Pembelajar Dewasa

Siapapun yang tertarik untuk menjadi pelatih (trainer) di dunia kerja, perlu memahami apa yang diinginkan pembelajar dewasa dari pelatihan. Ya, what do adults want  from training? Bagaimana pembelajar dewasa ingin diperlakukan; senangkah mereka kalau diceramahi seperti mahasiswa; apakah pendapat dan gagasan mereka perlu didengarkan; suasana kelas seperti apa yang mereka inginkan; apa yang mereka inginkan dari pelatihnya; apakah studi kasus merupakan cara paling efektif untuk membuat orang dewasa belajar; lalu apakah perlu diberikan tugas-tugas khusus; dan sejumlah pertanyaan lain bisa diajukan untuk memperoleh jawaban atas karakteristik pembelajar dewasa yang bekerja.

Pemahaman mengenai apa yang diharapkan oleh pembelajar dewasa dari sebuah pelatihan amatlah penting, agar pelaksanaan pelatihan bagi pembelajar dewasa tidak dijalankan berdasarkan pengalaman mengajar anak-anak sekolah menengah atau menguliahi mahasiswa/i di kampus. Pembelajar dewasa yang bekerja tidak suka diperlakukan seperti anak-anak yang harus menerima begitu saja segala sesuatu yang diajarkan kepadanya. Pembelajar dewasa yang bekerja juga tidak suka diperlakukan sebagai anak remaja yang harus diatur secara ketat oleh orangtuanya; atau diperlakukan seperti mahasiswa yang sedang ikut ujian di kampus untuk mendapatkan gelar kesarjanaannya. Lalu apa yang mereka harapkan?

Studi tentang apa yang diharapkan oleh pembelajar dewasa dari sebuah pelatihan telah dilakukan lebih dari lima dekade. Dan dari sejumlah studi, pengalaman, dan pengamatan pribadi selama belasan tahun berkarier sebagai professional trainer dan belakangan sebagai trainerpreneur, dapat saya simpulkan beberapa hal berikut.

Pertama, pembelajar dewasa ingin diperlakukan sebagai (tentu saja) orang dewasa. Mereka bukanlah remaja dengan ukuran tubuh yang lebih besar. Mereka bukan mahasiswa/i yang takut tidak lulus ujian karena dosennya berpenampilan killer. Mereka adalah orang yang sudah mandiri; mampu menghidupi dirinya dan bahkan keluarganya; memiliki kematangan emosional dan mental (intelektual); punya keyakinan spiritual yang sudah matang. Meski hal ini kadang dianggap sepele, namun pelatih yang gagal memperlakukan peserta pelatihannya sebagai orang dewasa akan mendapatkan respons yang buruk.

Kedua, pembelajar dewasa ingin tahu bahwa pendapat mereka didengarkan. Jika mereka menyampaikan pandangannya, mereka ingin memastikan bahwa mereka didengarkan, diperhitungkan, dan tidak dianggap seperti pelengkap penderita. Karena itu ketika mereka bicara, pelatih yang baik perlu mengarahkan mata dan tubuhnya ke arah dia yang sedang berbicara.

Ketiga, pembelajar dewasa juga ingin dipandang sebagai narasumber. Mereka tidak suka dianggap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Dan mereka memang tidak bodoh dan “kosong” seperti halnya anak-anak. Mungkin saja mereka tidak terlalu paham dengan berbagai istilah teknis pelatihan yang dibawakan oleh pelatih, namun pada dasarnya mereka juga memiliki sesuatu yang bernilai untuk dibagikan dalam kelas. Pelatih yang profesional justru acapkali memposisikan sebagian peserta di kelasnya sebagai narasumber dan tidak merasa terganggu dengan hal itu. Sementara pelatih yang masih kurang pengalaman kadang kala ingin menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya narasumber dalam ruangan pelatihan.

Keempat, pembelajar dewasa ingin dilibatkan secara aktif dalam proses pelatihan. Mereka ingin menjadi aktornya, contohnya, pelakunya. Kalau ada diskusi, mereka menginginkan diskusi yang cukup terbuka dan menantang munculnya gagasan-gagasan baru. Ceramah yang satu arah bukanlah cara belajar yang diharapkan orang dewasa. Mereka tidak puas dengan jawaban-jawaban standar yang bahkan sudah dipersiapkan.

Kelima, pembelajar dewasa memberikan tanggapan yang terbaik dalam suasana belajar yang rileks dan suportif. Ini merupakan suatu hal yang krusial. Mereka tidak suka belajar dari suasana yang tertekan dan terlalu serius. Mereka juga tidak menikmati proses belajar yang mencekam di mana pelatih memainkan peran seperti atasan langsung yang galak dan penuh tuntutan. Suasana yang rileks dimana canda dan tawa sesekali terdengar, umumnya merupakan indikator yang baik.

Keenam, pembelajar dewasa menginginkan materi dan kegiatan belajar yang berhubungan dengan kebutuhan personal dan kebutuhan kolektif mereka sebagai pekerja. Umumnya materi yang dilatihkan diharapkan juga terkait dengan sasaran-sasaran kerja yang spesifik dan diharapkan perusahaan dari mereka. Orang yang bekerja dalam bidang penjualan langsung, misalnya, mengharapkan pelatihan penjualan yang mereka peroleh bisa menolong mereka mencapai tuntutan target penjualan. Mereka yang ikut pelatihan motivasi mengharapkan cara-cara praktis yang bisa mereka pergunakan untuk membangunkan gairah hidup dan antusiasme kerja saat diperlukan. Mereka yang ikut pelatihan kepemimpinan menginginkan petunjuk dan panduan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya secara lebih efektif.

Ketujuh, pembelajar dewasa menginginkan pemecahan masalah atas situasi-sistuasi nyata yang mereka hadapi. Orang dewasa senang mendiskusi kasus-kasus aktual, tetapi sepanjang kasus-kasus tersebut relevan untuk konteks pekerjaan mereka, cocok dengan budaya perusahaan, sesuai kultur Indonesia, dan bukan kasus yang berasal dari negeri antah berantah.

Kedelapan, pembelajar dewasa mengharapkan prinsip-prinsip dan gagasan yang bisa langsung dipraktikkan di luar kelas. Mereka mengikuti pelatihan untuk bisa melakukan pekerjaannya (atau hobinya) dengan lebih baik. Mereka umumnya tidak mengikuti pelatihan sekadar untuk menambah wawasan, sebab hal itu bisa diperoleh dengan membaca.

Kedelapan hal tersebut diatas pada dasarnya bertumpu pada hasil penelitian mengenai empat karakter dasar dari pembelajar dewasa, yakni: pertama, mereka mengarahkan dirinya sendiri (self-directed), sehingga tidak suka terlalu didikte dan diatur; kedua, mereka membawa serta pengalamannya (bring experience), sehingga ingin diberi kesempatan untuk aktif berbagi dan tidak dianggap bodoh dan tak tahu apa-apa; ketiga, mereka berorientasi pada masa kini (now oriented), sehingga relevansi dan kasus-kasus nyata menjadi penting; dan keempat, mereka berorientasi pada pemecahan masalah (problem-solving oriented), sehingga aplikasi yang konkrit menjadi penting.

Pada hemat saya, siapa saja yang bercita-cita menjadi pelatih, baik dalam peran sebagai internal/corporate trainer, terlebih lagi trainerpreneur, perlu memperhatikan (a) delapan hal yang diharapkan orang dewasa dari pelatihan; dan (b) empat karakteristik pembelajar dewasa tersebut di atas dengan saksama. Jika tidak, siap-siap saja menuai akibatnya. [*]

 

*Ditulis oleh Andrias Harefa, CEO MItra Pembelajar / Speaker, Trainer, & Penulis 40 buku Bestseller

 

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger