Sepercik Api...

Oleh : Ietje S. Guntur

Hari libur. Saya sedang asyik di rumah. Hari ini saya sedang manis, dan sedang kepengen masak buat keluarga tercinta....(hhhmmm....asyik juga yaa...). Biasalah...masakan ritual keluarga. Nggak akan jauh-jauh dari Kwetiaw Goreng atau Opor Bidadari yang legendaris itu...hehehe...Hari ini saya mau masak yang one for all saja alias satu buat semua (ketauan banget malesnya...hahaha)...Jadi pilihan pun jatuh kepada si Kwetiaw Goreng ala Bidadari .

Persiapan bahan sudah selesai. Selain kwetiaw basah yang ukurannya tidak terlalu lebar, juga sudah tersedia tambahan lain-lain...dan tauge. Urusan tauge ini kadang bikin heboh juga. Saya suka banget sama tauge, tapi Pangeran Remote Control gak doyan. Jadi deeeh...kadang si Tauge terpaksa dipinggirkan di tepi piring. Sstt...urusan tauge ntar dulu yee...sekarang urusan masak-memasak .

Nah, sekarang sudah siap. Saya mau menyalakan kompor dulu. Aslinya sih nih kompor bisa langsung di-ceklik untuk menyalakan apinya. Tapi sejak kabelnya digerogoti sama tikus, jadi deeh...terpaksa manual saja. Pakai pemantik api atau korek api biasa. Eeeh...mana nih pemantik apinya ? hmm...cari dulu yaaa....Sabaaaarrr !!!

Kayaknya kalau masak memang harus memperhatikan besarnya api. Kalau kekecilan, api lemot, matangnya jadi lama dan kadang makanan jadi lembek. Tapi kalau terlalu besar, masakan malah jadi gosong gak karuan. Seni mengatur api ini termasuk ilmu memasak, yang kadang nggak bisa diajarkan. Ini semua tergantung kompornya. Dan feeling seseorang yang sedang memasak.

Crrrsssh....sudah ! Sekarang api sudah menyala. Dan ukuran besarnya api sudah disetel. Saya mau beraksi dulu yaaa...hehehe...

Cerita tentang api, kayaknya hal yang sederhana. Tapi kalau kita tahu sejarah tentang api...woow...ternyata urusannya tidak segampang memantik api dengan sebatang korek api yang digoreskan di lembaran kertas berbahan dasar mesiu.

Sekarang sih kita nggak perlu repot-repot kalau mau menyalakan api. Selain ada korek api kayu batangan yang dikemas dalam kotak kecil-kecil atau dalam lembaran khusus, ada juga korek api gas yang dikenal dengan sebutan gas lighter. Lucu yaaa...kita selalu menyebut korek api, padahal kadang nggak ada yang mesti dikorek-korek lagi...heh heh...cukup pencet tombol...dan jreesshhh...menyala deh sumber api itu...

Begitu pentingnya api dan korek api, sehingga kita tidak sungkan-sungkan mengantongi sumber api itu. Apakah sebagai sumber api untuk membakar rokok ( huuu...mana ada orang merokok tanpa dibakar dulu ujung rokoknya...), atau sekedar untuk dimanfaatkan sebagai alat pengorek saja...khususnya korek api batangan yang ada di dalam kotak-kotak.

Dan tak hanya kaum bapak dan smoking-mania saja yang hobby mengantongi korek api. Bahkan ibu-ibu yang nggak ada urusannya sama kebul-kebul asap juga suka mengantongi korek api. Mana tahu...tiba-tiba mau menyalakan lilin atau menyalakan kompor...hmm...kita kan mesti sedia payung sebelum hujan, dan sedia korek api sebelum menyalakan api.

Fungsi lanjutan dari banyaknya orang yang suka mengantongi korek api adalah penggunaan kotak korek api sebagai alat promosi. Bukan hanya hotel-hotel dan restoran yang suka memberi suvenir berbentuk kotak korek api untuk konsumennya. Pada masa kampanye pilkada dan caleg juga banyak calon yang memanfaatkan kotak korek api ini sebagai alat untuk mengenalkan diri kepada pemilih dan calon pemilihnya. Mana tahu khaaan, dengan menggunakan materi promosi ini antara calon dan pemilih  bisa terjalin hubungan yang hangat...hihi...Gak nyambung bangeet...

Masih terkait dengan api dan sumbernya, saya jadi ingat beberapa cerita rakyat mengenai api ini. Salah satu di antaranya adalah cerita rakyat atau folklore dari Tanah Nias yang banyak dituturkan secara lisan turun temurun. Saya menemukan kisah api ini dari sebuah catatan Asal Usul Masyarakat Nias yang dikumpulkan oleh P. Johanner Maria Hammerle.

Mau tahu kisahnya ?

Konon dahulu di Nias ada dua golongan manusia. Yang pertama adalah manusia atas, atau manusia pohon, yang berkulit putih terang dan lebih pandai dari manusia tanah. Manusia pohon ini, disebut keturunan Ono Mbela, dan salah seorang diantaranya bernama Siapaputi. Mereka sudah memiliki kemampuan membuat api, yang menjadikan mereka disegani bahkan ditakuti oleh kelompok manusia lain yang berada di bawah, atau di tanah. Kemampuan membuat api ini pula yang membuat orang pohon tidak sekedar sebagai orang yang lebih pandai, tetapi juga dianggap sebagai keturunan dewa yang menguasai alam semesta.

Untuk mendapatkan api, manusia yang dalam hal ini diwakili oleh Marao, harus meminta api kepada keturunan Ono Mbela yang bernama Siapaputi. Tentu saja lama kelamaan mereka jengkel dan merasa kesal karena setiap kali ingin meminta api, mereka harus menyembunyikan diri terlebih dahulu. Dengan maksud agar pada saat proses pembuatan api oleh Siapaputi, mereka tidak mengetahui caranya.

Gara-gara kesulitan yang dihadapinya, Marao lalu mencari akal. Ia mengatakan kepada Siapaputi, bahwa ia tidak perlu bersembunyi di dalam rumah, karena ia toh tidak bisa melihat bagaimana cara Siapaputi membuat api. Tapi Siapaputi salah duga. Marao berhasil mengecohnya, dan mengetahui rahasia membuat api dari keturunan Ono Mbela. Caranya adalah dengan mengetuk-ngetukkan dua keping batu api, lempengan besi dan segumpalan serabut pohon palma ( yang disebut 'rabo'). Dan ketika api memercik keluar, langsung ditempelkan kepada serabut sehingga serabut bisa menyala. Itulah api yang diperoleh.

Sejak itu, keturunan manusia tanah tidak perlu lagi meminta api kepada manusia pohon. Mereka pun tidak perlu takut kepada manusia pohon. Dan sejak itu pula, manusia pohon yang menguasai dunia pelahan-lahan berasimilasi dengan manusia tanah. Berbagi pengetahuan tentang api. Serta menjalani hidup yang harmonis bersama-sama.

Begitulah...gara-gara api banyak sekali hal yang dapat dilakukan oleh manusia. Tak hanya Marao dan Siapaputi dari Nias. Kita pun, manusia modern sekarang ini. Tidak bisa terlepas dari api.

Coba saja. Dari mulai urusan rokok merokok dan kebul mengebulkan asap yang nyaris tidak terputus sepanjang hari...(padahal papan peringatan tentang dilarang merokok sudah terpajang dimana-mana, tapi kayaknya nggak pengaruh yaaakkk ??? Hiiieeeh...). Sampai urusan masak-memasak di dapur yang selalu butuh api. Bahkan kalau mau sok romantis, untuk menyalakan lilin di meja saat makan malam berdua...hmm...

Benar-benar the power of fire...hehehe...

Ibaratnya...tiada kehidupan tanpa api. Tiada semangat tanpa nyala api. Barangkali itu juga sebabnya di Bali ada ritual Nyepi, dimana saat itu tidak boleh menyalakan api. Karena api bisa menyalakan segalanya. Termasuk nafsu manusia....Satu lagi filosofi...beyond of fire...hmmm...

Melihat api menyala, saya jadi merenung.

Api memang tak hanya menjadi salah satu tanda kemajuan manusia. Api adalah sumber tenaga yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Terlepas dari mitos dan legenda dalam cerita rakyat tentang asal usul api, tapi dengan adanya api, kehidupan ini bisa berkembang dengan lebih cepat dan lebih pesat lagi. Teknologi membuat api, dan mengemasnya menjadi sumber tenaga yang mudah diperoleh, membuat manusia menjadi setingkat atau sepuluh tingkat di atas mahluk-mahluk hidup yang lain.

Manusia hidup berdampingan dengan api. Apa pun bentuknya. Dari mulai api yang kecil, hingga api yang besar. Kemajuan manusia ditandai dengan kemampuannya mengelola dan memanfaatkan api untuk kemaslahatan dan hal-hal lain yang bermanfaat untuk hidupnya.

Manusia dengan mudah membuat korek api atau gas lighter yang bisa dinyalakan setiap saat. Barangkali orang jaman dahulu kala tidak bisa membayangkan, bahwa suatu saat 'manusia modern' bisa mengantongi api di dalam saku bajunya, atau menyelipkannya di tas tangan yang dibawanya ke ruangan pesta...huaah..Benar-benar penemuan yang luar biasa.

Namun, seperti adanya dua sisi mata uang, api pun memiliki dua sisi di dalam eksistensinya. Api yang kecil dan terkendali, menjadi sahabat manusia. Api yang besar tanpa kendali, akan merusak manusia. Tak hanya sekedar membakar, api yang besar dapat memusnahkan manusia dan lingkungannya.

Begitulah hubungan manusia dengan api. Ada api hangat, ada api panas. Ada api jinak, ada api liar. Apa pun bentuknya, tetaplah harus manusia yang menjadi penguasa atas api. Atas pengendaliannya. Yang disesuaikan dengan kebutuhan kita.

Saya jadi teringat sebuah kata pepatah lama yang kayaknya masih bisa berlaku sampai saat ini ," Bermain air basah, bermain API hangus...."

Hmm...tak disangka, ya ...Api yang begitu kecil dan sederhana...ternyata memiliki makna yang begitu hebat untuk kita. Dan seandainya bisa memilih...maukah kita menjadi api penghangat untuk lingkungan sekitar kita ?

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger