Pagi-pagi. Di kantor.
"Cepetan, Mbak...ayuhhh masuuukkk...
"Saya masih bisa masuk nggak ?"
"Bisa, Pak. Heeiii...Geser.
"Uuuuhhh...udah penuh niiih...!"
"Waduuuuhhh..
Di lain waktu.
"Gimana sih liftnya ? Kok lama banget. Telat lagi deeeh...!"
"Pencet lagi dong tombolnya..."
"Udah...udah tiga kali pencet. Nggak kebagian tempat melulu. Payah niih !"
"Iyaaa...payah.
Di dalam lift.
"Iiiih...sesak banget niiih...Geser dikit dong !"
"Eeeh...apaan. Udah kepencet niiih...Gepeng !"
"Hahaha...kan bagus, jadi cepat kurus."
"Sayang dong...udah makan enak-enak jadi gak ada hasilnya. Kepencet tiap hari."
"Duuuh...gak kebagian napas niiih.."
"Pake insang aja...".
Itu adalah sebagian kecil morning greetings yang selalu terjadi di depan pintu dan di dalam lift kantor saya. Setiap pagi. Untuk naik dari lantai lobby bawah menuju ke ruang kerja di atas.
Kehebohan seperti ini akan terulang lagi. Paling tidak dua kali .Saat jam makan siang dan jam pulang kerja. Ketika akan turun dari lantai tempat bekerja . Menuju ke lobby. Jadi, minimal tiga kali sehari episode antri di depan lift dan berjejalan seperti ikan pindang menjadi romansa tersendiri di gedung-gedung jangkung yang mencakar langit dengan gagahnya.
Belum cukup begitu. Kadang-kadang lift yang hanya beberapa buah untuk melayani sekian puluh lantai dan sekian ratus orang ini suka aleman. Ngadat. Tidak mau naik. Tidak mau turun...Alias macet total...hiiiikkksss
Atau....ini yang agak aneh...Lift bergerak naik turun tanpa kendali, serta tidak mau berhenti di lantai tempat tujuan. Dan ini tidak sekali dua terjadi. Sudah beberapa kali. Saya sendiri sudah pernah mengalaminya.
♥
Bekerja di gedung perkantoran yang tinggi menjulang, ada enaknya dan ada nggak enaknya. Ya iyalaaaaah..
Enaknya, kalau kita memiliki ruang pandang yang cukup dan luas, maka dari ketinggian ruang kerja kita bisa melihat pemandangan yang indah di seputar gedung. Bahkan kalau beruntung, pada saat cuaca cerah kita bisa melihat sudut kota yang jauh dan gunung-gunung yang membiru sebagai latar belakangnya. Atau yang berhadapan dengan sisi pantai bisa melihat kapal-kapal di lautan biru. Mirip dengan lukisan.
Tidak enaknya...ya, ada juga. Salah satu diantaranya, ya seperti yang saya ceritakan tadi. Tentang transportasi untuk mencapai ketinggian di mana ruang kerja kita berada. Untuk gedung-gedung dengan ketinggian di atas 3 lantai, biasanya pengelola gedung akan menyediakan tangga berjalan atau eskalator, dan lift ( saya belum menemukan istilah lain dari tangga atau kotak kerekan ini...hehehe.
Urusan lift ini sebenarnya tidak jadi masalah kalau kondisinya normal. Artinya, manajemen waktu dan kenyamanan pada saat berada di dalam lift selalu tepat dan nyaman. Tapi pengalaman saya ternyata berbeda.
Berbelas tahun bekerja di gedung yang termasuk pencakar langit, saya mengalami beberapa kali terjebak di dalam lift...(hiks hiks hiks...). Saya tidak tahu, apakah ini merupakan kurikulum wajib bagi penghuni gedung berlantai tinggi.
Selama 10 tahun pertama berada di gedung tersebut, rasanya saya tidak pernah mengalami hal-hal darurat seperti itu. Tapi beberapa tahun kemudian, mulailah kondisi darurat terjadi. Pernah sekali terjebak sekitar 10 menit. Pernah juga hanya 5 menit. Tapi yang terlama adalah sekitar 50 menit...hehe.
Yang jelas, selama 50 menit terjebak di dalam lift itu membuat perasaan saya jadi tidak karuan. Untung saja....(masih untung)... aliran udara dan oksigen saat itu berjalan lancar ke dalam kotak lift. Jadi masih lumayan bisa bernafas, walaupun harus berebutan oksigen dengan sekitar 10 orang lagi.
Belum cukup sekedar terjebak. Pintu lift pun tidak terbuka sempurna pada saat mencapai lantai dasar. Lift setengah tergantung di antara lobang pintu, dan pintu lift pun tidak bisa dibuka sepenuhnya. Untuk keluar dari dalam lift kami terpaksa ditolong dengan menggunakan tangga sekitar 1, 5 meter. Bayangkan...
♥
Masih ada pengalaman berkelanjutan tentang lift ini.
Pindah ke gedung perkantoran yang baru, dengan ketinggian yang lebih dari gedung perkantoran sebelumnya. Dengan harapan baru, semoga tidak terjadi lagi tragedi terjebak di dalam lift. Tapi rupanya, lift macet ini menjadi salah satu SOP (Standar Operating Procedure atau psosedur operasional baku) gedung pencakar langit di Jakarta. Kayaknya nggak seru kalau nggak ada kejadian darurat yang berkaitan dengan operasional lift.
Suatu ketika, listrik di seantero area perkantoran kami padam... (anehnya...genset yang seharusnya menggantikan sumber listrik dari PLN, ikut-ikutan tidak berfungsi...
Saya, yang sudah berpengalaman terjebak di dalam lift, memilih untuk tidak pakai lift . Mendingan turun dari lantai 20 gedung kantor, melalui tangga darurat. Nggak usah dipikirkan pegelnya kaki yang harus menuruni entah berapa ratus anak tangga, sambil bawa tas dan gembolan harian di tangan kiri kanan. Kepala pun ikutan pusing karena arah tangga darurat itu hanya satu arah. Mengikuti gaya sentripetal ke arah dalam.
Tiba di bawah, bukan hanya kaki yang sakit dan lecet, tetapi kepala ikutan keleyengan dan nafas ngos-ngosan. Jantung pun berdebar di atas normal...Untuk urusan ini, mau mengeluh pada siapa ? Paling-paling bersyukur...
♥
Itulah....ketika modernisasi menjadi bagian dari kelengkapan kehidupan, maka kita juga harus siap-siap menghadapi resiko paling darurat setiap saat.
Naik lift yang turun naik sesukanya, merupakan salah satu resiko yang harus diperhatikan. Barangkali kejadian darurat ini belum tentu terjadi setahun sekali. Tetapi tetap harus menjadi agenda penanggulangan keadaan darurat. Bagaimana kalau terjadi bencana alam atau gempa bumi misalnya. Atau kalau terjadi musibah bom dan kebakaran. Penggunaan lift dalam situasi darurat tetap harus menjadi perhatian dan tetap harus kita antisipasi .
Pengelola gedung, harus sangat memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penghuni gedung. Tidak ada alasan bahwa listrik padam atau maintenance yang belum lancar. Bagi pihak penyewa dan penghuni gedung, yang penting adalah keselamatan.
Pengelola gedung tidak bisa selalu hanya minta maaf dan mohon maklum, sebagaimana biasanya terjadi. Masalah tidak selesai dengan minta maaf dan mohon maklum. Banyak kerugian, material , fisik dan psikologis yang tidak bisa dihitung dengan angka. Yang harus menjadi pertimbangan pembangun dan kontraktor ketika menyediakan fasilitas lift sebagai alat transportasi antar lantai gedung.
Lift yang baik akan membawa penumpang dalam hitungan detik dari satu lantai ke lantai yang lain. Akurasi kecepatan ditandai juga dengan kotak lift yang bergerak naik turun tanpa goncangan, apalagi tersendat-sendat. Nyaman dan selamat.
Itu idealnya !
Sayangnya hidup tidak selalu ideal. Apa yang pernah direncanakan di atas kertas dengan perhitungan matematika yang rumit, ketika tiba di lapangan seringkali tidak sesuai. Pembaruan dan pengembangan disain yang dipromosikan oleh produsen tak selalu berjalan mulus pada kondisi yang berbeda. Banyak faktor yang membuat rencana tak berjalan mulus di dunia nyata. Dan faktor X inilah yang harus dibawa di meja perhitungan dan perundingan.
♥
Apa pun...kenyataan tetaplah kenyataan.
Sekali kita memutuskan untuk bekerja atau hidup di belantara gedung modern pencakar langit, maka semua resiko harus masuk di dalam agenda harian kita. Mengantri bermenit-menit di depan lift. Berjejalan , saling bertukar parfum dan aroma keringat di dalam lift. Terjebak beberapa menit sampai kelenger. Dan lain-lain resiko yang tidak terbayangkan.
Hidup di gedung pencakar langit memang menyenangkan, tetapi kalau tiap pagi dan sore harus setres memikirkan jadwal lift, memikirkan kepencet di dalam lift, maka perlu ekstra kesabaran dan keuletan untuk mengatasi semua itu.
Sama seperti sisi kehidupan yang lain. Modernisasi tak selamanya menyediakan kenyamanan dan keselamatan yang akurat. Lift yang naik turun sama dengan dinamika kehidupan kita. Ada saat lancar. Ada saat tersendat. Ada saat macet.
Yang penting, kita tetap harus optimis. Dan dengan langkah pasti mengantri di depan lift kehidupan kita....
Jadi, masih tergiur bertempat tinggal dan bekerja di gedung jangkung ? Masih tergoda untuk naik turun lift ? Ahaaaa.....
Post a Comment