Transparansi dalam Talent Management; Tell it to them or not?

“Ahh... mau kerja keras atau kerja biasa-biasa, gak ada bedanya di sini.”

“Hanya Tuhan yang tahu, saya bakal naik jabatan atau nggak. Semua serba nggak jelas. Penilaian-penilaian juga cuma basa-basi.”

“Kok, bisa dia sih yang ditunjuk sebagai karyawan terbaik dan disekolahkan, pasti dia pintar cari muka ke atasan.”

“Gua udah 10 tahun kerja di sini, gak tau juga abis ini jabatan gua apa.”

 

Pangkal dari keluhan-keluhan di atas, mungkin adalah absennya Talent Management dalam agenda perusahaan. Efeknya karir yang gak jelas, reward-punishment yang gak ada bedanya, dan turn-over yang kencang di semua level. Bukan melulu salah karyawannya. Mungkin perusahaan yang lupa melakukan talent management.

 

Apa sih Talent Management?

Istilah Talent Management sudah menjadi istilah “wajib paham” bagi para praktisi HR saat ini. Secara ringkas, istilah talent sendiri sebenarnya bisa berarti dua hal. Pertama, talent yang artinya ketrampilan dan kemampuan individu, biasa disinonimkan dengan kata bakat. Kedua, talent yang diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan khusus tertentu (Rob Silzer and Ben E. Dowell, 2010).

Maka talent management dapat diartikan sebagai sebuah cara ilmiah dalam menggunakan perencanaan SDM jangka panjang untuk meningkatkan nilai bisnis dan memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. (Berger, 2004). Berger mensyaratkan adanya komitmen organisasi untuk mencari, merekrut, mempertahankan, serta mengembangkan karyawan terbaik yang tersedia di pasar tenaga kerja, dalam melakukan talent management yang baik.

 

Hasil Evolusi

Talent management sendiri adalah hasil dari Evolusi departemen Sumber Daya Manusia (SDM). Paling tidak Departemen ini sudah mengalami tiga tahap perkembangan. Tahap pertama adalah Departemen SDM sebagai departemen personalia. Pada era 1970-1980an, Departemen SDM hanya berfungsi sebagai departemen yang mengurusi kebutuhan fisik karyawan. Tugasnya adalah mencari karyawan, membayarnya, dan memastikan mereka mendapat bonus, benefit, dan fasilitas lain. Sistem yang dibangun di era ini adalah sistem payroll.

Departemen SDM berkembang lagi masuk ke tahap kedua. Pada era 1980-2000an ini muncul konsep "Strategic HR". Peran Departemen SDM meningkat melingkupi tugas merekrut orang yang tepat, men-training, merancang job roles dan organization structures and design, mengembangkan paket "total compensation" termasuk benefit, pembagian saham, bonus, dan sebagai central point dari komunikasi karyawan tentang kesehatan dan kebahagiaan mereka. Di jaman ini,  peran Departemen SDM menjadi sangat penting dalam strategi bisnis dan eksekusinya. Sistem yang dibangun adalah sistem recuiting and applicant tracking, portals, total compensation systems, and learning management systems. Departemen SDM sudah berkembang menjadi partner bisnis perusahaan.

Akhir-akhir ini, departemen SDM kembali berevolusi memasuki tahap ketiga, yaitu tahap Talent Management. Seluruh proses rekrutmen menjadi sistem yang berbasis kompetensi secara efektif dan efisien. Tugasnya adalah mencari, mengembangkan, dan mempertahankan pemimpin yang mampu memperkuat budaya, menanamkan nilai, dan menciptakan pemimpin berkelanjutan.

 

Kategorisasi Talent

Ada berbagai macam kategorisasi yang dipakai perusahaan untuk mengelompokkan karyawannya. Yang paling umum, ada lima pembagian kategori karyawan. Bila diurutkan dari sebelah kanan dalam kurva normal, sejumlah 3-5% karyawan teratas digolongkan ke high potential, 5-15% adalah talent, 70-80% adalah normal, 5-15% bawah adalah misfit, terakhir 3-5% adalah karyawan deadwood.

High potential (biasa disingkat Hi-Po) adalah karyawan yang sangat bagus, prestasi dan attitudenya melebihi ekspektasi jabatan, sehingga harus segera dinaikkan. Bila tidak, mereka akan bosan dan cenderung pindah perusahaan. Talent adalah level yang sedikit di bawah Hi-Po. Kategori ini juga rawan untuk pindah bila tidak dipelihara. Kategori normal, adalah karyawan biasa-biasa yang kadang bagus, kadang jelek. Mereka juga perlu dipelihara namun tidak se-‘mahal’ pemeliharaan terhadap talent maupun Hi-Po. Sedangkan dua kategori terakhir, adalah kenyataan hidup perusahaan yang harus diterima, bahwa ada sekian orang yang memang buruk dan sulit diperbaiki.

Perlakuannya tentu berbeda dan harus berbeda. Karyawan High Potential seharusnya mendapat lebih banyak perhatian. Yang bagus harus lebih dipelihara dari yang biasa-biasa, kira-kira begitu. Hal ini tentu akan memotivasi karyawan bagus untuk tetap stay, dan membuat karyawan biasa-biasa akan berusaha menjadi lebih baik.

Beberapa kelebihan fasilitas yang sering didapat oleh karyawan yang termasuk kategori talent adalah mendapat beasiswa program MBA eksternal, mendapat coach eksternal untuk senior executives, mendapat coach internal untuk mid-level managers, mendapat pelatihan skill spesifik untuk lower-level managers, pelatihan eksternal, serta perputaran job menjelang naik jabatan.

 

Dikasih tahu nggak ya?

Pertanyaannya adalah apakah karyawan perlu tahu dirinya masuk di golongan mana? Ini pertanyaan menarik dan menimbulkan konsekuensi yang besar, pada saat Talent Management mulai dijalankan.

Menurut penelitian Gallup pada 80.000 manager, bila seorang karyawan diberitahu bahwa ia dianggap talent, mereka akan betah dan merasa dirinya akan diperlakukan dengan baik oleh manager mereka. Ia akan tinggal karena merasa bahwa kesempatan berkembang lebih besar dibandingkan kalau mereka keluar. Di sisi lain, tergantung dari bagaimana organisasi memperlakukan karyawan yang bukan talent, akan ada kemungkinan “efek penurunan” pada karyawan yang tahu bahwa dirinya masuk pada golongan bukan talent. Mereka akan merasa dirinya kurang berharga dan kurang mendapat akses pengembangan diri.

Survei CCL (Center for Creative Leadership) menemukan bahwa karyawan high-potentials yang tidak diberitahu statusnya, 33% cari pekerjaan lain. Yang diberitahu statusnya, hanya 14% mencari pekerjaan lain. (Grossman, 2011).

Doug Ready, (pendiri dan presiden The International Consortium for Executive Development Research-ICEDR dan professor dari Practice of Leadership di Kenan-Flagler Business School), menyarankan bila organisasi memberitahukan high-potentials tentang statusnya, harus segera diikuti dengan tindakan cepat tentang follow-up status tersebut. Bila tidak, justru akan menjadi sumber ketidakpuasan dan semangat yang memburuk.

Marc Effron, president of The Talent Strategy Group and co-author of One Page Talent Management, menyatakan beberapa hal penting dalam tulisannya di Harvard Business Review. Memberitahu karyawan tentang statusnya adalah sinyal kuat bahwa organisasi menghargai kontribusi dan akan melakukan investasi pada masa depan karyawan. Pada situasi bursa tenaga kerja yang kompetitif saat ini, pesan yang konsisten dan bermakna semacam ini akan membuat talent betah di organisasi. Tidak memberitahu akan meningkatkan risiko bahwa mereka akan pergi ke organisasi yang merekognisi kemampuan mereka. Karyawan high-potential cenderung tahu bahwa mereka adalah Hi-Po tanpa diberitahu. Dan begitu pula headhunter, peer, serta relasi industri mengetahuinya. Bila organisasi tidak memberitahunya, orang lain akan mengatakannya.

Dengan diberitahu, organisasi menciptakan tantangan bagi dirinya untuk terus menjadi perusahaan yang menarik bagi talent. Dengan mengembangkan program formal bagi high-potential dan memelihara mereka, perusahaan membangun reputasi sebagai tempat yang hebat untuk tumbuhnya leader. Akibatnya perusahaan mudah mendapatkan akses untuk mencari best talent yang akan berdatangan.

Jadi, perusahaan Anda memutuskan untuk dikasih tahu, atau nggak, ya? (dhw)

__._,_.___


Posted by: Riris Theresia Siahaan <proaktif.riris@gmail.com>

 

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger