Kejadian menakutkan di halaman rumah teman saya, sekitar 2 tahun lalu. Lokasinya di sebuah perumahan, Tangerang Selatan, pinggir barat kota Jakarta.
Suatu pagi, seusai sholat subuh, sang teman mendapati seseorang tergeletak di halaman rumahnya. Persis di bawah pagar tembok setinggi dua setengah meter. Diatas dinding, dijalin kawat berduri dan besi beton runcing, tambah mempersulit seseorang melewatinya.
Korban tak sadarkan diri, kepalanya berdarah dan beberapa luka menganga di sekujur tubuhnya. Yang paling menyeramkan, dipinggir badannya, tergeletak sebilah parang. Mengkilat, tajam, seakan siap menebas siapa pun yang menghalangi niat pemiliknya. Sang teman tak kenal, siapakah gerangan tamu yang tergeletak itu. Masih untung, korban masih bernafas, meski tak hirau ketika disadarkan. Dia memang benar-benar pingsan.
Didatangi tetangga kampung, dia merasa nyaman, aman. Pak RT terlihat di
Usut punya usut, mereka menyimpulkan siapa tamu tadi. Dugaan mengarah pada tuduhan bahwa dia seorang pencuri yang terjatuh saat melompat pagar halaman rumah. Tak ada cerita lain, karena pintu pagar tertutup dan terkunci dengan rapat, saat sang teman menemukan tubuh tergeletak itu.
Reaksi spontan keluar dari para tetangga, langsung menghakimi pencuri naas tadi. Bunuh aja, biar kapok, atau Seret aja masukkan selokan, dan ungkapan dendam lainnya. Tetapi, pasangan pemilik rumah berkehendak lain.
Dicegahnya masa main hakim sendiri. Langsung dia keluarkan mobil dari garasi, dimasukkan si korban ke dalamnya. Tancap gas ke rumah sakit terdekat, tanpa menoleh kanan-kiri.
Beberapa tetangga bergumam, Andaikan dia selamat, bukan tak mungkin pemilik rumah digorok lehernya. Ungkapan sadis memang, tetapi begitulah skenario yang sangat mungkin terjadi.
Belum selesai sampai disitu. Diagnosa dokter UGD mengatakan, korban mengalami gegar otak dan patah tulang kering, kaki kirinya. Operasi harus dilakukan segera. Mereka tetap tidak tahu, siapa pasien yang sedang di kamar gawat darurat. Tapi pasangan itu bergeming. Baik dokter, silakan dirawat sebaik-baiknya, saya akan bertanggung jawab semuanya.
Singkat cerita, pasien dirawat di RS, lengkap dengan operasi dan proses penyembuhannya. Satu bulan kemudian, calon pencuri diizinkan pulang. Uang sekitar 25 puluh juta melayang ke kasir rumah sakit. Tak diketahui dimana pencuri tadi sekarang berada.
Ketika saya tanyakan alasan mengapa mereka mau menolong calon pencuri, yang tak dikenal. Plus membiayai penyembuhan di rumah sakit tanpa tahu siapa dia, sang teman hanya melengos saja. Seolah dia tak mau kejadian tadi diungkit kembali.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana tindakan penyelamatan bisa begitu spontan keluar dari sanubari pasangan tadi. Tetapi, para tetangga - juga saya - kemudian tersadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang luhur lagi mulia. Sulit menemukan reaksi seperti yang dimiliki teman tadi. Kejadian seperti itu, rasanya langka ada di bumi ini. Mungkin hanya terjadi satu-dua, dan jarang sekali ada.
Sekian tahun sebelumnya, ada sebuah kisah nyata - yang kemudian - akibatnya disebut Nicholas Effect. Peristiwa terjadi di Italia, ketika sebuah keluarga Amerika sedang berlibur di sana. Kisah sang teman di Tangerang Selatan, masuk dalam paradigma ini.
Suatu malam, 29 September 1994, keluarga Green, yang terdiri dari Nicholas, adik perempuannya, Eleanor dan kedua orang tuanya, Margaret dan Reginald mengendarai mobil sewaan menuju kota kecil Reggio, Calabria.
Seusai santap malam di café Autogrill, mereka dibuntuti 2 pengendara motor yang memakai masker penutup muka. Karena tak mau berhenti bahkan mempercepat laju mobilnya, kedua perampok mulai menembak mobil Greens. Dua atau tiga peluru melesat dari laras pistol si penjahat. Sang sopir malah menancap gas, mempercepat laju kendaraan. Akhirnya mobil itu lolos.
Setelah dirasa aman, Mr Green menghentikan mobilnya. Baru disadari, Nicholas, kala itu 7 tahun, terkena peluru di belakang batok kepalanya. Nyawanya meregang. Dokter Ahli Syaraf Cedera Kepala angkat tangan. Tenaga medis menyerah. Nicholas dinyatakan meninggal 2 hari kemudian. Puji Tuhan, dia beristirahat dalam damai Tuhan. Rest in Peace.
Masyarakat Italia mulai was-was. Mereka menunggu kesedihan dan kemarahan keluarga Green yang bakal meledak. Wajar, bila Yankee ini marah dan menuntut kesana-kemari. Dendam diperkirakan bercokol di hati mereka. Ternyata reaksi sebaliknya yang muncul.
Setelah menyadari tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolong Nicholas, Greens ikhlas. Mereka pasrah kepada kehendak Sang Ilahi. Mereka menyerahkan semua ini kepada Tuhannya. Bahkan mengumumkan - melalui RS - untuk mendonorkan semua organ tubuh Nicholas yang bisa disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Masyarakat Italia ternganga, seakan tak percaya apa yang didengarnya.
Alih-alih marah, keluarga Green malah bersikap sebaliknya. Sikap yang otomatis keluar malah membuat orang terperanjat. Apa yang sebesar-besarnya bisa diberikan kepada sesama, meski di saat menderita, dilakukannya. Dan itu menghibur hati mereka yang duka, ditinggal Nicholas pergi selamanya.
Sebulan kemudian, organ tubuh Nicholas sudah disandang oleh 7 warga Italia. Jantung, ginjal, pankreas, hati dan kedua kornea matanya. Penerimanya adalah Andrea, Dominica, Francesca, Anna, Tinno Silvia dan Pia. Padahal Nicholas hanya sendirian, menyambung hidup 7 sesama sekaligus, justru ketika 2 orang tak dikenal menembak kepalanya.
Langkah yang dibuat keluarga Green, kemudian memicu warga Italia berbondong-bondong menjadi donor organ tubuh. Italia, yang semula rendah dalam angka donor organ tubuh manusia, melonjak menjadi negara pertama di Eropa dalam statistik mulia ini. Kematian Nicholas melahirkan multiplier effect dalam perbuatan yang tak disangka-sangka. Ini semata-mata karena teladan The Greens yang beraksi spontan dalam langkah pertama yang mulia.
Efek Nicholas kemudian mempunyai makna yang lebih luas, ketimbang perbuatan donor organ tubuh saja. Ia juga berlaku bagi tindakan apa saja yang mulia, luhur dan membantu sesama, lahir dari sebuah tragedi, kemudian menjadi keteladanan yang diikuti banyak orang.
Perbuatan luhur hanya memerlukan satu langkah awal saja dari kita. Seribu atau sejuta langkah berikutnya - sampai langkah akhir - dilakukan sendiri oleh Dia yang Maha Mengatur Dunia. Teman saya di Tangerang Selatan, Indonesia dan The Greens di Calabria, Italia, telah membuktikannya. Tragedi malah melahirkan simpati, melahirkan sesuatu yang berarti, yang keluar dengan sepenuh hati. Masalahnya adalah sangat-sangat sulit bagi kita untuk membuat langkah pertama yang mulia itu. Karena ia kerap berbenturan dengan ego kita.
Mengasihi teman, sahabat, keluarga, kekasih, pasangan, terlebih-lebih anak, adalah perbuatan baik yang biasa-biasa saja. Tetapi mengasihi dan memaafkan secara tulus musuh, mereka yang membenci, mereka yang jahat, mereka yang tidak menyenangkan kita adalah perbuatan mulia yang luar biasa.
Post a Comment