Demikianpula terjadi dalam sebuah team sepak bola. Setiap pemain memiliki perbedaan satu sama lain. Ada yang cepat lari nya, kencang tendangannya, kokoh pertahanannya, jitu dalam membaca arah bola, kuat staminanya, hebat gocekannya, dan perbedaan lainnya. Justru, karena perbedaan itu, mereka menempati tempatnya masing-masing. Dan, ketika seluruh pemain tidak lagi mementingkan kemenangan dirinya sendiri, tetapi kemenangan bersama. Saat itulah keindahan permainan dan kenikmatan bola masuk kedalam gawang lawan. Sehingga, sungguh perbedaan itu Rahmad.

 

Masakan Aceh 

Tidak jarang, setelah saya memperkenalkan diri saya kepada orang-orang yang baru saya temui, kalau saya kelahiran Aceh dan besar di sana. Biasanya pembicaraan yang sering keluar adalah tentang kekhasan Mie Aceh. Banyak rempah-rempahnya. Begitu pula dengan orang-orang yang pernah ke Aceh, dan sempat merasakan masakan Aceh seperti gule plik U, Asam keeung, Gule kambing, dan lainnya. Mereka berujar ”Rempah-rempahnya banyak sekali Mad ya, dalam lauk tersebut”.  

Masakan Aceh ini juga, menjadi bukti, bahwa perbedaan beraneka ragam rempah-rempah, setelah menyatu, menjadi santapan luar biasa sedapnya, di siang hari. Sungguh perbedaan itu Rahmad. 

Menyadari contoh-contoh di atas, simfoni orkestra, permainan sepakbola, dan masakan Aceh. Saya menyimpulkan, apabila semua telah memahami kodratnya masing-masing, maka perbedaan itu bukan mustahil lagi menjadi Rahmad. Seperti kata-kata sang guru yang selalu terngiang dalam ingatan saya. ”Tatkala hujan turun, ayam mencari tempat berteduh, dan bebek menari-nari bersama”.  

Akhirnya datang pertanyaan di dalam sini. Apakah saya sudah termasuk menjadi orang-orang yang menciptakan perbedaan itu menjadi Rahmad?

 

Rahmadsyah Mind-Therapist

 

Terlihat Benar Belum Tentu Benar

Catatan Kepala: ”Sekalipun sudah berada dijalan yang benar, namun jika cara melintasi jalan itu tidak benar, maka kita belum menjadi orang yang benar.”

 

Sudah cukup sering kita berhadapan dengan orang-orang yang menganggap dirinya benar. Melakukan hal-hal yang benar. Dan memperjuangkan sesuatu yang diyakininya benar. Anehnya, kebenaran yang diperjuangkan itu berbenturan dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam lingkup yang lebih besar. Orang-orang semacam itu tidak hanya bisa kita temui di jalan. Juga di lingkungan tempat kita tinggal. Maupun di kantor tempat kita bekerja. Orang-orang itu tidak berada jauh. Banyak yang dekat dengan kita. Ada yang sangat dekat dengan kita.  Bahkan ada yang sedemikian dekatnya sehingga jantungnya adalah jantung kita juga. Ehm, kalau begitu; orang itu adalah diri kita sendiri dong ya. Kita yang sering merasa telah berada di jalan yang benar, seolah hal lain di luar kita adalah salah.

 

Saya punya janji rapat presentasi program pelatihan saya dihadapan management sebuah group perusahaan. Berbekal alamat lengkap lokasi meeting, maka saya pun meluncur ke lokasi. Karena kurang faham wilayah itu, saya sesekali berhenti untuk menanyakan arah. Sesuai petunjuk orang yang ditanya, saya pun belok kanan. Alhamdulillah, nama jalannya sudah pas seperti seharusnya. Tinggal mencari menara perkantoran itu, sampailah. Namun, saya tidak kunjung menemukan menara itu, hingga nama jalan yang dilalui berubah. Saya putar arah, sampai diujung perempatan lagi. Menara itu tetap tidak ada. Apa pasal? Rupanya, jalan di seberang perampatan itu juga masih sambungannya. Seharusnya tadi saya belok kiri, karena menara itu ternyata berada di sebelah sana. Kejadian ini memberi saya pelajaran berharga, bahwa; “Sekalipun sudah berada dijalan yang benar, namun jika cara melintasi jalan itu tidak benar, maka kita belum menjadi orang yang benar.” Ini bukan sekedar soal mencari alamat tertentu, melainkan isyarat Ilahi tentang cara menelusuri sepanjang perjalanan hidup kita. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami isyarat itu dalam menjalani hidup, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

 

1.      Berhenti merasa benar sendiri. Misalkan saja Anda sedang berada di jalan Jenderal Sudirman. Saat menelepon teman Anda, dia mengaku jika dia pun sedang berada di jalan yang sama. Apa yang selanjutnya Anda lakukan? Anda mengatakan bahwa dia berdusta? Tidak. Mungkin malah Anda akan bertanya; “Elu ada disebelah mana? O, gitu. Ya udah elu jangan kemana-mana. Gue langsung meluncur kesana.” Kan begitu. Mudah bagi kita untuk memahami hal itu. Yang sulit adalah ketika kita merasa semua kebenaran ini milik kita seluruhnya sedangkan semua orang lain salah. Karena sama-sama ngotot, maka kita saling mempertentangkan kebenaran masing masing. Padahal, boleh jadi sebenarnya kita berada pada ‘rute jalan’ yang sama, namun  kita berada pada ‘spot’ yang berbeda. Jika Anda bisa mengatakan ‘ya udah elu tunggu aja, sebentar lagi gua kesana’ di Jalan Jenderal Sudirman itu, kenapa sih kita tidak bisa mengatakan;’Elu bener. Gue pun akan punya keyakinan serupa itu jika menggunakan sudut pandang nyang entu…” Itu loh yang sering kita sebut sebagai empati itu. Kita memahami latar belakang dan sudut pandanganya, sehingga bisa memahami pendapatnya. Dan sikap serupa itu, hanya bisa kita miliki jika kita berhenti untuk merasa benar sendiri.

 

2.      Jalan itu bukan lokasi. Kalau kita sudah berada di sebuah jalan, hal itu tidak berarti kita telah melintasi semua bagian dari jalan itu, begitulah faktanya. Saya sudah berada dijalan itu. Tapi saya tidak bisa menemukan lokasi rapat itu. Faktanya, jalan adalah lorong untuk mengantarkan kita ke lokasi yang kita tuju. Masalahnya, jika jalan hidup kita, jalan pikiran kita, jalan keyakinan kita sudah benar kita sering merasa jika kita sudah berada di ‘lokasi’ yang benar. Makanya, kebenaran sering kita amalkan secara membabi buta. Kita merasa berhak menindas orang lain atas nama kebenaran. Kita boleh memaki bawahan atas nama kebenaran. Kita boleh menghujat atasan dan pemimpin atas nama kebenaran. Dan kita, boleh ‘melakukan apapun juga’ selama kita berpijak diatas sendi-sendi kebenaran. Tidak bung. Anda baru sampai di Jalan tempat kebenaran itu ada. Namun Anda, belum sampai di lokasi kebenaran itu sendiri. Tak heran jika banyak atasan yang semena-mena. Banyak bawahan yang suka membangkang. Banyak teman yang berani melakukan apa saja demi memenangkan persaingan. Karena mereka lupa; bahwa yang mereka perjuangkan itu bukanlah sebuah kebenaran. Melainkan sebuah perjalanan yang belum selesai ditempuhnya. Maka tempuhlah perjalanan menuju kebenaran itu terlebih dahulu. Pastikan Anda sampai di lokasi kebenaran itu berada. Izinkan semua orang dari berbagai penjuru bumi menggunakan bermacam alat transportasi, dan menempuh jalur-jalur yang berbeda bisa tiba ditempat yang sama. Setelah berada disana; kita baru akan menyadari jika ternyata; kita berbeda ini memiliki tujuan dan kebenaran yang sama. Oh, ternyata jalan itu, bukanlah lokasi.

 

3.      Tidak ada jawaban yang salah. Saya salah berbelok. Harusnya ke kiri, bukan ke kanan. Tapi, itu saya lakukan karena seseorang memberitahukan untuk belok kanan. Lho, kok kesalahan saya malah ditimpakan kepada orang lain yang sudah berusaha untuk memberi bantuan. Saya bertanya ‘jalan ini ada dimana?’. Dia bilang, ‘diperempatan itu, Bapak belok kanan.” Dia benar. Bahkan sekalipun orang itu menjawab salah, bukan salah dia. Yang salah adalah saya yang bertanya kepada orang yang tidak mengetahui jawabannya. Kita? Oooh, sering sekali menimpakan nasib sial, kesulitan, kegagalan, kekecewaan dan semua perasaan yang tidak menyenangkan sebagai ulah yang diakibatkan oleh orang lain. Saya melakukan ini karena istri saya tidak merawat diri. Saya melakukan itu karena suami saya tidak perhatian lagi. Karir gue mandek gara-gara teman gue suka menjilat atasan. Saya malas kerja karena suasana di kantor kurang kondusif. Saya sering telat karena teman dan boss saya juga begitu gak diapa-apain. Lha, kok semua keburukan, kesialan, dan kelemahan kita malah ditimpakan penyebabnya kepada orang lain. ‘Lantas, elo mau aja menyerahkan nasib kepada orang lain?’ Begitu saya mendengar  teguran keras dari dalam diri saya. Jikapun orang lain telah menyebabkan kita menderita; belum tentu karena mereka sengaja. Mungkin karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membantu kita dengan lebih baik. Maka ketika kita mendapatkan jawaban atau bantuan dan perlakuan apapun dari orang lain, bukan salah mereka jika kita menerimanya. Kitalah yang mesti belajar untuk memilahnya; dan menjaga diri dari dampak buruknya.

 

4.      Tidak semua pengguna jalan tertib aturan.  Orang tidak sengaja menyulitkan kita? Iya. Tapi, kadang kita bisa kecipratan dampak buruk dari perilaku kotor orang lain. Sama seperti pengendara di jalan-jalan yang kita lalui. Ada saja tingkah polah pengendara lain yang menyusahkan kita. Angkot yang berhenti sembarangan. Motor yang ngecot kiri-ngecot kanan. Bis kota yang ngetem di tikungan. Bahkan, ada juga mobil pribadi yang menggunakan sirene polisi hanya untuk menakut-nakuti. Sama seperti hidup kita. Meskipun kita sudah berada di jalan yang lurus, namun banyak juga orang yang melintasinya secara ugal-ugalan. Mereka kelihatan percaya diri dengan kengawurannya. Mereka baru meringis nangis kalau pelipisnya sudah teriris oleh kerikil dari aspal yang terkikis. Sekitar tahun 1998, saya bahkan pernah menjadi korban tabrak lari. Seperti itulah kira-kira fakta hidup kita. Jangan pernah pergi melintasi jalan manapun jika tidak ingin bertemu dengan para pengendara ceroboh dan arogan seperti itu. Jangan pergi ke kantor jika tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Jangan bekerja jika tidak mau dibentak. Jangan keluar rumah jika tidak ingin berpapasan dengan tetangga judes. Jangan keluar kamar jika ogah melihat wajah marah orang serumah. Jangan hidup jika tidak mau menghadapi konsekuensi-konsekuensi lumrah sebagai mana layaknya. Tidak semua pengguna jalan tertib aturan. Begitulah faktanya. Maka mari kita hadapi kenyataan itu. Dan mari kita lintasi semua jalan dan jalur kehidupan yang semertinya kita tempuh. Meski berhadapan dengan resiko serupa itu.

 

5.      Jalan yang tidak pernah menyesatkan. Ada banyak jalan menuju ke Roma, katanya. Itu benar. Tetapi tidak berarti bahwa semua jalan bisa membawa kita ke Roma. Semua orang boleh memilih jalan hidupnya masing-masing, katanya. Itu benar. Tetapi, tidak berarti bahwa seseorang boleh bertindak semau udele dhewek. Kenyataannya ada jalan buntu. Bahkan jalan yang menyesatkan. Kewarasan kita patut dipertanyakan jika sudah tahu itu buntu tapi masih maksa menembusnya juga. Sudah tahu itu sesat, eh ngotot saja hanya karena merasa nikmat. Makanya, meski kita boleh memilih jalan hidup; kita perlu memilih jalan hidup yang tidak pernah menyesatkan. Adakah jalan seperti itu? Ada. Yaitu, jalan yang dibentangkan berdasarkan petunjuk dan bimbingan Tuhan. Untuk menemukan jalan itu, tidak cukup sekedar bertanya kepada pemuka agama. Pertama, mereka juga manusia yang bisa salah seperti kita. Kedua, pemuka agama tidak memiliki kemampuan untuk memaksa kita mengikuti kata-katanya. Ketiga, hanya diri kita yang bisa membuka pintu hati agar isyarat dan cahaya Ilahi bisa memasuki relung terdalamnya. Kita akan bisa menemukan jalan Ilahi itu hanya jika terus mencari, menerima, menyadari, mempersiapkan dan memahami tanda-tandanya. Dan salah satu tanda itu adalah; ketika kita ikhlas menjalani peran yang sehari-hari kita mainkan. Tanpa keikhlasan itu, jelas sekali jika kita tidak sedang melangkah dalam jalan yang tidak pernah menyesatkan itu.

 

Setelah sekian puluh tahun perjalanan hidup kita, sudahkah kita menemukan jalan hidup yang benar-benar tepat untuk kita lalui? Jika kita pernah salah jalan, tak usah terlampau gusar. Segeralah memutar arah, lalu ikutilah jalur yang seharusnya. Setelah berada di jalan yang kita kira benar pun, teruslah memeriksa apakah kita berada di lajur yang benar? Boleh jadi, jalan kita sudah benar, namun kita berada di lajur yang salah, atau menuju kearah yang salah,  dan mengikuti rambu yang salah.  Mengapa? Karena sesuatu yang terlihat benar itu, belum tentu benar. Hanya ada satu kebenaran mutlak. Yaitu kebenaran yang datangnya dari Tuhan. Mengapa kebenaran dari Tuhan sifatnya mutlak? Karena Tuhan itu hanya satu, sehingga kebenaran yang ditentukanNya tidak ada yang bisa mempertanyakan. Mempertentangkan. Atau memberi tandingan. Dalam jalan  kebenaran yang dilandasi petunjuk Ilahi itu; yuk, kita sama-sama melangkah.

 

Mari Berbagi Semangat!

DEKA - Dadang Kadarusman

 

Enterpreneural Network

Himawan Wijanarko,

 

Arti penting dari kemampuan membangun dan mempertahankan network, guangxi, atau jejaring bagi pengusaha sudah tidak diragukan lagi. Jejaring dari banyak sisi dapat dipandang sebagai investasi jangka panjang, bahkan sebagai aset paling bernilai. Bagi pengusaha pemula, hubungan personal yang sifatnya informal ini acap kali menjadi suplemen bagi sumber daya yang dimilikinya. Bahkan, jejaring sosial ini cukup dominan perannya dalam tahap pembentukan usaha.

Tahap ini ditandai dengan munculnya ide bisnis, yang tidak jarang didapat berkat diskusi dan pertukaran informasi dalam jejaring sosial. Identifikasi peluang ditindak lanjuti dengan perencanaan bisnis, tetapi rencana ini akan tetap tinggal rencana dan menguap begitu saja jika tidak direalisasikan. Jejaring sosial kembali berperan sebagai motivator dengan dukungan moril untuk menambah ’keberanian’, menebalkan tekat untuk merealisasikan rencana tadi.

Begitu motivasi sudah kuat, biasanya kendala muncul jika modal tidak mencukupi, baik itu modal finansial, modal skill, maupun modal sosial. Padahal, keterbatasan sumber daya yang dimiliki sering menjadi penghalang bagi pengusaha dalam mengakses pembiayaan dari bank. Dalam kondisi seperti ini, keluarga ataupun sahabat sebagai jaringan sosial terdekat menjadi modal sosial untuk menutup kekurangan modal finansial. Pihak lain di luar jejaring sosial tetapi erat kaitannya dengan bisnis yang baru dijalankan bisa saja dipersuasi dengan orientasi bisnis yang jelas. Maka jejaring sosial tadi meluas menjadi jejaring yang lebih fokus ke arah bisnis, menjadi jejaring profesional. Jejaring ini berperan dalam memenuhi kebutuhan akan informasi pasar dan meresponnya untuk dapat menjangkau pasar.

Dengan bergulirnya roda operasi bisnis, meminimalisir resiko kegagalan dan biaya transaksi menjadi fokus perhatian. Selain itu seringkali muncul masalah terkait dengan birokrasi, finansial dan aspek teknis lainnya. Untuk mengatasi masalah operasional ini jejaring strategis yang melibatkan perusahaan lain dan institusi pendukung dalam kerangka simbioses mutualisme akan sangat membantu. Jejaring ini bisa dibangun baik dengan perjanjian formal maupun hubungan informal, bentuknya pun bisa berdasarkan kerja sama proyek, perjanjian lisensi dan royalti, franchising, kerja sama dengan pemasok, vendor maupun konsultan, dan bentuk-bentuk joint venture lainnya.

Di samping itu terdapat pula suatu bentuk kerja sama yang menghendaki terbentuknya suatu entiti bisnis yang baru, maupun bentuk Kerja Sama Operasi. Konsorsium juga merupakan bentuk lain network dimana beberapa perusahaan menggabungkan kekuatannya untuk menggarap suatu proyek berskala besar.

Adapun cluster industri adalah jalinan kerja sama antar perusahaan dalam industri yang sama. Cluster industri dapat dilihat secara nyata dalam industri kimia, yaitu pembentukan program preferred supplier yang diciptakan oleh Dow yang melibatkan kooperasi dari tim yang berasal dari berbagai perusahaan untuk membentuk sudut pandang yang sama mengenai kualitas dan usaha peningkatannya.

Dalam cluster regional, perusahaan-perusahaan kecil dengan spesialisasi masing-masing bergabung untuk saling melengkapi berdasarkan area geografisnya untuk memperoleh keuntungan bersama. Salah satu contohnya adalah "Model Ernilian", jejaring antar perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di daerah Ernilia-Romagna, Italia, yang dikelompokkan pada daerah-daerah yang berbeda berdasarkan produknya, dan saling melengkapi dalam suatu jalinan network yang memiliki pedoman dan peraturan yang berasal dari induk network yang sama.

Bagi usaha kecil dan menengah seperti di atas jejaring efektif dan bisa diandalkan untuk meningkatkan daya saing dalam mekanisme pasar yang dalam prakteknya sering berjalan kurang fair dan kurang berpihak padanya. Dengan melakukan networking, diharapkan kinerja yang lebih baik karena menggabungkan dan menyelaraskan keunggulan-keunggulan dari anggota-anggota network, sehingga membentuk suatu kesatuan sinergis dengan tujuan akhir yang sama, yaitu untuk memberikan nilai tambah bagi konsumen dan keuntungan bagi semua anggota network. Selain itu, networking dengan aktivitasnya yang multi-brained juga memberikan nilai tambah yang tidak ternilai, yaitu "kesempatan untuk belajar" bagi anggota network tersebut.

Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi pengusaha bukan terletak pada ukuran bisnisnya tetapi kuat lemahnya dalam menjalin jejaring. Networking, di sini berarti keluasan jaringan yang diikuti oleh selektivitas yang relatif tinggi dalam kaitannya dengan pemilihan sumber dan asal jaringan, serta selektivitas dalam pemilihan dan pembinaan hubungan harmonis dengan aktor yang menjadi contact person. Networking dalam dunia bisnis sering diperantarai oleh kegiatan lobbying dan sebaliknya lobbying sering dipermudah jika memiliki networking yang kuat dan luas. <Trust>

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger