KOMUNIKASI LEBIH EFEKTIF DENGAN 6 KOMPONEN VOCAL

Selain dalam percakapan tatap muka langsung, vocal sangat diperlukan dalam percakapan melalui telepon. Karena, modal utama kita hanya suara. Kalau suara tidak diperhatikan, komunikasi bisa tidak efektif.  Komponen vocal atau komponen suara meliputi 6 unsur yang disingkat PAPERS. yaitu:

 1. Projection (proyeksi/volume), adalah keras pelannya suara. Tidak perlu repot mencari alat pengukur volume. Yang paling mudah dan pasti akurat adalah respon lawan bicara. Kalau lawan bicara sudah mengangguk-angguk dengan ekspresi wajah mengerti, berarti volume kita sudah cukup. Tapi perhatikan body language lawan bicara. Kalau dahinya berkerut sambil mengatakan, "Apa...? Apa…?" berarti volume suara kita kurang keras.

Perlu diperhatikan pula luas ruangan. Di dalam ruangan kecil, pembicara tidak perlu menggunakan alat bantu seperti microphone. Tetapi jika ruangannya lebih besar atau audiencenya lebih banyak, kita memerlukan pengeras suara. Jadi ukurannya adalah lawan bicara, apakah pesan sudah bisa ditangkap dengan jelas atau belum.

 

 2. Articulation (artikulasi). Kata-kata diucapkan dengan tepat dan mudah dimengerti. Maksudnya, pengucapan huruf a, b, c sampai x, y, z harus jelas. Setiap huruf punya artikulasi masing-masing. Jangan malas membuka dan menggerakkan bibir, mulut dan lidah dengan tepat agar menghasilkan bunyi masing-masing huruf secara tepat pula. Jadi, jangan seperti orang kumur-kumur. Apalagi untuk beberapa huruf yang sering salah terdengar karena serupa bunyinya, misalnya huruf b dan d, huruf  m dan n.

Jika tidak jelas atau meragukan, kita harus mengejanya. Apalagi untuk nama orang, alamat e-mail atau hal-hal penting lain. Dalam dunia bisnis, ada kode pengejaan huruf yang sering digunakan, misalnya Bravo untuk b, Delta untuk d, dan lain-lain. Kode selengkapnya bisa kita lihat dalam tabel berikut ini. Kalau kita belum hafal dengan kode ini, ada baiknya tempelkan di meja kerja, karena kita tidak tahu kapan kita membutuhkannya.

 Kode Mengeja Huruf – American System

 Ini adalah kode mengeja dengan American System, yaitu sistem yang paling banyak digunakan saat ini. Di samping ini, ada pula British System dan Indonesian System yang diambil dari nama-nama kota di Indonesia.

Yang tidak boleh dilakukan adalah membuat sistem sendiri yang tidak baku. Biasanya dengan kata-kata yang diambil sembarang, seingat kita saja, atau tergantung apa yang sedang kita lihat. Dinamakan Aku's system atau Sistem Semau Gue, dong. Misalnya nama Octavianus dieja dengan "Opor, Cabe, Tempe, Asin, Vanila, Ikan, Air, Nasi, Udang, Sate." Mungkin kita akan dikomentari, "Lagi makan di restoran, ya?" Jangan juga kita sebut nama-nama binatang seperti Anjing untuk a, Bebek untuk b, Cicak untuk c, Domba untuk d, Elang untuk e, dan seterusnya. Memangnya mau buat kebun binatang? Ya, salah sih tidak. Mungkin lawan bicara kita juga mengerti apa yang kita maksud. Tapi coba saja lakukan hal ini, besar kemungkinan Anda ditertawakan, atau paling tidak image Anda jadi tidak profesional.

Sebaliknya, untuk memperlancar komunikasi juga, kita perlu menghafal kode mengeja ini agar mengerti jika ada orang lain mengeja huruf. Jangan sampai orang menyebut "Nama saya Charlie India November Tango Alpha," lalu kita berkomentar, "Namanya kok panjang sekali."

 

 3. Pronounciation (lafal ucapan) yaitu ketepatan pengucapan. Kita, orang Indonesia, sering salah mengucapkan kata-kata asing dalam hal pronounciation ini. Misalnya kata "sales". Seharusnya, kata ini diucapkan dengan lafal "sÉ™ils". Tapi, kesalahan yang sering dilakukan adalah mengucapkannya dengan lafal "se-les". Salah sih tidak, tapi kalau kita mengucapaknnya dengan benar, akan terlihat profesional. Ya, kalau kemampuan kita terbatas, tidak perlu menguasai seluruh kata dalam Bahasa Inggris, tetapi kuasailah kata-kata yang sering diucapkan saja.

 

 4. Enunciation, yaitu  intonasi, tekanan dan tinggi nada. Berbicaralah dengan intonasi yang lembut dan halus, tidak kasar, tidak ketus. Untuk beberapa kata penting, berikan tekanan. Tinggi nada perlu diatur normal, tidak melengking dan tidak terlalu rendah.

Ketepatan intonasi juga diperlukan untuk membedakan antara kalimat tanya atau kalimat pemberitahuan. Karena, kalau salah bisa fatal akibatnya, seperti contoh kasus berikut ini.

Paula dan Siska sedang menyiapkan surat penawaran untuk Riza, seorang calon pelanggan. Sementara mereka menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan, Paula mengatakan, "Eh, kayaknya kita perlu telepon Pak Riza dulu ya, jangan-jangan dia nggak ada di tempat siang ini. Soalnya saya ingin ketemu langsung sama dia."

Menjelang penawaran selesai dibuat, Siska berkata, "Pak Riza sudah ditelepon." Kalimat ini ia ucapkan dengan intonasi yang salah, yaitu intonasi memberi tahu, bukan intonasi bertanya. Sebenarnya, ia ingin bertanya pada Paula, apakah Pak Riza sudah ditelepon? Karena yang terdengar di telinga Paula adalah intonasi  pemberitahuan, ia mengira Siska sudah menelepon Riza. Ia pun hanya mengangguk dan langsung pergi ke kantor Riza. Ternyata, sesampainya di sana Riza tidak ada di tempat dan ia pun tidak bisa bertemu dengannya.

            Dalam bahasa tertulis memang mudah membedakan kalimat tanya dan informatif. Kalimat tanya tinggal diberi kata tanya dan tanda tanya, misalnya "Apakah Pak Riza sudah ditelepon?" Sedangkan dalam percakapan tatap muka, kalau enggan menambahkan kata tanya, berarti hanya intonasi yang bisa kita perkuat.

 

5. Repetition (pengulangan). Untuk mendapat perhatian lebih dari lawan bicara dan untuk menghindari kesalahan, beberapa kata penting harus diulang, misalnya alamat, nomor telepon, e-mail dan angka-angka penting.

 

6. Speed (kecepatan, jeda). Kecepatan berbicara jangan terlalu cepat atau terlalu lambat. Kecepatan normal yang disarankan adalah maksimal 150 kata per menit. Kalau sangat cepat, lebih dari 150 kata per menit, informasi yang disampaikan bisa tidak diterima dengan lengkap dan benar. Sebaliknya, bila kurang dari 150 menit, itu berarti lambat. Misalnya, "Se…la…mat… pa…gi…, Pak… Sa…ya… Bu…di… da…ri…."  Orang bisa tidak sabar menunggu kita selesai bicara. Apalagi, dalam dunia bisnis saat ini, karena waktu terbatas dan kesibukan tinggi, orang lebih senang kalau kita berbicara cenderung agak cepat, diikuti body language (bahasa tubuh) yang cekatan. Misalnya, bila kita memberi pelayanan pada pelanggan, ucapkanlah kalimat dengan cepat dan gerak tubuh cekatan.

Namun, perlu juga kita perhatikan lawan bicara. Kalau menghadapi orang yang sudah berusia lanjut dengan speed lambat, ada baiknya kita hormati beliau dengan berbicara tidak terlalu cepat.

 

Keenam unsur vocal ini akan semakin baik jika ditambah:

1. Pernafasan yang baik. Sambil berbicara, atur pernafasan yang baik agar tidak terlihat tersengal-sengal seperti habis lari maraton. Khusus sewaktu bertelepon, suara nafas tidak boleh terdengar dan jangan mendesah. Jangan lupa, beri jeda secukupnya.

 

2. Aksen daerah tidak terlalu menonjol, kecuali kita berbicara dengan lawan jenis dari satu daerah dan akan mempererat hubungan jika menggunakan bahasa daerah.

 

3. Ekspresif dan tidak monoton seperti robot. Misalnya, ekspresi terburu-buru, senang, atau sedih. Jika ada pelanggan yang kecewa dan berkata, "Bagaimana ini? Pesanan saya kok belum datang juga," kita perlu berempati, menyelami suasana hatinya dan menjawab dengan suarau ekspresif, "Aduh, maaf ya Bu, kami ikut menyesal atas kejadian ini. Kami akan segera percepat pesanan Ibu." Hal ini tentu akan lebih mudah jika raut wajah kita menunjang, dan memang tulus dari hati kita berniat menolong. Suara akan otomatis terdengar ekspresif.

Namun, ekspresi yang berbeda tidak boleh terlihat. Misalnya kita sedang marah dengan seseorang, lalu ada orang lain datang hendak berbicara pada kita. Suara kita tidak boleh masih berekspresi marah. Kasihan, bukan? Sering orang berkata, "Lho, marahnya sama orang lain, kok saya kena 'semprot' juga." Begitu pula misalnya kita sedang tertawa cekikian kemudian ada orang menelepon. Begitu mengangkat telepon, ekspresi geli dan suara tawa kita harus dihilangkan. Jangan sampai si penelepon terbengong-bengong karena ikut mendengar suara cekikikan kita sementara ia tidak tahu apa yang lucu.

 

4. Smiling voice, yaitu suara yang keluar dalam posisi wajah tersenyum. Kalau sudah senyum, intonasi otomatis menjadi halus dan lembut. Apakah memang berbeda? Coba saja Anda ucapkan kalimat "Selamat pagi, PT ABC, dengan Tuti, ada yang bisa dibantu?" sambil tersenyum. Lalu, bandingkan kalimat yang sama tapi ucapkanlah sambil cemberut. Terasa berbeda, bukan? Apalagi kalau kalimat ini diucapkan di telepon. Walaupun kita cantik atau ganteng, orang tidak akan tahu. Yang ia terima hanya suara. Ini sensitif sekali dan bisa dirasakan. Kalau sebuah kalimat kita ucapkan sambil cemberut, pasti orang di seberang sana bisa tahu. Kok tahu? Ya, memang tahu!

Sama juga halnya dengan suara orang bangun tidur. Masih di telepon, contohnya. Kalau kita sedang tidur lantas terbangun menerima telepon, orang sering berkomentar, "Eh, maaf. Lagi tidur ya?" Anda mungkin malu ketahuan lagi tidur kalau hari sudah siang dan menggerutu dalam hati, "Kok tahu sih?" Jadi, lebih baik tidak usah menerima telepon kalau Anda sedang tidur, daripada image kita jelek hanya gara-gara suara serak dan lemas.

 

5. Hindari bergumam, yaitu mengucapkan kalimat dengan kurang jelas, suara perlahan, dan tidak ditujukan kepada lawan bicara, melainkan berbicara pada diri sendiri. Kapan biasanya kita bergumam? Biasanya bergumam dilakukan jika kita kurang percaya diri, ragu-ragu dan tidak ingin secara jelas didengar oleh orang lain atau sibuk dengan pikiran kita sendiri, tanpa memperhatikan keinginan lawan bicara. Bergumam bisa jadi tidak menimbulkan efek negatif. Paling-paling lawan bicara kita berkomentar, "Ngomong apa, sih, nggerundel aja." atau  "Ngapain sih itu, kok ngomong sendiri." Lebih parah lagi, bergumam bisa menimbulkan salah paham seperti yang dialami Tari berikut ini.

Tari, seorang ibu rumah tangga hendak merenovasi rumahnya. Ia bertemu dengan Krisna, seorang arsitek.

 

Tari      : "Pak Krisna, bisa minta tolong dibuatkan disain untuk renovasi rumah 

              Saya? Saya ingin menambah 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi."

Krisna  : "Baik, Bu Tari, akan saya coba buatkan rancangannya."

 

Sesungguhnya permintaan Tari agak sulit dipenuhi karena lahan yang sangat sempit. Tapi, Krisna tidak menjelaskan kesulitan itu. Ia sibuk sendiri dengan pikirannya dan hanya bergumam dengan suara sayup-sayup tak sampai: "Waduh, bagaimana ini? Tanahnya sempit, udah mentok sama bangunan tetangga, mana bisa ditambah kamar segitu banyak. Kelihatannya susah nih. Paling-paling cuma bisa nambah 1 kamar tidur."

Semua kalimat itu sama sekali tidak terdengar jelas oleh Tari. Ia berpikir, "Pak Krisna ini ngomong apa sih? Nggerundel aja. Tapi ya sudahlah, pokoknya dia sudah tau aku maunya gimana."

            Akhirnya, apa yang terjadi? Krisna datang dengan rancangan penambahan 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Tari pun kecewa.

 

Tari      : "Lho, kamar tidurnya kok cuma 1, pak."

Krisna  : "Iya, Bu. Kan saya sudah bilang tidak bisa ditambah 2 kamar tidur,

              karena lahannya sempit."

Tari      : "Ah, Pak Krisna nggak bilang begitu kok. Kemarin Pak Krisna

              kelihatannya oke-oke saja dengan permintaan saya. Kenapa sekarang tiba-

              tiba jadi nggak bisa. Kalau emang nggak bisa, bilang dong dari awal.

              Saya jadi nggak buang-buang waktu begini."

 

Gubrak! Dar der dor....! Ah, sayang sekali, bukan? Kalau Krisna mengucapkan kalimat dengan jelas, pasti tidak akan terjadi salah paham dan kekecewaan seperti ini.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

by: "C&G TRAINING NETWORK" <cg8@cg-learning.com>

 

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger