KENALI TEROR MENTAL DALAM KEHIDUPAN

Salah satu fenomena yang dapat kita lihat di dunia ini adalah, selalu lebih sedikit jumlah pemimpin daripada jumlah pengikut (tentu saja, kan..?). Juga selalu lebih sedikit jumlah orang sukses daripada orang gagal. Lebih sedikit jumlah pemenang daripada pecundang.

Apa sih penyebabnya? Apa yang terjadi dengan para pecundang?

Sebenarnya, beberapa dari mereka tidaklah benar-benar pecundang. Mereka hanya menjadi korban teror. Tepatnya, teror mental dalam kehidupan. Apa yang dimaksud dengan teror mental itu?

Menurut Sigmund Freud, pengalaman masa kecil seseorang akan menentukan seberapa tinggi pencapaian yang akan dapat diraih oleh yang bersangkutan ketika dewasa. Bila seorang anak terlalu sering menerima "teror" dari orang tua, para guru, teman dan lingkungan yang berupa cacian, hinaan, pelecehan dan sebagainya, maka hampir bisa dipastikan bahwa anak itu akan mengalami hambatan dalam meraih masa depan yang baik.  Ia menjadi rendah diri dan akan menjelma sebagai "prototipe" seorang pecundang kelak di kemudian hari. Apalagi kalau teror-teror kehidupan itu berlangsung tidak hanya sebatas masa kecil, tapi juga dialami di masa remaja, terus ke masa dewasa saat usia produktif.

Cercaan, sindiran, penghinaan serta pelecehan yang dialami di usia dewasa tentu akan lebih berbahaya daripada yang diterima di masa kecil. Sebab, pada masa dewasa produktif, rasa kebanggaan diri (self-esteem) sudah tumbuh di dada setiap individu. Konsekuensinya adalah, pelecehan yang "mengena" dan "menikam" ke dalam hati seseorang, dapat dengan serta merta menghancurkan harga diri yang bersangkutan. Hancurnya harga diri akan diikuti dengan hancurnya juga kepercayaan diri, motivasi serta naluri kepemimpinan. Kalau sudah demikian, maka kita tinggal menunggu waktu saja bahwa akan segera muncul seorang pecundang lagi.

Yang ironis, teror-teror kehidupan yang terjadi di usia dewasa itu kebanyakan dilontarkan bukan oleh orang tua atau guru, tapi justru oleh kolega. Bisa teman sekantor, bisa teman bisnis, atau bisa juga rekan sekomunitas yang tentunya memiliki motivasi negatif, seperti iri hati, dengki atau merasa tersaingi.

Lantas, bagaimana cara mengatasi masalah ini?

Seorang sahabat saya di dunia spiritual pernah memberikan solusi yang dia sebut sebagai "The Thinking Paradox" (TTP).  Solusi ini cukup sederhana untuk dimengerti, tapi butuh waktu untuk kita mampu melakukannya dengan mulus.  Sesuai dengan namanya, The ThinkingParadox  mengajak kita untuk membalikkan cara berpikir. Misalnya, kalau kita dilecehkan oleh satu, beberapa atau bahkan sekelompok orang dalam komunitas yang sama, jangan buru-buru berkecil hati.

Lihat dulu apa kira-kira motivasi para peleceh tersebut. Pada banyak kasus, orang-orang yang mencerca umumnya adalah orang-orang yang tidak tulus mengoreksi pihak lain. Aksi mereka lebih banyak didorong oleh nafsu menjatuhkan, karena rasa dengki atau merasa tersaingi. Nah, dalam hal seperti ini, TTP justru menganjurkan kita untuk berempati serta melimpahkan rasa kasihan pada mereka. Para nabi di jaman dulu juga melakukan hal yang sama: berempati bahkan mendoakan para peneror saat mereka dilecehkan habis-habisan oleh komunitasnya sendiri.

Mengapa pula kita harus berempati pada orang yang mencerca kita?

Karena,  apa yang dicercakan itu sesungguhnya lebih mencerminkan kualitas diri para pencerca sendiri. "Buruk muka, cermin dibelah", begitu kata peribahasa.

Namun demikian, juga harus ingat bahwa jika para pencerca berkesempatan untuk melecehkan, kemungkinan memang ada suatu kekeliruan yang kita lakukan. Dan ini yang dilihat oleh mereka sebagai  peluang untuk menjatuhkan.

Yang perlu kita yakini adalah, aspirasi positif tidak akan pernah salah (karena aspirasi negatif bukanlah aspirasi, melainkan kejahatan). Yang bisa salah adalah tindakan, karena sifatnya teknis. Kesalahan teknis relatif mudah diperbaiki, dan itu lumrah-lumrah saja. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk kita menyalahkan diri sendiri, apalagi sampai menganggap diri inferior, bodoh atau semacamnya. Jangan sekali-kali terpancing oleh provokasi para pendengki.

TTP menganjurkan kita untuk berterima kasih kepada para pencerca dan peleceh itu. Karena mereka telah mengingatkan kita bahwa ada kekeliruan yang telah kita buat. Merekalah yang telah memberi kesempatan pada kita untuk memperbaiki kesalahan teknis tersebut

Pertanyaannya kemudian, mengapa pula mereka harus mencerca dan melecehkan? Bukankah ada cara yang lebih elegan?

Melecehkan dan mencerca adalah ciri khas paling menonjol yang hanya bisa keluar dari mulut para pecundang sendiri.  Secara tidak disadari, mereka mengira bahwa semua orang sama pecundangnya seperti mereka. Sehingga, bukannya berusaha meningkatkan kualitas diri, mereka justru mencari-cari kelemahan orang lain untuk dijatuhkan.

Lalu, bagaimana agar kita tetap bisa mempertahankan diri agar selalu memiliki "Kualitas Sang Juara" serta tidak terpancing untuk ikut-ikutan bermental pecundang?

Sebagaimana yang dianjurkan oleh Steve Jobs, pendiri Apple Corporation, ingat saja kata-kata: "Tetaplah bodoh, tetaplah lapar!"  Seorang juara tidak segan menganggap dirinya bodoh, karena dengan merasa bodoh, ia akan selalu bersemangat untuk belajar dan memperbaiki diri. Di samping itu, dengan merasakan dirinya lapar, ia juga akan selalu terdorong untuk melayani dan berbagi. Kepada siapa saja, termasuk pada para pecundang!

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger