Oleh: Indra Tranggono
Mendadak demokrasi prosedural hendak “menceraikan” Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Republik
Ini terjadi terkait pernyataan bahwa sistem monarki yang melekat pada Pemerintah DIY bertentangan dengan demokrasi. Pernyataan itu mendudukkan DIY sebagai “terdakwa”: anomali di tengah demokrasi.
Jika tidak mengidap amnesia sejarah, Pemerintah
Amnesia Sejarah
Jika
Soekarno tidak ingin mendidik bangsa bersikap ahistoris atau memelihara amnesia. Soekarno tahu sangkan paraning dumadi (asal-usul keberadaan). Sikap apresiatif itu membuahkan status keistimewaan dan wewenang raja
Dalam praktik tata kelola kekuasaan era Soekarno, antara
Pemerintahan SBY mendadak merasakan
Dengan melucuti keistimewaan DIY, terutama dengan menerapkan sistem pemilihan gubernur dan wakilnya, pemerintah pusat ingin mewujudkan agenda politiknya: DIY menjadi daerah terbuka sekaligus pasar bebas politik tanpa sekat feodalisme. Akibat yang diharapkan adalah lenyapnya kepemimpinan kultural yang berbasis pada akar tradisi. Gubernur dan wakil gubernur bisa datang dari mana saja dan bisa siapa saja, asal memiliki kekuatan modal uang dan lobi politik. Tidak penting apakah mereka paham atau tidak atas soal-soal kebudayaan.
Tragedi demokrasi liberal
Demokrasi liberal, yang kini menentukan detak jantung negara-bangsa, identik dengan uang. Padahal uang – seperti dinyatakan Sophocles, penulis drama tragedi Yunani – merupakan hasil kebudayaan yang paling buruk. Uang mereduksi manusia menjadi alat kepentingan sesaat. Uang pun memiliki daya linuwih menciptakan dehumanisasi dan dekulturalisasi, dua praktik penghancur peradaban manusia.
Tragedi demokrasi liberal – antara lain melalui pemilihan langsung – telah kita rasakan bersama. Konflik horisontal rentan tersulut. Pilkada-pilkada menjelma menjadi arena para gladiator politik tanpa sikap ksatria.
Demokrasi liberal terbukti menjauhkan pemimpin dari rakyatnya, karena pemimpin merasa telah “membeli” jabatan melalui politik uang. Rakyat diapresiasi haknya hanya saat pemilu, sesudah itu mereka dilupakan. Ini menambah dosis kelenyapan peran negara atas rakyat.
Demokratisasi liberal – yang tan[a diimbangi pendidikan politik atas rakyat – tidak mengenal kearifan kolektif karena hanya mengandalkan ukuran kuantitas. Padahal, tidak semua persoalan bangsa bisa diselesaikan dengan mayoritas suara. Tanpa kearifan, kita semakin kehilangan makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Demokrasi yang dibangun di negeri ini telah kehilangan empati atas nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini punya peran penting dalam membangun sosok negara/bangsa
Maka, untuk menyelamatkan
---------
Apabila suatu proses yang seharusnya mudah, praktis dan cepat, namun ternyata diperlambat, dibuat sulit, lama prosesnya, di ulur-ulur waktunya, biasanya ini menunjukkan ada agenda tersembunyi yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa diserahi menyelesaikan tugas ini. Betuuul?! Hasilnya, pasti ingin berusaha mengaturnya, kalo bisa ‘menghilangkan’ orang yang justru diberi mandat atau hal yang dianggap menjadi halangan dan rintangan. Seperti halnya contoh di atas, dengan berdalih demokrasi prosedural maka kalau bisa menghilangkan justru yang prinsipiil. Memang maksudnya baik, menurut pandangannya, agar melapangkan, melancarkan dan melanggengkan interest kekuasaan dan wewenangnya selanjutnya, kalau bisa dengan mengelabuhi atau mengabaikan hal yang prinsipiil tadi – yang penting tujuannya bisa tercapai – hanya kualitasnya jadi cethek…! Lihat saja hal-hal dan kasus yang sudah terjadi, (silahkan cari sendiri ya…juga yg lainnya...) benar khan?! Apalagi sekarang eranya sudah lain, semakin transparan dan rakyat sudah semakin tahu - kalau direkayasa, jadi ya tanggung akibatnya, malu dan masam muka. Masak cuma gertak saja, beraninya sama saudara sendiri – kenapa nggak waktu dengan
Ini mah namanya berani teriak cuma di kampungnya sendiri, bikin keonaran, mengusik ketentraman rakyat, yang nggak perlu dan nggak penting sama sekali..!
Kalau hal seperti ini menjadi pegangan atau kebiasaan para pemimpin di
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
Post a Comment