Coaching itu (Bukan) Percakapan Biasa

Posted in www.AntZInstitute.com

Coaching itu percakapan. Seorang coach yang mahir akan mampu mempraktikkan coaching sehingga seolah-olah ia adalah percakapan biasa. Namun sejatinya di dalam percakapan itu terjadi proses perubahan yang sangat halus. Serupa pengalaman saya ketika pertama kali melihat ayah saya memalu paku ke sebuah papan. Tampak ringan dan mudah. Begitu saya coba sendiri, hampir-hampir jemari saya pipih dibuatnya. Hehe..

Lalu, kapan sebuah percakapan dianggap sebagai coaching?

Pertama, coaching adalah percakapan dengan sebuah tujuan. Tujuan ini bisa secara eksplisit dinyatakan di awal seperti, “Dalam sesi kali ini apa tujuan yang ingin Anda capai?” atau lebih tersamar serupa, “Terus, kalau obrolan kita ada manfaatnya, apa yang mau lo dapet sekarang?” Percakapan yang tanpa tujuan bisa dipastikan bukan coaching, meski ia menyenangkan. Sisi lain, percakapan non formal yang oleh seorang coach ‘diarahkan’ untuk mencapai sebuah tujuan, bisa jadi sebuah coaching.

Kedua, coaching adalah percakapan yang berfokus pada klien. Ia bukanlah saling curhat. Sang coach mendengar, untuk memahami, dan membantu kliennya menemukan pemahaman baru. Bukan mendengar, lalu untuk menimpalinya dengan kisah kasih pribadi, sehingga malah kadang berbalik menjadi sesi curhat sang coach. Juga bukan sesi pemberian nasihat-nasihat bijak. Ups, bukan tidak boleh kita memberi nasihat. Hanya saja, itu bukan coaching, meskipun kerapkali mencerahkan juga.

Ketiga, coaching adalah percakapan yang berorientasi pada tindakan. Di akhir sesi, tidak saja klien merasakan sebuah rasa seperti semangat, lega, dsb, melainkan juga dibimbing untuk mengambil tindakan nyata. “Terus, kalau sekarang lo udah lega, apa yang mau lo lakukan di meeting nanti siang?” Atau, “Nah, saat ini Anda sudah bisa memilih mana keputusan yang akan Anda ambil. Lalu, apa yang mungkin menghalangi Anda untuk benar-benar mengambil keputusan itu? Dan apa yang akan Anda lakukan terhadap halangan itu?” Seorang coach tidak pernah membiarkan kliennya berhenti hanya di perasaan. Ia akan terus mengejar sang klien hingga pada rencana tindakan. Sebab tidak ada hal yang akan benar-benar berubah, sampai sesuatu benar-benar dilakukan.

Ini setidaknya beberapa ciri khas percakapan yang coaching banget. Nanti kalau ada lagi akan saya tambahkan ya.

 

NB: Artikel ini terinspirasi dari tulisan L. Michael Hall bertajuk “From Good Coaching to Great Coaching”, 4 Februari 2009.

 

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger