Kehidupan Seperti mendaki puncak bukit

Kehidupan bagaikan sebuah perjalanan naik menuju puncak bukit, perjalanan nan melelahkan, apalagi jika untuk naik kita harus melewati jalanan yang terjal, becek penuh semak belukar. Ketika jalanan-jalanan hutan dan bukit lenyap diganti dengan aspal, highway serta infrastruktur transportasi yang makin canggih, pengalaman naik bukit, pengalaman ke puncak menjadi pengalaman yang langka. Lebih buruk lagi, pengalaman ini toh tidak selalu didambakan.

Kalau mau jujur, dengan segala kemudahan yang kita terima dari kemajuan teknologi tidak sedikit dari kita yang lebih suka memburu yang enak dan nyaman; sedapat, semudah dan secepat mungkin mencapai hasil tanpa harus merugi atau mengalami sakit. Ini mirip dengan prinsip ekonomi dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya sedapat mungkin mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Dan memang prinsip itu sedang menjadai jawara baru yang melumat habis prinsip dan keutaman luhur seperti kejujuran, kerja keras, pengorbanan

Saya Tidak anti teknologi, Saya mengajak anda dalam segala dimensi hidup anda, menyadari fungsi teknologi sebagai sarana, tidak pernah menggantikan peran utama manusia sebagai Pelaku kehidupan. Untuk mendaki bukit pun kita tetap butuh sarana, sepatu yang kuat, tali dan tongkat, simpul plus bekal secukupnya untuk makan/minum.
Lalu, hal apa gerangan yang telah mendorong cukup banyak orang, termasuk para penakluk-penakluk bukit yang terkemuka, untuk mendaki bukit? Saya yakin satu hal yang sama adalah ketika melihat bukit, bukit dan puncak hampir semua seolah-olah dipanggil untuk naik agar kita bisa melihat hal-hal lain yang belum kita ketahui di tempat lain secara lebih baik, agar kita juga bisa melihat tempat kita berada secara lebih luas daripada ketika kita sedang berada di bawah – ketika padangan kita terbatas.

Naik ke puncak bukit adalah gambaran lain dari transendensi, kita mau melampaui diri kita. Puncak bukit nampak seperti mengundang dan menarik kita untuk mengalami dan merasakan cakrawala/sikap pandang luas seperti yang dimilikinya.
Di bukit kita bisa menyaksikan munculnya mentari secara lebih luas, matahari pertama, dan kita bisa memandang kenyatan di bawah kita, termasuk di tempat di mana kita pernah berdiri dan hidup secara lebih berbeda, dengan detail yang lebih lengkap, juga hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Dan Tujuan mendaki bukit Untuk memperoleh cakrawala baru, kita mesti berjalan naik, menyusuri semak belukar kekuatiran, melewati tanah lapang dan tempat teduh kesenangan yang sebentar-sebentar kita temui dalam perjalanan sekaligus menolak godaan untuk menjadikan tempat teduh sementara itu sebagai puncak; bahkan godaan untuk berhenti dan berbalik arah. "Dengan akal dan kebebasan kita", sudah cukup bagi kita untuk menciptakan keselamatan bagi diri kita sendiri. Uang, materi dengan segala manifestasinya (teknologi dan kemajuan) adalah penyelamat baru, pemberi rasa aman baru…Ini adalah instrumen paling mumpuni bagi the kingdom of human. Perjalanan ini karenanya berbahaya…

tetapi, tidak perlu terlalu banyak memberi tempat untuk kekuatiran karena kita berjalan tidak tanpa tuntunan.  dengan kemauan, serta kerja keras, Serta Menggunakan Hati Nurani, Anda bisa mencapai Puncak bukit dan melihat hamparan Nuansa yang berbeda, jangan lupa dalam perjalanan ini kita mesti melepaskan hal-hal yang tidak perlu dan menghalangi perjalanan. Itu bisa saja kecenderungan dan kebiasaan buruk/Ego pribadi yang merupan hal yang tersulit untuk bisa dinetraliri menjadi hal yang bisa membantu kita dalam mencapai puncak kehidupan kita.
Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger