Membanjiri Hidup Dengan Nilai Tambah

Bagi orang Jakarta,  beberapa hari ini adalah hari yang sangat mengkawatirkan  Bagaimana tidak, hujan yang tiada henti mengguyur Jakarta membuat debit air sungai atau kali semakin deras,  ada isu beberapa tanggul jebol,

beberapa pintu air di wilayah Jakarta statusnya kritis dan siaga satu.  Hiruk pikuk orang mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi, atau di beberapa tempat banjir yang cukup tinggi tak terelakkan lagi.  Trauma banjir di

tahun 1997 yang membuat Jakarta lumpuh, menambah kepanikan sebagian besar warga.

Dalam peristiwa ini sayapun terjebak di tempat dimana saya terkepung oleh banjir.  Mengalami banjir juga, tetapi syukur kepada Allah, tidak sampai masuk rumah.  Menerobos banjir untuk keluar dari kompleks adalah cerita unik tersendiri, dengan motor bebek biasa dimana knalpotnya bukan yang terletak menjorok ke atas, merupakan pengalaman iman tersendiri bahwa Tuhan masih tetap melindungi umatNya.

Mencari lauk makanan untuk orang di rumah merupakan tujuan saya keluar rumah dengan motor tersebut.  Hari pertama banjir, saya mengunjungi sebuah warung tegal di dekat rumah saya, dengan harapan biaya-nya murah,  karena saya belum sempat ke ATM dan uang di dalam dompet saya Cuma 50rb.  Saya berpikir, 50rb cukuplah membeli lauk untuk 8 orang di rumah. 

 

Saya masuk, bertanya ,”Bu, pesan makanan yah…”  

Ibu itu bertanya,”Makan di sini atau di bungkus?” 

Saya menjawab,”Dibungkus bu”

Dia langsung mengambil kertas pembungkus dan mengambilkan nasi.  Kemudian cepat-cepat saya bilang,”Lauknya saja bu”.

Dia bilang,”Tidak bisa, karena nanti nasinya tidak habis, lauknya belum semua datang.”

Saya berpikir, wajar juga, ya sudahlah.  Kemudian ybs mengatakan,”Tidak bisa banyak-banyak”

“Oke bu…, hanya untuk 7 orang saja” jawab saya.  Korting 1 deh, biar nggak kebanyakan.

Kemudian saya memilih lauknya,”Bu, yang kentang dicabein.” 

Kemudian ibu tersebut mengambil lauk tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.

Saya kemudian bertanya,”Seporsinya berapa?”

“Tujuh ribu” ibu itu menjawab

Ibu tersebut mengambil beberapa sendok lauk kentang tersebut.  +/- 3 sendok, dan kemudian saya bertanya memastikan “Itu berapa bu?”

Ibu itu menjawab,”Tujuh Ribu”

 

Entah mengapa, saya merasa kecewa, karena saya yakin harganya dinaikkan banyak sekali.  Mungkin ibu itu melihat keterbatasan lauk yang dia punya, sementara dia yakin bahwa akan ada banyak permintaan hari itu, akhirnya dia menaikkan harga menjadi mahal.  Wajar sih, hukum permintaan dan penawaran.

Oke, tanpa banyak tanya lagi, saya membatalkan pesanan, saya lebih memilih ke restoran yang ada di mall, sekalian lah ambil uang dahulu di ATM, kemudian beli di mall, yang harganya pasti pas.

Kembali di hari ke-2 banjir, saya menerobos banjir, beli keperluan-keperluan di supermarket di mall & sekalian membeli makanan.  Kali ini saya mau membeli makanan di luar saja, maklum, nyari yang murah (enak dan banyak).  Dalam bayangan saya, sudah terbayang lauk di rumah makan padang.  Ke luar dari mall, menyadari masih banyak banjir di perjalanan, akhirnya memutuskan pulang saja ke rumah, sambil melihat apa yang bisa dibeli di dalam perjalanan pulang.  Dekat jembatan di rumah, terlihat tukang soto (gerobak).  Wah…., boleh juga nih. 

Terlihat di sekelilingnya banyak sekali yang membeli sotonya. 

 

Saya bertanya kepada bapaknya. “Pak…., bungkus yah 8, satunya berapa?”

“Delapan ribu” katanya, sambil tetap sibuk melayani pesanan pembeli.

“Dibungkus yah, tanpa nasi” jawab saya untuk menegaskan kembali.

“Tanpa nasi, enam ribu.” Kata bapaknya

“oke pak…” menjawab dengan sumringah. Murah, meriah, mantapss.

 

Macan mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan apa?

Manusia mati meninggalkan nama.  Kalau saya bilang nama kita berkaitan dengan nilai kita. Nilai apa yang kita wariskan kepada penerus kita?  Nilai apa yang tertinggal di dalam benak orang-orang yang kita tinggalkan?  Apakah kita memilih menjadi tukang ‘warteg’ atau tukang ‘soto’.  Apakah kita sekedar berjualan atau kita memberikan nilai?  Kalau kita hanya sekedar mendapat uang dengan berjualan, kita akan menjadi seperti tukang ‘warteg’, tetapi kalau kita memberikan nilai, kita akan menjadi seperti tukang ‘soto’. 

Terus terang bahwa saya baru kali pertama mengunjungi warteg tersebut, tapi dengan kejadian pertama tersebut, saya tidak mau kembali ke tempat tersebut.  Dalam melakukan bisnis, ataupun hanya berjualan, kita perlu ingat, apa nilai tambah yang kita berikan, sehingga dengan nilai tambah tersebut, uang adalah akibat dari usaha kita dalam menambah nilai tersebut.  Dan saya sangat percaya, orang yang kaya yang sesungguhnya adalah orang yang membanjiri hidupnya dengan nilai-nilai.  Bagaimana pendapat Anda Apa nilai yang kita mau wariskan?  Apa jejak yang akan kita tinggalkan?

 

Salam,

 

 Jejak.

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger