Jalan Membentang ke Jepang

“Kiamat” ternyata masih bisa diolah menjadi rahmat dan berkat.

Pengalaman Susi Pudjiastuti disekap dalam kamar gelap selama berhari-hari oleh Petugas Laksusda (Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah) dan kegagalan untuk mendapatkan surat kelakuan baik telah membuatnya memilih untuk berhenti sekolah. Waktu itu, tahun 1982, perempuan yang lahir 15 Januari 1965 ini, baru duduk di kelas dua SMAN I Yogyakarta. Ia dinyatakan drop out, dan sebuah perjalanan hidup yang unik pun dimulai.

Sekitar delapan tahun Susi pontang-panting bekerja serabutan dan menghabiskan hidupnya di jalanan. Ia pernah berkejar-kejaran dengan petugas keamanan, bergulat dengan ombak dan karang, ikut mencari harta karun di Nusakambangan. Ganti usaha, ia keliling menembus belantara hutan Sumatera mencari sarang burung. Kadang kala dalam pencarian itu ia menyetir sendiri truknya.

Tahun 1983, dengan modal Rp 100.000,00 ia membeli ikan di Pangandaran dan menjualnya sendiri ke mana-mana. Keuntungan dari modal awal itu ditambah untuk dari kerja serabutan lainnya terus diputar dan berkembang hingga bisa membeli ikan dalam jumlah banyak. Dalam kurun waktu tersebut, hampir setiap subuh ia menunggui nelayan-nelayan yang pulang melaut, membeli ikan dan membawanya ke Jakarta dengan menyetir sendiri truknya. Reny Sri Ayu Arman, yang pernah mewawancarainya, menulis, “Bahkan  hal itu dilakukannya saat dia hamil hingga kandungannya usia tujuh bulan” (Kompas, 16 Agustus 1998).

Perempuan tomboy yang tampil sederhana ini (bercelana jeans atau celana pendek, kaos oblong, kemeja, jam tangan plastik murahan, topi pandan atau rajut, dan wajah yang nyaris polos tanpa make up dan perhiasan) adalah Presiden Direktur PT. Andhika Samudra Internasional (ASI), pemegang merk Susi Brand. Lewat ASI ia mengekspor ikan, udang, lobster, dan produk-produk laut lainnya ke Jepang, Singapura dan Hong Kong. Bahkan khusus lobster untuk Jepang, 46 persen impornya dilakukan ASI.
Itulah sebabnya ketika Letter of Credit (LC) Indonesia banyak ditolak di luar negeri, bulan April 1998, ASI justru dengan mudah mendapatkan 200.000 dolar AS dari pemesannya di Jepang dalam bentuk red close LC. Bulan Oktober sebelumnya ia telah mendapatkan pinjaman tanpa syarat sebesar 30 juta yen. Hal ini menunjukkan bahwa ASI sangat mandiri dan tidak didikte oleh pemesannya. Ia justru lebih berperan dalam menentukan aturan main yang harus diikuti pemesannya.

Prestasi lain menyangkut kiprahnya untuk produk non chemical treatment. Semua produk yang diekspor (ikan, udang, lobster, dan beberapa jenis ikan lainnya) hanya diolah secara tradisional: dicuci dengan air garam, disterilkan lalu dibekukan. Untuk peralatan hanya dicuci dengan air panas. Jepang yang terkenal sangat ketat dalam soal ini, semula menolak cara yang demikian. Namun ia berjuang untuk meyakinkan konsumennya dengan membawa mereka meninjau pabriknya dan memberikan berbagai penjelasan argumentatif. Ia berhasil. Pengakuan internasional terhadap cara yang dilakukannya dipublikasikan berbagai media asing, di antaranya majalah perikanan terbesar di Negeri Kangguru, Austasia Aquaculture edisi 1996/1997. Puluhan kontainer yang dikirimnya ke Jepang tidak satu pun ditolak.

Susi adalah srikandi yang memiliki visi bisnis yang jelas, cinta lingkungan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Untuk menciptakan industri yang environment friendly, Susi sedang membuat pembangkit tenaga listrik bertenaga matahari, yang tidak merusak lapisan ozon. Pepohonan, pabrik beratap rumbia, sebagian lantainya terbuat dari kayu, dan kolam ikan merupakan bukti komitmennya untuk membangun industri hijau. Setiap hari limbah pabriknya (kepala dan tulang sisa ikan) ditampung tukang kerupuk dan bakso. Di setiap ruangan terdapat tiga tempat sampah untuk sampah kering, basah dan plastik. Setiap petang sampah yang bisa dibakar akan dibakar, sisanya dijadikan kompos. Sementara tanah-tanah kosong di sekitar rumah dan pabriknya dijadikan hutan bakau.

Kepedulian sosialnya dinyatakan dengan sesekali menyetir sendiri truknya bolak-balik mengangkut orang-orang kampung yang turun dari gunung sekali setahun dan ingin menikmati keindahan pantai Pangandaran. Karena mereka tak punya uang, tiket masuk mereka ia yang bayar. Di samping itu para janda dan yatim piatu di sekitar PT. ASI selalu mendapat “hadiah Lebaran” berupa beras dan uang tunai sesuai jumlah anggota keluarga.

Susi memang “tak Mampu” menyelesaikan sekolah menengah atasnya di Yogya. Tetapi ia mampu membuat pabriknya di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, bergerak tanpa henti 24 jam sehari, 30 hari sebulan setahun penuh. Mungkin untuk banyak orang, tidak tamat sekolah menengah berarti kiamat. Tetapi bagi Susi, “kiamat” itu masih bisa diolah menjadi rahmat dan berkat. Susi, maukah engkau menjadi guru bagi putri-putri pertiwi?

*) Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling Books; Speaker-Trainer-Coach: 22 Years Plus
Alamat
www.andriasharefa.com – Twitter @ aharefa

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKELIUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger