Oleh: Gede Prama
Sebuah peradaban yang riuh, demikian sebuah komentar mencoba menyimpulkan kehidupan di awal abad 21. Lebih-lebih ketika menghampar bencana di mana-mana. Perang, bencana alam, krisis (energi, pangan). Berkaitan dengan krisis energi dan pangan, banyak yang sepakat kalau sedang terjadi kepanikan global.
Ada yang menelaah wajah peradaban ini tidak dengan analisis, namun dengan lelucon. Suatu hari seorang pemuda kebingungan memilih isteri. Datanglah dia pada seorang sesepuh. Dan diberitahulah syarat-syarat calon isteri yang baik. Dari berwajah cantik, puteri orang kaya, bekerja, berkinerja dahsyat di tempat tidur sampai dengan bisa diminta mengepel lantai.
Ternyata, setelah dicari-cari tidak ada wanita ideal seperti itu. Bila cantik, puteri orang kaya, wanita karir, maka harga yang harus dibayar, suaminya terpaksa mengisi keseharian dengan mengepel lantai, sambil bernyanyi sendu lirik lagu "diriku tak pernah lepas dari penderitaan".
Semakin dipertentangkan, semakin panas...
Peradaban manusia serupa, setiap kelebihan meminta ongkos berupa kekurangan. Keserakahan hanya mau kelebihan, dan berharap kelebihan tidak berubah-ubah menjadi kekurangan, itulah awal kehidupan yang riuh dan penuh penderitaan.
Dulu ketika dunia dibuat takut oleh potensi perang bintang antara dua negara adi kuasa, tidak ada tanda-tanda ketakutan akan bom teroris. Sekarang ketika ketakutan perang global berhenti, bahkan memasuki hotel pun harus diperiksa petugas keamanan.
Nasib bangsa ini setali tiga uang. Ia terlihat berputar dari satu ketidakpuasan menuju ketidakpuasan lain, karena manusianya menolak semua kekurangan. Di zaman orde baru, sebagian hak-hak politik memang dikekang, tapi di zaman itu harga pangan, papan dan minyak terjangkau. Di zaman reformasi ini, kebebasan politik berkibar-kibar, siapa pun boleh dikritik, namun ia harus dibayar dengan harga pangan, papan dan minyak yang semakin jauh dari jangkauan. Persis sama dengan lelucon pemuda yang bingung mencari isteri, setiap kelebihan harus dibayar dengan kekurangan.
Di tengah pengapnya peradaban oleh banyak sekali ketidakpuasan, tidak terhitung jumlah rapat, konferensi, wacana, seminar sampai kuliah tingkat tinggi di perguruan tinggi yang mau mencoba mengurai situasi. Dan ternyata, semakin diperdebatkan peradaban jadi semakin panas.
Bila ada hasilnya, peradaban akan tambah sejuk. Namun sebagaimana dirasakan bersama, bumi tambah panas baik secara fisik, psikologis, spiritual. Jika ditelusuri lebih dalam kehidupan manusia, ia ditandai kelahiran dengan tangisan bayi yang riuh, serta kematian plus tangisan orang yang ditinggalkan yang juga riuh. Bila di tengah-tengahnya juga riuh dengan perdebatan dan perkelahian, menimbulkan pertanyaan mendalam, kapan manusia punya kesempatan berjumpa keheningan?
Menjadi satu dengan alam
Alam sebagai guru bertutur terang, semuanya berubah, semuanya membawa kelebihan-kekuranga
Seorang guru yang punya banyak murid di Barat agak terang dalam hal ini. Tahapan memasuki pintu keheningan sebenarnya sederhana. Pertama-tama, belajar dari alam. Kemudian hidup sesuai prinsip-prinsip alami. Sebagai hasilnya, manusia bisa melihat kebenaran di balik alam. Dan ujung-ujungnya baru bisa menjadi satu dengan alam. Sebelum menyatu dengan alam, manusia akan terus berputar dari satu penderitaan ke penderitaan lain.
Ia yang bersatu dengan alam tahu, ada bimbingan, ada kesempurnaan, ada keindahan di sana. Laut sebagai contoh, ia membawa bimbingan-bimbingan
Siapa yang mengisi kesehariannya dengan keikhlasan dan kerendahatian, akan menemukan bahwa alam sebenarnya sebuah perpustakaan agung. Berlimpah pengetahuan dan kebijaksanaan yang disimpan di sana. Perhatikan laut lebih dalam lagi. Di permukaan ia senantiasa bergelombang. Sama dengan hidup manusia. Di kedalaman yang dalam, tidak ada gerakan apa lagi gelombang. Hanya hening yang melukis keindahan dan kesempurnaan.
Cermati apa yang ditulis Zenkei Shibayama dalam A Flower does not talk: "silently a flower blooms, in silence it falls away….pure and fresh are the flowers with dew….calmly l read the True Word of no letters". Bunga mekar tanpa suara, berguguran juga tanpa suara. Tanpa keluhan tanpa perdebatan. Ada kesucian yang menggetarkan dalam bunga yang berhiaskan embun pagi. Dalam bimbingan hening, tiba-tiba terbaca makna tanpa kata-kata. Zenkei Shibayama menyebutnya Scripture of no letters. Tanpa kata-kata, tanpa keriuhan. Hanya sebuah hati yang berkelimpahan dalam dirinya!
Kembali ke cerita awal tentang peradaban yang riuh, dunia memang sedang dibelit krisis. Namun ketika kata-kata, perseteruan memperpanas suhu panas peradaban yang sudah panas, mungkin ini saatnya membaca Scripture of no letters. Ada yang menyebutnya pengetahuan di dalam yang hanya membuka dirinya di puncak keheningan.
Untuk melangkah ke
Sebagaimana ditulis rapi oleh kehidupan para Mahasidha (manusia yang menjadi agung karena melewati banyak rintangan seperti Jalalludin Rumi, Bunda Theresa, Milarepa, Mahatma Gandhi), awalnya bencana terlihat sebagai cobaan. Namun begitu dialami, ia memperkuat otot-otot kehidupan. Persis seperti otot fisik yang kuat karena banyak dilatih. Bila begini cara memandangnya, bencana bukannya membawa kegelapan kemarahan, ia membawa cahaya penerang.
Berbekalkan ketekunan, bencana membuat batin kebal dengan penderitaan. Kekebalan ini kemudian membuat manusia bisa menyambut semua dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, hidup-mati) dengan senyuman yang menawan. Inilah secercah cahaya keheningan. Ia menyisakan hanya satu hal: compassion is the only nourishment. Dualitas memang lenyap, kasih sayang kemudian membuat kehidupan berputar.
Post a Comment