Oleh: Devitri Indriasari
Di tengah euforia demokrasi, nasib bangsa Indonesia sungguh ironis.
Seperti kisah anak dan ibu tiri yang jahat, ketika ada ayah, ibu tiri bermulut manis dan amat sayang. Namun saat sang ayah pergi, ibu tiri amat galak dan kejam. Sang ayah tidak bisa berbuat banyak karena benturan dua kepentingan, istri dan anak.
Kisah sedih bangsa
Di sisi lain, perilaku politisi di gedung dewan maupun di belakang layar menunjukkan perilaku sebaliknya. Berbagai keputusan politisi justru melukai hati rakyat dan melemahkan pengawasan rakyat atas jalannya pemerintahan. Imbauan Komisi I DPR agar KPK tidak aktif selama ketua tidak lengkap mengindikasikan adanya resistensi terhadap usaha pemberantasan korupsi. Keputusan untuk mengesahkan RUU Rahasia Negara juga memunculkan sinyal kontraproduktif dengan pelaksanaan Undang-Undang KIP yang memberi jaminan kepada rakyat atas hak informasi publik.
Meski pelaksanaan pesta demokrasi baru saja usai dan pilpres sedang dalam proses rekapitulasi suara nasional, rakyat sudah disuguhkan aneka berita yang menyedihkan. Pelaksanaan demokrasi yang disebut berhasil oleh sejumlah pengamat sepertinya berbanding terbalik dengan kondisi nyata nasib rakyat
Berita itu antara lain upaya sistematis sejumlah pihak untuk melemahkan usaha pemberantasan korupsi, proses RUU Tipikor yang tidak jelas, dan persiapan pengesahan RUU Rahasia Negara yang kontraproduktif dengan UU KIP. Berita pembagian BLT sebagai strategi kampanye pilpres adalah potret nyata kemiskinan rakyat
Merunut ke belakang, yang lebih menyedihkan adalah pengesahan UU BHP. Pengaruhnya amat krusial karena memperkecil peluang masyarakat tidak mampu untuk memperoleh pendidikan tinggi di tengah impitan ekonomi yang kian berat. Tingkat pendidikan yang rendah akan berimplikasi pada kualitas demokrasi yang didominasi pemilih yang tidak rasional. Akhirnya demokrasi yang berhasil secara prosedural tidak menghasilkan pemimpin berkualitas seperti demokrasi di negara maju.
Misteri kesadaran politik
Hernando de Soto pernah menjelaskan fenomena ini sebagai misteri kesadaran politik. Kegagalan rakyat di negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan sudah menjadi kesadaran politik bersama suatu bangsa. Namun, para politisi tidak berinisiatif mengambil tindakan strategis untuk mengatasi kegagalan pembangunan itu. Para politisi menyadari, mereka membutuhkan dukungan suara rakyat kecil guna meraih jabatan politik yang memungkinkan mereka mengambil kebijakan publik untuk melakukan perubahan sistem yang berpihak kepada rakyat.
Pada sisi lain, politisi tidak bisa bebas dari sponsor yang membiayai mereka berkampanye. Bahkan, pada beberapa kasus, sponsor bisa datang dari negara maju yang memiliki kepentingan ekonomi atau politik. Karena posisinya amat dilematis, politisi lebih memilih tidak membangun sistem hukum yang kuat dengan berbagai cara. Pertama, tidak membuat peraturan yang efeknya merugikan sponsor.
Kedua, membuat peraturan yang lemah dan tidak lengkap.
Ketiga, membuat peraturan yang melemahkan peraturan sebelumnya.
Demokrasi yang substansial
Keadaan seperti ini terjadi berkelanjutan karena politisi tidak ingin memperbaikinya melalui regulasi dan kebijakan publik yang diputuskan parlemen. Bahkan, politisi yang muncul dari kalangan rakyat kecil pun tidak bisa berbuat apa-apa. Jumlah mereka relatif sedikit dan harus tunduk kepada keputusan partai politik. Peran individu politisi tidak ubahnya seperti bagian mesin politik partai, yang harus bekerja untuk menyuarakan partai. Sikap yang bertentangan dengan partai akan membahayakan eksistensi jabatan politisi itu.
Konsep pelaksanaan demokrasi yang benar seharusnya ditujukan pada substansi daripada prosedur. Demokrasi harus mampu membebaskan rakyat dari ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi, dan politik. Demokrasi harus memberi jaminan fungsi lembaga-lembaga negara untuk memberi perlindungan hukum, ekonomi, dan politik kepada rakyatnya.
Untuk memutus siklus kegagalan demokrasi dalam mewujudkan masyarakat sipil yang maju, rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus mengambil peran aktif pengawasan. Masyarakat sipil bisa berupa individu, ormas, media massa, dan LSM, harus meningkatkan soliditas pengawasan terhadap semua lembaga negara. Tidak ada jaminan dari prosedur demokrasi yang baik akan menghasilkan kualitas demokrasi yang substantif dan mampu memberi keadilan sosial bagi seluruh rakyat. [Devitri Indriasari Mahasiswa Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia; Bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Kompas 15/7/09].
-------
"KLB-Munaslub"
Maka ketika pemilu legislatif dan pilpres baru saja usai, kemudian serta-merta muncul wacana KLB ataupun Munaslub dari salah satu atau dua partai peraih suara di pemilu tersebut, rasanya kita seperti setback, cita rasa kanak-kanak pun muncul kepermukaan, malu sich sebenarnya sama rakyat. Padahal setiap partai memiliki AD/ART yang harus diikuti dan dipatuhi. Rupanya norma dan etika dikalahkan oleh nafsu pribadi yang hanya ingin memperoleh sebuah kekuasaan belaka, tanpa mempertimbangkan kelangsungan/
Alih-alih mengikuti elite partai dan capres/cawapres yang sudah menunjukkan teladan, kesantunan, kebesaran jiwa, kenegarawannya, dan legowo melihat realita pilihan rakyat. Mestinya di saat-saat seperti ini para elite partai yang lain menunjukkan teladan yang baik bagi rakyat, menghargai rakyat, bukan malah berusaha merebut kursi ketua umum partai, padahal belum waktunya. nggege mongso. Sabar sedikit kenapa? Toh nanti juga sampai.
Kecuali, karena ia ingin segera menyelesaikan kasus lumpur Lapindo…. tentu masalahnya menjadi lain . . . dan rakyat pasti setuju dan memakluminya.
Post a Comment