HCS, MSD

Oleh: Andrias Harefa


Hidup cuma sekali, mesti sukses dong! Begitu salah seorang kawan menegaskan prinsip hidup dan perjuangannya. Dan saya terkesan. Pernyataannya mempesona. Saya bahkan terbius dengan kata-kata pendek itu. Ini suatu perumusan yang jenius. Sebuah cara mengetuk pintu otak yang ciamik, rancak bana, anggun sekaligus berwibawa. Ketukannya masuk ke belahan kiri, meluncur ke belahan kanan otak, lalu menukik menuju hati.

Bagaimana tidak? Ia mulai dengan menunjukkan kesadarannya. Ia sadar bahwa hidup cuma sekali. Ya, hidup cuma sekali. Walau kita berkali-kali mandi, berkali-kali makan dan minum, berkali-kali tidur dan bangun, berkali-kali jatuh cinta atau patah hati, berkali-kali ganti baju-kaos-sepatu-sandal-

telepon-motor-mobil-rumah, berkali-kali ujian, berkali-kali baca buku, berkali-kali menulis karangan, berkali-kali jalan-jalan kemana-mana, berkali-kali kena tipu atau justru menipu, berkali-kali dipukul atau memukul, berkali-kali sehat atau sakit, berkali-kali tertawa atau menangis, dan berkali-kali dalam bermacam-macam hal, tapi hidup cuma SATU kali saja.

Buat saya, pesona “HCS,MSD”—singkatan dari Hidup Cuma Sekali, Mesti Sukses Dong tadi—bukan hanya karena soal SEKALI itu. Soal yang lebih penting adalah bahwa yang sekali itu adalah HIDUP. Kata pertama itu tak tergantikan.
Coba ganti dengan “mati”, sehingga menjadi Mati cuma sekali, mesti sukses dong. Nggak nyambung, kan? Kata “hidup” dalam HCS,MSD jelaslah tak tergantikan. Mau diganti dengan kata apa, coba?

Kata “hidup” mengingatkan saya pada Pam Stenzel, seorang anak yang lahir dari benih perkosaan di Negeri Uwak Sam. Ia pernah memberikan kesaksian yang membuat hidup setiap orang yang mendengarkannya akan menjadi lebih hidup.

Dalam kesaksian yang beredar dalam format VCD diperalihan milenium yang lalu, ia berkata: “Ayah biologisku adalah seorang pemerkosa. Aku bahkan tak tahu apa kebangsaanku. Tapi aku tetap manusia dan punya nilai. Nilai hidupku tak kurang sedikit pun dibandingkan dengan orang lain karena cara aku dikandung. Dan aku tak layak dihukum mati akibat kejahatan ayahku. Aku sudah bosan dengan gelak tawa orang-orang. Di Minneapolis mereka berkata, ’Anak selalu diinginkan dan direncanakan. Dirimu adalah kesalahan’. Aku tak percaya itu. aku percaya setiap anak diinginkan seseorang dan Tuhan mengasihinya ... aku belum bertemu ibu kandungku. Ku harap suatu hari nanti bisa. Jika tak bisa di bumi, mungkin di sorga. Itu doaku sejak umur 4 tahun. Dan jika nanti kami bertemu, akan ku genggam tangannya dan berkata, betapa aku sangat mencintainya karena ia sangat mencintai aku. Ia cukup mencintaiku untuk memberiku hidup dan juga hadiah paling istimewa yang pernah diberikan kepadaku: keluargaku. Aku tak tahu apa diriku hari ini jika ibu memutuskan untuk menggugurkanku. Aku amat bersyukur ia mencintaiku dan memberiku keluarga.”

Pam Stenzel pantas menjadi guru saya. Ia menegaskan bahwa yang paling bernilai dalam hidup adalah hidup itu sendiri. Ini ajaran yang luar biasa sekali. Hidup itu lebih penting dari kekayaan, dari popularitas, dari fasilitas, dari kegagalan, dari masalah, bahkan dari kesuksesan sekalipun. Banyak masalah masih mungkin di atasi kalau ada hidup. Kegagalan bisa diterjang kalau ada hidup.

Daftarkan saja semua hal yang diinginkan, diangankan, dan diperbincang-kan manusia dalam sejarah: pencarian hidup, perjalanan hidup, kekayaan hidup, fasilitas hidup, kebahagiaan hidup, keberhasilan hidup, kenikmatan hidup, dan sebagainya. Lalu coba bayangkan apa jadinya jika dalam semua hal yang diinginkan manusia itu ia kehilangan hidupnya sendiri. Masihkah ada nilainya semua itu? Apa arti kekayaan, nama besar, fasilitas hebat, dan keberhasilan spektakuler, jika orangnya sendiri sudah mati?

Lebih jauh Pam juga mengingatkan akan adanya kehidupan sesudah kematian tubuh. Dan penting sekali untuk memastikan bahwa setelah kematian tubuh akan ada kehidupan di sorga (atau ke neraka) yang bersifat kekal. Sebab apa gunanya kita memperoleh semua hal yang hebat di dunia ini, kalau dalam kekekalan kita justru tidak hidup, tidak masuk sorga. Buat apa memiliki kehidupan yang mengagumkan orang banyak selama 70-80 tahun, namun menderita dalam kekekalan yang bukan hanya 1.000 tahun, tetapi 1.000 kali 1.000 kali 1.000 kali 1.000 dan seterusnya. Artinya, meski kita menjalani kehidupan yang terbatas waktunya di bumi ini, kita perlu menjaga perspektif pada kehidupan yang tanpa batas waktu setelah kematian tubuh nanti.

Hidup cuma sekali, mesti sukses dong! Setujukan? Yang penting kalau mau sukses, jangan pakai cara nodong dong. Pakailah tiga jurus yang kita obrolin nanti di tulisan berikutnya. Sukses hanya perlu tiga jurus saja (dalam bingkai kasih karunia Tuhan, tentunya). Dan ini jurus sederhana yang ampuh luar biasa. Kalau tak percaya, lanjutkan saja membaca.

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger