Apa itu Kecerdasan Apresiatif?

Baru-baru ini apa yang telah dirangkum oleh Tojo Thatchenkery dan Carol Metzker dalam bukunya ternyata sanggup memberikan kesegaran atau warna baru mengenai konstruk kecerdasan. Kedua orang tersebut membawa kepada sebuah penemuan kontruk baru mengenai kecerdasan apresiatif. Kecerdasan apresiatif merupakan kemampuan untuk merasakan adanya potensi-potensi positif pada sesuatu hal, dimana pencarian potensi positif tersebut ditekankan pada kehadiran waktu saat ini –present (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 5).

Secara sederhana dapat dikatakan, kecerdasan apresiatif merupakan kemampuan untuk melihat Pohon Ek yang besar melalui buahnya. Dengan kata lain kecerdasan apresiatif adalah kapasitas kemampuan untuk melihat hal yang lebih besar atau lebih hebat dimana bisa terjadi di masa depan melalui apa yang dimiliki dan ditampakkan di saat ini. Terkadang ada kalanya potensi-potensi yang hebat tersebut menjadi tersembunyi atau tertutup sesuatu yang melapisinya, sehingga perlu dilakukan sebuah pencarian secara cermat dan berhati-hati dalam berbagai situasi yang melingkupi.

Ilustrasi tentang kecerdasan apresiatif silahkan klik disini

Kecerdasan apresiatif merupakan sebuah konstruk baru. Berbeda dengan sebuah konsep, dimana menunjukkan sebuah abstraksi yang terbentuk dari generalisasi dari fakta-fakta yang ada, konstruk merupakan sebuah konsep yang telah dengan sengaja dan secara sadar dibuat atau disesuaikan dengan dengan tujuan ilmiah yang spesifik. Konstruk baru kecerdasan apresiatif akan membantu di dalam menjelaskan pemikiran-pemikiran yang ada di balik terciptanya sebuah kesuksesan. Di balik kesuksesan para pemimpin utama, penemu, dan inovator, sebenarnya keunggulan yang berhasil mereka ciptakan diawali dari cara mereka mempersepsi produk, tempat, orang-orang, peristiwa, dan situasi di sekitar mereka. Kecerdasan apresiatif mencakup kapasitas untuk mengapresiasikan manusia, untuk melihat dan menampakkan nilai-nilai tersembunyi dari sesuatu, dan untuk melihat stereotip-sterotip masa lalu. Para pemimpin tersebut melihat akhir positif dari sesuatu dimana ketika orang lain tidak dapat menyadari potensi-potensi itu sebelumnya (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 11).

Kemampuan tersebut akan diikuti dengan berbagai faktor pendukung antara lain ketekunan, keyakinan bahwa seseorang dapat mencapai goal atau menyelesaikan sebuah tugas sebagai hasil dari tindakan mereka, kemudian dapat menerima dan menolerir hadirnya ketidak pastian, memiliki kegembiraan yang bebas, dan kemampuan untuk membuat suasana menjadi segar kembali setelah menghadapi krisis maupun situasi yang sulit. Kecerdasan apresiatif diasosiasikan dengan persepsi yang tidak biasa dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas dengan baik dengan mengoptimalkan penggunaan kemampuan dan sumber daya yang ada walaupun sebenarnya kurang memadai (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 11).

Tidak seperti model kecerdasan yang lainnya, kecerdasan apresiatif mengisi kebutuhan manusia atas makna, impian, dan nilai hidup dimana terdapat sebuah tujuan di dalamnya. Kecerdasan apresiatif merupakan faktor di balik penciptaan kemungkinan-kemungkinan baru dan membantu untuk melihat langkah-langkah penting dalam menyadari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Hal inilah yang kemudian akan mendorong seseorang untuk merangkai impian dan berjuang untuk merealisasikannya. Selain itu kecerdasan apresiatif juga akan berguna untuk menjaga keinginan umat manusia dalam meningkatkan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan dengan mengembangkan peluang-peluang baru. Kecerdasan apresiatif juga merupakan sebuah cara untuk mengetahui dan menginterpretasikan situasi yang ada secara positif. Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh Viktor Frankl (1963) dalam bukunya Man's Search for Meaning :
"everything can be taken from a man but one thing : the last of the human freedoms – to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way" (dikutip dari Thatchenkery, Metzker, 2006 : 12)

Ketika seseorang sanggup menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk melihat sesuatu yang buruk dan menemukan pengaruh di dalamnya dan kemudian digunakan bertahan, maka hal tersebut merupakan sebuah kapasitas untuk tidak mengingkari atau menyangkal kegagalan yang dialami melainkan keberhasilan dalam mengambil pelajaran maupun hikmah dari kegagalan dan hal-hal yang ditakuti.

Apa yang diungkapkan oleh Frankl tersebut sejalan dengan seseorang yang menyadari kekuatan dari kecerdasan apresiatif dirinya, dimana orang tersebut mempunyai kecakapan untuk mengambil hikmah dari apa yang dialaminya sehari-hari dalam mencapai tujuan hidup yang berarti. Hal ini dikarenakan mereka bisa membingkai ulang -reframe segala sesuatu dalam hidupnya, cenderung fleksible, aktif, serta merupakan individu yang secara spontan adaptif terhadap berbagai situasi yang dihadapi. Dengan melihat situasi melalui perspektif yang baru maka orang yang menggunakan kecerdasan apresiatif akan dapat menyesuaikan diri dalam berbagai rintangan dan melaluinya dengan keberanian dan kegembiraan yang mereka miliki.

Selain itu mereka juga memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal positif dan melihat bagaimana masa depan bisa berkembang dari potensi-potensi positif yang hadir di masa sekarang. Semua hal tersebut terangkum sebagai kapasitas mereka dalam menghadapi berbagai halangan maupun kemalangan yang turut menghiasi lembar kehidupan dengan tidak membiarkan rintangan-rintangan tersebut sanggup menghancurkan impian mereka. Melihat segala sesuatu secara lebih luas dan berbagai macam hubungan dari segala sesuatu yang berbeda merupakan contoh dimana seseorang sanggup menggeser atau mempertukarkan bingkai-bingkai realita demi mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalamnya dan bukan untuk mencari batasan-batasan dari kehadiran realita. Kesadaran mereka dalam menghadapi ambiguitas maupun bayangan kelabu di berbagai situasi, akan membuat mereka mampu bertahan dalam ketidak pastian tanpa harus mengetahui jawaban-jawaban dari ketidak pastian itu sendiri. Hal yang mereka lakukan hanyalah melihat bagaimana masa depan yang positif dapat tercipta dari kehadiran kekuatan-kekuatan positif di masa sekarang. Orang-orang yang menggunakan kecerdasan apresiatif akan menjalani hidup mereka secara optimis dan realistis (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 12).

Seseorang yang menggunakan kecerdasan apresiatif pada level tinggi akan memunculkan pengorganisasian beragam inovasi dan kreatifitas, anggota-anggota yang lebih produktif, dan kemampuan hebat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Sehingga pada akhirnya organisasi tersebut akan dapat menikmati keuntungan-keuntungan yang muncul dari adanya kompetisi, kesuksesan finansial yang meningkat dan pengaruh-pengaruh dunia yang lebih hebat.

Perkembangan dan identifikasi dari kecerdasan apresiatif telah memiliki implikasi pencapaian yang telah jauh dimana berperan penting bagi individu, organisasi dalam beragam tipe dan ukuran, serta masyarakat secara keseluruhan. Pemahaman terakhir mengenai kecerdasan telah mengungkapkan bahwa kecerdasan lebih sebagai kapasitas perubahan yang bisa ditingkatkan dan dipelihara daripada sebuah kesatuan yang statis. Hal ini kemudian menuntun kepada suatu kesimpulan bahwa kecerdasan apresiatif bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Dengan menyadari dan mengolah kecerdasan apresiatif maka diharapkan akan dapat membawa kehidupan manusia kepada kesejahteraan, kesuksesan dan kesehatan baik dalam level individu maupun organisasi. Seseorang yang memiliki kesuksesan dalam hidupnya maka dapat dikatakan bahwa mereka berhasil dengan efektif untuk menggunakan kecerdasan apresiatifnya melalui langkah-langkah pembingkaian ulang –reframing atas realita kehidupan, mengapresiasikan hal-hal positif, dan kemampuan untuk melihat bagaimana masa depan terbentang dari kehadiran masa sekarang (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 13).

Komponen Kecerdasan Apresiatif

a. Pembingkaian Ulang –ReframingKomponen pertama dari Kecerdasan Apresiatif adalah kemampuan seseorang untuk sanggup merasakan, melihat, menginterpretasikan, membingkai ataupun membingkai ulang. Membingkai –framing merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang secara sengaja melihat atau meletakkan sesuatu obyek, person, konteks atau skenario ke dalam sebuah perspektif tertentu. Salah satu contoh yang telah sering diketahui sebelumnya adalah cara pandang di dalam memaknai konsep half glass of water. Dimana jumlah air di dalam gelas sebenarnya adalah sama, namun bagaimana cara memaknai apakah gelas tersebut adalah setengah penuh ataukah setengah kosong tergantung pada perbedaan perspektif yang digunakan (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 6).

Dalam berbagai tindakan untuk melakukan reframing, seseorang akan dihadapkan dengan serangkaian pilihan. Dimana orang tersebut akan memusatkan perhatiannya pada satu stimulus, namun pada akhirnya dalam waktu yang sama dia juga bisa menolak stimulus tersebut. Stimulus yang menjadi fokus perhatian akan memiliki nilai lebih dibandingkan stimulus lain yang tidak menjadi fokus perhatian dan hal ini kemudian membentuk sebuah penilaian atau judgement terhadap sesuatu yang dipersepsi. Persepsi seseorang terhadap diri mereka apakah mereka adalah pribadi yang optimis ataukah pesimis akan turut mempengaruhi penilaian mereka terhadap sesuatu hal. Dengan menggunakan Kecerdasan Apresiatif, seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar akan membingkai ulang hal-hal yang ada di saat ini dan kemudian akan menciptakan sebuah pandangan baru tentang realita dimana menuntun kepada pencapaian baru pula (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 6).

Proses terjadinya reframing dimulai dari persepsi secara positif terhadap sesuatu, kemudian menerima berbagai kemungkinan yang mungkin timbul dari realita, selanjutnya membangun kerangka berpikir, hingga pada akhirnya muncul sebuah insight tertentu (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 51 – 61).

b. Mengapresiasikan Hal-hal Positif –Appreciating the PositiveKomponen kedua dari Kecerdasan Apresiatif adalah Apresiasi. Apresiasi merupakan suatu proses untuk memilih atau menilai sesuatu yang memiliki nilai positif atau berharga. Seseorang yang sukses memiliki kemampuan yang disadari maupun tidak disadari untuk mengapresiasi realita kehidupan sehari-hari dimana dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa, situasi, rintangan, dan orang-orang. Kemampuan ini seringkali membawa mereka untuk dapat melihat bakat-bakat ataupun potensi-potensi tersembunyi dari sesuatu dimana seringkali menjadi terlewat untuk diperhatikan (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 7).

Apresiasi akan menjadi sangat berguna untuk digunakan dalam mencari aspek-aspek positif yang hadir dalam kondisi sekarang ini baik dari seseorang, situasi ataupun sesuatu. Namun seringkali untuk berhasil menampakkan aspek positif tersebut, diperlukan kesadaran penuh untuk tetap membiarkannya bebas. Psikolog Mitchel Adler mendefinisikan apresiasi sebagai "mengakui nilai dan makna dari sesuatu, –sebuah peristiwa, orang lain, perilaku, dan sebuah obyek-dan merasakan emosi positif yang terhubung dengan hal tersebut. Bersama dengan Nancy Fagley, beliau mengidentifikasikan dan menentukan delapan tipe berbeda dari apresiasi, empat di antaranya sangat berkaitan erat dengan aspek-aspek Kecerdasan Apresiatif. Keempat aspek dari apresiasi tersebut antara lain; a "have" focus, "present moment" appreciation, "awe" (kekaguman) dan "ritual" (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 70).

Salah satu model apresiasi yang teramat penting adalah model apresiasi yang diperkenalkan oleh Geoffrey Vickers (1894 – 1982), seorang pejabat birokrasi dari Inggris yang beralih pekerjaan menjadi peneliti sosial. Konsep beliau mengenai sistem apresiatif (appreciative system) memberikan klarifikasi mengenai bagaimana proses framing atau pembingkaian, apresiasi, dan juga perilaku yang berhubungan dengan proses sirkuler. Berdasarkan pada penjelasan Vickers, pengalaman sehari-hari merupakan sebuah alur perubahan yang berkelanjutan dimana merupakan hasil interaksi dari adanya peristiwa dan ide-ide pemikiran. Sebagaimana ketika seseorang menghadapi sebuah peristiwa maupun ide-ide, maka mereka akan memberikan penilaian terhadap realita dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun baik atau buruknya penilaian tersebut adalah tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya. Vickers berpendapat bahwa penilaian tersebut pada akhirnya akan menuntun kepada sebuah penilaian perilaku (action judgements), ataupun keputusan untuk berperilaku dimana selanjutnya akan turut mempengaruhi peristiwa maupun ide-ide pemikiran di masa depan (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 71).

Seseorang yang memiliki Kecerdasan Apresiatif tinggi tidak akan membatasi kemampuan mereka di dalam melihat hal-hal apa saja yang positif untuk membingkai ulang sebuah situasi atau produk. Dalam sebagian besar hal, kecerdasan apresiatif terangkum dalam sebuah kapasitas untuk melihat orang lain dan potensi-potensi yang dimiliki melalui sebuah cara yang unik. Kemampuan mereka di dalam merasakan, membuat suatu hubungan, dan memiliki insight mengenai orang-orang di sekitar mereka bisa diketahui melalui tindakan-tindakan mereka untuk menyibak potensi atau bakat yang terpendam atau menunjukkan hal-hal terbaik dari orang lain (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 73).

c. Melihat bagaimana masa depan menjadi terbuka dari kehadiran saat ini –Seeing how the future unfolds from the presentSeseorang dengan kecerdasan apresiatif yang tinggi akan menghubungkan aspek-aspek positif yang hadir di saat ini dengan tujuan akhir yang diinginkan. Sehingga dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan cara bagaimana membuka masa depan dari masa sekarang. Hal inilah yang menjadi komponen ketiga dari kecerdasan apresiatif. Namun apabila orang tersebut tidak dapat melihat langkah-langkah konkret yang menjadi kemungkinan dari masa sekarang untuk bisa dihubungkan dengan keinginan di masa depan, maka dia akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan kecerdasan apresiatif (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 7).

Seseorang yang memiliki kecerdasan apresiatif tinggi adalah seorang visioner yang handal. Dimana pandangan terhadap masa depan selalu tergambar cerah dan sanggup memberikan harapan positif terhadap masa depan. Kesuksesan yang telah teraih di saat ini adalah buah perwujudan mimpi di masa lalu yang berhasil tercapai menjadi kenyataan. Gambaran tentang masa depan yang positif, akan menuntun seseorang untuk melakukan hal-hal positif di dalam kesehariannya. Hal ini disebabkan visi tentang masa depan merupakan target atau capaian yang senantiasa dikejar dan dicoba untuk diwujudkan. Keyakinan terhadap masa depan yang cerah akan membuat seseorang selalu optimis di dalam menerjang setiap rintangan yang menghadang. Keyakinan yang kuat mengobarkan semangat bahwa segala sesuatu pasti dapat dilalui dan diselesaikan dengan baik. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa mereka dapat menciptakan masa depan tidak hanya memprediksi semata, selain itu bahasa dan cara berkomunikasi yang mereka gunakan sehari-hari juga akan turut menciptakan masa depan mereka (Thatchenkery, Metzker, 2006 : 81-86).

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger