By Syarif Niskala
Warteg mungkin dulunya berasal dari singkatan Warung Nasi Tegal. Entah mengapa, singkatan populernya menjadi Warung Tegal. Warung ini kembali berjaya menempati pole position sebagai merk publik yang paling laris mengalahkan wartel. Maklum, brand wartel sedang turun drastis digilas handphone. Hanya di pojok-pojok terminal dan kampus pinggiran saja, wartel kumuh masih teronggok lesu.
Sekarang warteg mendapat pesaing baru bernama warnet. Seperti yang ada di jalan Babakansari – Kiaracondong Bandung, warteg bersebelahan dengan warnet. Setelah lama bersaing sengit dalam branding (sebagai nama) dengan wartel, kembali warteg bertemu musuh yang sepadan bernama warnet. Walau demikian, warteg dan warnet melayani pasar yang sama, bahkan saling melengkapi. Jadilah keduanya pelayan mahasiswa 'kere' dan pelajar SLTA yang harmonis. Mereka rukun berdampingan sehingga seringkali mahasiswa dan pelajar SLTA hanya berpindah tempat duduk menghabiskan waktu dari siang hingga malam.
--
"Sama apa Mas?" tanya pramusaji warteg lusuh bermuka agak kecut karena kecapaian. "Sayur singkong dan sambel. Pake kuah yang banyak ya" kata seorang pemuda lusuh dengan kalung tasbih. Wajah dan tangannya yang hitam terbakar matahari menerima sodoran nasi dengan agak gemetar. Dari samping saya memperhatikan postur pelanggan warteg ini. Saya mengenali getaran tangannya bukan karena penyakit parkinson melainkan karena lapar yang tercekat di urat. Persis ketika puasa di tengah hari terik selepas dzuhur.
Saya tercenung lama memikirkan menu pemuda di samping. Saya hitung menu warteg hari itu ada 26 jenis. Benar kata Ayah Edy (pembicara parenting di Radio Smart FM) bahwa menu di Indonesia sangat kaya dan beragam. Tapi, mengapa pemuda itu dengan mantap memilih menu tunggal? Sayur lagi…?! Padahal setiap ke warteg itu, saya kebingungan menentukan pilihan menu. Bagi saya memilih pasangan calon presiden pemilu kemarin lebih mudah dibandingkan keharusan memilih menu setiap hari di warteg. Ketika akan pulang, saya hanya membayar 3500 rupiah untuk nasi, tongkol, tahu, dan bakwan. Dugaan saya, pemuda itu paling hanya 2000 rupiah saja. Ahaaa, itu dia. Pemuda itu memesan menu yang reasonable dengan isi kantongnya!
Alaaamaaak. Ya Tuhan, ampuni hamba yang kurang sensitif. Ternyata hanya warteg yang mampu memberi makan kaum terpinggirkan. Dengan segala kejeniusan manajerial dan kekuatan efisiensi produksinya, hanya warteg yang mampu memenuhi kebutuhan hajat kaum marginal. Hanya WARTEG, sebuah brand yang telah me-nasional!
--
Warteg adalah sahabat masyarakat kelas bawah. Mereka saling membutuhkan, bahkan saling terkait erat berkelindan. Warteg adalah pahlawan sesungguhnya, bukan cawapres yang memiliki lusinan kuda berharga miliaran. Warteg adalah teman wong cilik sejati, bukan pengurus elit partai yang memiliki jargon partainya wong cilik. Warteg adalah lembaga tahan banting penyelamat kaum miskin dari kelaparan. Warteg-lah penyelamat sesungguhnya negara ini dari potensi krisis sosial dahsyat akibat kenaikan BBM 225 persen, bukan BLT! Untuk itu, kami mengusulkan agar dirancang sebuah program subsidi bagi warteg di Indonesia. Sebuah reward yang pantas atas peran kepahlawanannya selama ini.
Post a Comment