Selaras Luar-Dalam

Perusahaan yang berhasil mengambil hati pelanggan, namun gagal memikat hati karyawan, berakibat harapan hidup perusahaan rendah.

Akhir September lalu, Sri Mulyani, berduka. Ibunya, yang mengidap kanker selama bertahun-tahun, meninggal. Di tengah suasana berkabung itu, datang karangan bunga dukacita dari bank swasta asing, tempat Sri bekerja. Berbarengan dengan itu, bos dan beberapa rekannya turut hadir. Mereka memeluk dan mengucapkan belasungkawa kepada perempuan 31 tahun itu. Sikap empati dari perusahaannya mengobati kesedihan Sri.

Menurut Sri, perhatian perusahaan kepada karyawan telah lama terbangun di kantornya. Hampir semua pekerjanya merasakan puas dengan perlakuan manajemen terhadap karyawan. "Perhatiannya hingga urusan keluarga," ujar Ibu dua anak itu. Akibatnya, kepuasan karyawan terpancar ketika melayani nasabah.

Lain lagi cerita Bintardi, 24 tahun, bukan nama sebenarnya. Dua bulan lalu, gadis asal Bandung itu memutuskan keluar dari perusahaannya, yang bergerak di bidang konsultan produk di Jakarta Selatan. "Saya kelelahan," katanya saat dihubungi Kamis lalu. Bintardi menilai atasannya tidak luwes dalam memimpin, padahal si bos dikenal sangat perhatian kepada klien. "Bos dikenal konsultan yang ramah kepada klien," ujarnya.

Kekesalan Bintardi karena unek-uneknya tidak pernah tersalurkan. Hubungannya dengan atasan selalu berupa penagihan tugas. "Saya ingin menyampaikan beban tugas terlalu banyak," ujarnya. Gara-gara tuntutan bos yang besar, mengakibatkan alumni Institut Teknologi Bandung itu acap lembur hingga pagi hari. "Saya sering hanya libur sehari dalam sepekan."

Dosen psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Budi Setiawan, mengatakan bahwa pihak perusahaan seharusnya memiliki brand yang baik kepada konsumen maupun karyawannya sendiri. "Kepribadian perusahaan harus tunggal," katanya saat dihubungi pada Kamis lalu.

Budi menilai perusahaan yang ramah kepada pelanggan, namun tidak kepada karyawan, merupakan perusahaan yang berkepribadian ganda, seperti perusahaan Bintardi. "Itu tidak baik," ujarnya.

Perusahaan seperti itu, menurut pria yang akrab dipanggil Bukik ini, seakan memisahkan dunia luar dengan internal perusahaan. Cirinya dapat ditunjukkan dengan model komunikasi perusahaan. Urusan perusahaan dengan publik biasanya dikelola departemen pemasaran dan public relation. Sedangkan urusan karyawan menjadi tanggung jawab departemen personalia atau human resources.

Nah, pembagian kerja seperti itu acap kali dipahami sepotong-potong oleh manajemen. Akibatnya, urusan ke luar hanya melibatkan departemen pemasaran dan publik relation tanpa mengajak personalia. "Begitu juga sebaliknya," ujarnya.

Dalam pendapat Budi, yang dimuat di laman portalHR.com, perusahaan yang menerapkan model komunikasi seperti itu biasanya menganggap karyawan sebagai mesin. "Padahal memperlakukan pelanggannya sebagai manusia," kata dia.

Ketua Program Studi Magister Perubahan dan Pengembangan Organisasi Universitas Airlangga itu menilai, tren beberapa perusahaan di Indonesia masih berkepribadian ganda. Perusahaan melakukan upaya pemasaran yang memikat hati masyarakat. Namun, ketika berkomunikasi dengan karyawan, hanya menginformasikan melalui surat tugas. Maka tak bisa terhindarkan perusahaan gagal memikat karyawan. "Ibarat sebuah tim, personel perusahaan berlarian ke berbagai arah tanpa kesatuan semangat," katanya.

Budi menyarankan perusahaan melakukan upaya membangun ulang brand-nya. Dia menyebutnya re-branding, yakni upaya mengenalkan identitas perusahaan kepada masyarakat sekaligus kepada anggota organisasi. "Identitas yang dikenal pelanggan adalah identitas yang dikenal karyawan." Jika sudah demikian, identitas perusahaan kuat. Akibatnya akan melahirkan rasa memiliki, baik oleh pihak luar maupun dalam.

Upaya re-branding tak hanya membenahi organisasi di mata publik. "Tapi sekaligus bisa melejitkan semangat kerja karyawan," kata Budi. Langkah untuk mengenali kepribadian perusahaan bisa dengan mengadakan survei tentang perusahaan menurut pandangan eksekutif, manajemen, karyawan,supplier, dan konsumen. Hasilnya, kata Budi, digunakan untuk merumuskan kepribadian perusahaan yang koheren.

Menurut Budi, perusahaan yang menginginkan persepsi baik dari karyawannya akan melibatkan bagian personalia dalam perumusan kebijakan ke luar. Misalkan diajak rapat meski membicarakan pemasaran maupun keuangan. Cara ini diharapkan agar personalia mampu berinovasi membuat program pengembangan karyawan yang selaras dengan kebijakan perusahaan.

Jika demikian, usia perusahaan bakal bertahan lama. Budi menukil penelitian yang dilakukan Arie de Geus (pembicara publik dan bekas kepala strategic planning group perusahaan minyak Belanda, Shell) tentang 27 perusahaan bisa berumur lebih dari 100 tahun karena mempunyai ciri kohesif dan identitas yang kuat. "Tingkat harapan hidup perusahaan lebih lama," ujarnya. Kepribadian yang kuat tidak membuat perusahan tercerai-berai meski di dalamnya diisi beragam kelompok. "Karyawan dari berbagai tingkatan merasa menjadi bagian sebuah komunitas." AKBAR TRI KURNIAWAN

 

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger