BUDGETING dan BUDAYA

On Behalf Of Trainingsdm Indonesia
 

Budgeting atau peranggaran adalah suatu kata yang berbeda artinya dengan angggaran (budget). Anggaran (budged) adalah kata benda yang berarti hasil yang diperoleh dari suatu proses perencanaan. Sedangkan peranggaran (budgeting) memiliki pengertian adalah proses pembuatan anggaran itu sendiri. Mulai dari pengumpulan informasi dan data, penyusunan rencana dan anggaran (secara kuantitatif), implementasi rencana sampai pada tahap pengawasan dan evaluasinya. Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian budgeting jauh lebih luas dari pada pengertian budged.

 

Pada kesempatan ini, secara khusus-penulis mencoba mengangkat topik tentang peranggaran (budgeting). Alasan utamanya adalah karena pada tahap proses penyusunan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi budget lah yang sering kali menjadi titik rawan permasalahan.

 

Suatu waktu, Prof. Dr. Ichlasul Amal (mantan rektor UGM) di harian Kompas Minggu 19 September 2004 memberikan pendapatnya tentang tindakan DPRD Yogyakarta. “Kalau anggaran sudah ditetapkan lalu tidak habis justru dianggap perencanaannya tidak benar sehingga dihambur-hamburkan. Ini kultur yang tidak benar sebab anggaran yang tersisa sebenarnya bisa ditabung”. Ini adalah salah satu contoh sebuah organisasi di pemerintahan yang telah terbudaya dengan penghamburan sisa anggaran tanpa aktivitas yang jelas maksud dan tujuannya. Bagaimana dengan organisasi di perusahaan kita, apakah juga mengalami hal yang sama? Jika jawabannya “ya”, berarti mungkin tidak ada salahnya kalau dikatakan  bahwa menghambur-hamburkan sisa anggaran merupakan salah satu budaya manusia Indonesia.

 

Di setiap akhir tahun, sebagian perusahaan juga telah mulai melakukan evaluasi rencana-rencananya, termasuk anggarannya. Pada saat evaluasi, tidak jarang akan ditemui adanya biaya-biaya siluman akibat dari aktivitas-aktivitas siluman. Dikatakan biaya dan aktivitas siluman, karena memang biaya dan aktivitas tersebut tidak ada dalam perencanaan dan pos anggaran di awal tahun penyusunan anggaran, tetapi muncul di akhir tahun. Biaya-biaya dan aktivitas ini biasanya juga tersebunyi di dalam pos-pos tertentu sehinga terlihat masih relevan dan rasional. Sebagai contoh, cash yang diterima oknum-oknum tertentu dimasukkan dalam pos pengembangan SDM, meskipun pada kenyataannya aktivitas pengembangan SDM tersebut tidak benar-benar ada. Masih banyak contoh-contoh lain yang bisa saja terjadi di banyak perusahaan.

 

Pertanyaan protes yang mungkin muncul adalah, apakah budget tersebut sekaku itu, sehingga tidak boleh ada penyesuaian di tengah-tengah atau di akhir tahun anggaran? Bisa saja ada penyesuaian, karena idealnya memang suatu anggaran yang baik juga harus bersifat fleksibel selain juga realistis, sehingga penilaian kinerja terhadap orang yang bertanggung jawab atas anggaran juga bisa lebih fair dan rasional. Masalahnya adalah, jika biaya-biaya dan aktivitas siluman muncul (mungkin dalam rangka menghabiskan sisa anggaran) maka rencana anggaran tahun berikutnya dapat menjadi bias. Agar dana yang dianggarkan dapat terus meningkat atau paling tidak sama dengan anggaran tahun lalu, maka upaya untuk mencari-cari aktivitas siluman pun terus diupayakan. Setiap tahun kelihatannya organisasi sibuk dan penuh dengan aktivitas (terlihat dari anggaran yang terus meningkat). Kembali ke pertanyaan yang mendasar, apakah aktivitas-aktivitas tersebut dalam rangka untuk semakin mendekatkan organisasi perusahaan kepada visi, misi dan tujuan perusahaan atau justru membuat perusahaan semakin jauh dari visinya?

 

Perilaku penghambur-hamburan sisa anggaran, jelas merupakan tindakan tidak terpuji, kecuali memang perusahaan itu adalah milik Anda sendiri. Kesalahan-kesalahan ini tentunya juga tidak dapat disalahkan hanya kepada orang yang melaksanakan atau mengeksekusi anggaran tersebut. Penyebabnya bisa juga karena pimpinan yang lebih tinggi (komite anggaran) lebih cenderung memberikan fonis bahwa jika terjadi sisa anggaran di akhir tahun, berarti orang yang menyusun perencanaan di awal tahun kurang baik dalam membuat rencananya. Atau bisa juga karena adanya ketakutan-ketakutan bahwa jika anggaran tahun berjalan tidak habis, maka kemungkinan untuk membuat peningkatan anggaran di tahun mendatang akan sulit untuk disetujui. Kondisi ini akan semakin diperparah lagi dengan upaya-upaya me-mark-up setiap pos aktivitas. Jika saja anggaran setiap pos aktivitas misalkan dinaikkan 10% karena ketakutan-ketakutan banyaknya dana yang mungkin nanti tidak disetujui oleh komite anggaran, lalu 10% tersebut dikali sekian aktivitas-berarti telah terjadi markup yang cukup besar. Belum lagi jika dalam suatu perusahaan terdapat banyak departemen dan setiap departemen melakukan hal yang sama.

 

Apakah kebiasaan-kebiasaan seperti di atas masih perlu terus dibudayakan di dalam suatu perusahaan? Jika demikian, berarti anggaran yang katanya sebagai alat bantu bagi manajemen untuk mengontrol perencanaan dan aktivitas perusahaan dalam rangka mencapai tujuan akan semakin jauh dari fungsi utamanya. Penyusunan anggaran hanya menjadi seremonial tahunan belaka yang hanya membuang-buang waktu, pikiran dan biaya. Angaran hanya menjadi kata benda yang mati, yang menjelang akhir tahun perlu diziarahi (cukup dilihat dan diratapi) tanpa ada upaya perbaikan sama sekali. Permasalahan ini tidak terlepas dari perilaku dan sikap mental orang-orang yang terlibat di dalamnya.

 

Setiap tahun berlalu dan masuk ke tahun yang baru. Dunia usaha terus saja tanpa mengenal kompromi harus masuk ke dalam dunia persaingan yang semakin ketat. Hanya perusahaan-perusahaan yang efisien dan memiliki strategi dan aktivitas yang efektiflah yang mampu bersaing. Semua itu tidak terlepas dari orang-orang yang merupakan pelaku-pelaku dari rencana-rencana tersebut. Kita telah tahu bahwa masih banyak yang perlu dibenahi yang jauh lebih penting di dalam orgnaisasi perusahaan kita. Kita juga tentulah orang-orang yang terampil untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang (karena pendidikan rata-rata karyawan dan pengalaman kerja sudah semakin meningkat). Persoalannya dan yang menjadi pekerjaan rumah (PR) kita dan entah sampai kapan adalah apakah kita MAU melakukan suatu perubahan budaya budgeting ke arah yang lebih baik? Berani menerima tantangan?!

 

Herdianto Purba, SE, MM

i-Learn Training and Consulting

 

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger