A.M. Lilik Agung
Memahami peran divisi Human Resources (HR) disaat krisis global ini akhirnya menghasilkan sebuah paradoks. Paradoks ini bermuara pada satu hal; rasionalisasi karyawan. Pada perbincangan diberbagai forum, milis, atau media massa banyak pelaku HR dihadapkan pada kenyataan yang nyaris tidak dapat dihindari yaitu melakukan rasionalisasi karyawan. Memang tindakan ini dapat dibenarkan manakala perusahaan menghadapi kekacauan bisnis yang berujung pada berantakannya aliran kas. Namun pada banyak kasus, justru krisis global ini dimanfaatkan perusahaan untuk mem-PHK karyawannya dengan dalih dampak krisis global. Padahal jelas perusahaan bersangkutan nyaris tidak terpengaruh oleh gelombang krisis.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi pengelola divisi HR. Disamping rasionalisasi menimpa karyawan yang belum tentu tidak menunjukkan kinerja prima, juga sekarang berkembang mindset bahwa keberhasilan pengelola HR apabila ia mampu merasionalisasi karyawan dalam tingkat optimal. Semakin besar merasionalisasi karyawan, maka semakin besar pula kinerja yang dihasilkan oleh pengelola HR.
Pun keadaan demikian melebar pada berbagai survei, kuis, penelitian dan sejenisnya menyoal tentang HR. Awal dari pertanyaan dengan pilihan jawaban selalu nyaris seragam; "Dalam menghadapi krisis global, apa yang Anda lakukan sebagai pengelola divisi HR?" Pilihan jawaban paling awal adalah: rasionalisasi karyawan. Disusul: mengurangi penerimaan karyawan baru. Mengurangi anggaran pelatihan. Mengurangi besaran bonus, insentif dan uang lembur. Sementara yang positif justru terpinggirkan.
Semangat menggelora dari pengelola HR sebagai jawaban atas risalah cerdas dari Dave Ulrich tentang empat peran pokok HR, yaitu sebagai mitra strategis, agen perubahan, proses administrasi dan manajemen kontribusi akhirnya meredup kembali pada peran konvensional semata. Bagaimana pengelola HR menjadi mitra strategis perusahaan jika mereka justru disibukkan dengan beban maha berat bernama rasionalisasi karyawan? Bagaimana mereka menjadi agen perubahan bagi perusahaan jika banyak karyawan menjadi 'antipati' kepadanya karena setiap hari mem-PHK karyawan?
Kondisi tidak menguntungkan ini yang sekarang dihadapi oleh pengelola HR ketika SWA mengadakan hajatan tahunan bernama HR Excellence Award. Jika pada dua hajatan sebelumnya para praktisi HR dengan bangga mengatakan bahwa diperusahaannya divisi HR sudah menjadi mitra strategis dan agen perubahan, maka pada hajatan sekarang dapat dipastikan mereka gelagapan untuk menunjukkan perannya. Tanggungjawabnya pada dua wilayah yaitu menciptakan pemimpin bisnis dan mengelola bakat (talent management), pasti terpinggirkan. Pengelola HR kembali pada peran kunonya; pesangon, reward and punishment, penggajian dan hubungan industrial.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh pengelola HR untuk mengembalikan geloranya memainkan empat peran pokoknya? Pertama, dengan kepala tegak dan penuh percaya diri mengatakan kepada manajemen perusahaan tentang kondisi nyata perusahaan dengan keberadaan karyawan. Bila memang perusahaan kewalahan menghadapi krisis global dan terjadi pendarahan hebat, merasionalisasi karyawan tak diharamkan.
Namun bila ternyata perusahaan tetap mampu bersaing dan aliran kas lancar, mengatakan tidak terhadap rasionalisasi harus berani dilakukan. Pengelola HR bukan sekedar perpanjangan tangan manajemen yang melaksanakan secara buta apa yang diperintahkan manajemen. Pengelola HR juga merupakan 'tempat berlindung' karyawan bagi masa depannya. Pengelola HR tak lain mitra strategis perusahaan sekaligus mitra strategis karyawan.
Kedua, para pengelola HR harus paham tentang peran kontemporer HR sekaligus paham operasional bisnis secara keseluruhan. "Butanya" pengelola HR sehingga tanpa pertimbangan ikut memperluas rasionalisasi, dapat dikatakan ia juga buta terhadap proses bisnis keseluruhan. Yang ia ketahui hanya sebatas peran HR. Itupun peran HR konvensional yang berkubang menyoal administrasi semata. Jika pengelola HR paham terhadap operasional bisnis sekaligus piawai mengadopsi peran kontemporer HR, dapat dipastikan suara dan pemikirannya akan didengar oleh manajemen. Termasuk pendapatnya tentang rasionalisasi.
Ketiga, pada saat krisis yang berakibat pada melambatnya operasional bisnis, justru waktu paling tepat bagi HR untuk melatih dan mengembangkan karyawannya. Waktu luang karyawan justru bisa dioptimalkan oleh HR untuk menggiring mereka ke ruang-ruang pelatihan. Mengasah ketrampilan teknis karyawan, memperdalam pengetahuan terbaru dibidang yang ditekuni dan memperkuat kepemimpinan, bisa dilaksanakan melalui pelatihan. Jika anggaran minim, bahkan nol, para pelatihnya bisa diambil dari jajaran manajemen perusahaan. Atau bisa pula diambil dari perusahaan afiliasinya. Berbagi pengalaman dan berbagi pengetahuan akan mempercepat karyawan menjadi jauh lebih terampil. Ketika krisis mulai mengendor dan bisnis mulai mengencang, perusahaan akan diuntungkan karena mendapati karyawan lamanya dengan ketrampilan dan pengetahuan baru, untuk bersiap menghadapi kompetisi.
Krisis global bukan sekedar alat legitimasi untuk merasionalisasi karyawan. Karena krisis ini, tantangan baru justru muncul bagi pengelola HR untuk menunjukkan diri sebagai mitra strategis perusahaan sekaligus mitra strategis karyawan. Krisis juga saat paling tepat bagi pengelola HR untuk menjadi agen perubahan yang sukses membawa biduk organisasi berselancar di atas gelombang perubahan. HR Excellence akan mendapat apresiasi dalam konteks ini.
Post a Comment