Catatan Kepala: ”Mudah untuk melihat kearah orang lain. Tapi untuk melihat diri sendiri, kita membutuhkan alat bantu bernama cermin diri.”
Salah satu benda berharga yang sulit kita cari adalah sesuatu yang kita sebut sebagai ‘keteladanan’. Banyak guru yang bisa kita ikut ajarannya. Banyak orator yang bisa kita dengar mimbarnya. Banyak penulis yang bisa kita baca buah penanya. Tapi, sedikit orang yang bisa kita jadikan sebagai teladan. Mengapa? Karena keteladanan bukanlah kata-kata. Keteladanan bukanlah ajakan. Dan keteladanan bukan seruan. Keteladanan adalah apa dilakukan oleh seseorang yang antara kata dan perbuatannya sejalan. Ini yang masih sulit kita temukan. Sulit tidak berarti tidak ada. Diantara hanya sedikit orang yang layak dijadikan teladan itu, saya menemukan sebuah kesamaan, yaitu; mereka lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri. Karena mereka percaya bahwa untuk bisa menjadi pribadi yang layak dicontoh itu, kita membutuhkan alat bantu bernama cermin diri.
Kami sempat panik ketika malam itu anak lelaki kecil kami belum juga pulang. Diluar hujan disertai petir tidak berhenti sejak sore. Setelah telepon kesana kemari tidak memberikan hasil, kami segera mengeluarkan mobil menerobos tumpahan air dari langit. Rumah demi rumah kami datangi, namun hasilnya nihil. Ditengah kegalauan itu istri saya teringat jika anak kami pernah mengenalkan teman barunya yang sama-sama suka bermain futsal. Setelah bersusah payah mencari rumah teman barunya itu, ternyata memang anak kami berada disana. Dia tidak bisa pulang karena terhalang hujan dan halilintar. “Kenapa Abang nggak telepon ke rumah?” ibunya bilang. “Aku nggak tahu nomor telepon rumah kita,” katanya. “Aku tahunya cuma nomor telepon teman-temanku saja….” Saya sungguh tersentak mendengar ucapannya. Dia tahu nomor telepon semua temannya. Tapi tak tahu nomor telepon rumahnya sendiri. “Gue banget!” begitu saya berguman dalam hati. Saya serasa diingatkan bahwa; ini adalah saatnya untuk lebih banyak mengenal diri sendiri. Hidup kita lebih banyak digunakan untuk memperhatikan orang lain. Sedangkan diri kita sendiri kurang mendapatkan perhatian. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menjadi lebih banyak melihat kedalam diri, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
1. Kita sama berpotensinya dengan orang lain. Nomor telepon di kompleks kami itu mirip-mirip. Hanya beda beberapa angka belakangnya saja. Tapi, anak saya tidak mengingat nomor telepon rumahnya sendiri. Begitu juga kita. Potensi diri kita ini tidak jauh berbeda dengan orang lain. Tetapi, mudah bagi kita untuk mengatakan “Beruntung ya, dia berbakat dalam berbahasa Inggris.” “Hebat ya dia, berpotensi sekali untuk menjadi orang sukses.” Lha, kita sendiri punya bakat apa? Anda sendiri punya potensi apa? Bingung kan? Bisa jadi sebenarnya bakat kita untuk bisa bahasa Inggris itu sama dengan orang lain. Tapi, kita tidak mau berusaha untuk belajar dan mempraktekannya. Malu jika kulit coklat ini cas-cis-cus dengan bahasa Inggris logat daerah. Wagu. Takut ditertawakan orang lain. Maka, biarpun kita berbakat; ya tidak bakalan jadi terampil. Boleh jadi sebenarnya kita sama berpotensinya untuk menjadi karyawan sukses seperti teman kita itu. Hanya saja, kita masih hitung-hitungan gaji dan waktu kerja. Kita masih menggerutu saat diberi tugas tambahan. Kita masih enggan untuk membangun hubungan baik dengan teman dan atasan. Kita masih berpikir untuk berkontribusi lebih banyak NANTI kalau sudah naik jabatan. Walhasil, biarpun kita sudah dikasih potensi untuk sukses; ya ndak bakalan sukses toh Mas. Potensi kita sama dengan orang lain. Hanya saja, kita perlu mengenalinya lebih dalam, dan mengambil sikap yang tepat untuk mewujudkannya.
2. Kita perlu lebih sering bercermin. Saya punya cermin kecil di kamar. Tapi, saya jarang melihatnya. Diluar rumah, saya punya banyak pemandangan indah. Tetangga saya berganti-ganti mobil. Teman saya mendapat kenaikan jabatan. Kawan satu angkatan saya sudah menjadi direktur. Panas rasanya hati ketika melihat itu. Mungkin bukan hanya saya yang sering begitu. Makanya kita sering merasa diri kurang beruntung. Padahal, semua yang mereka dapatkan bukan sekedar keberuntungan. Mereka telah melakukan sesuatu yang cukup berharga sehingga sekarang bisa memetik hasilnya. Kita? Apakah sudah bekerja sekeras dan secerdas mereka? Jika belum, mengapa kita menuntut hasil yang sama baiknya? Ada orang yang termotivasi untuk bekerja lebih giat, berkontribusi lebih banyak, berbuat lebih berbobot; ketika melihat teman atau tetangganya lebih berhasil dari dirinya. Ada juga yang semakin panas hati. Anda termasuk jenis yang mana? Pasti akan panas hati jika pemadangan sehari-hari itu tidak diimbangi dengan kesediaan untuk bercermin kepada apa yang sudah kita lakukan. Perhatikanlah, bukankah didalam diri kita masih sering timbul rasa iri? Bukankah kita masih lebih mudah ikut arus yang mau enaknya saja? Teman sekantor kita malas, kita ikut malas. Atasan kita sedang nyebelin, kita kehilangan mood. Padahal, tak seorang pun mengambil kendali atas hidup kita selain diri kita sendiri. Maka bercerminlah, dan lihatlah; betapa kita terlalu banyak melihat ke arah orang lain, namun sangat jarang menengok kedalam diri sendiri. Kenyataannya, kita perlu lebih banyak bercermin.
3. Kita tidak kurang suatu apapun. Ketika melihat kedalam diri, kita sering melakukan kesalahan dengan memberi penilaian seolah orang lain lebih beruntung dari kita. Bukan hanya Anda, saya pun begitu. Tetapi, setelah saya renungkan, ternyata semua itu disebabkan karena kita terlalu banyak memandang dari aspek material saja. Faktanya, rasa bahagia tidak langsung berkorelasi dengan materi. Keutuhan rumah tangga tidak hanya dimiliki oleh mereka yang berkelimpahan harta. Kesehatan jasmani bukanlah monopoli orang-orang yang banyak uang. Kita hanya melihat yang lebihnya saja dari orang lain. Tapi kita tidak melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Kemarin saya mendengar seorang pejabat perusahaan besar yang terserang stroke lalu batok kepalanya dibuka diruang operasi. Membayangkan cerita suster itu saya sudah berkeringat panas dan dingin. Oh, saya merasa beruntung karena dikasih Tuhan jasmani yang sehat. Di lorong Rumah Sakit saya bertemu seorang mantan perwira penerbang. Beliau bercerita jika anaknya mengalami kecelakaan sehingga kakinya patah. Oh, betapa beruntungnya saya hingga hari ini. Disamping saya terbaring seorang pemuda belia. Badannya tegap tinggi besar. Namun sekarang, setetes air putih pun hanya bisa masuk melalui selang yang disambungkan ke lubang hidung. Setiap kali tetes air itu masuk, setiap kali itu juga dia terbatuk. Belum lagi ketika selang itu lepas karena ditariknya. Bisakah Anda membayangkan bagaimana rasanya sebuah selang yang dimasukkan kembali ke lubang hidung hingga tembus ke kerongkongan? Kita? Sungguh, tidak kurang suatu apapun.
4. Kita perlu lebih sering bersyukur. Anda orang yang serba kekurangan? Saya tidak. Hanya satu kekurangan yang saya miliki. Tahukah Anda apa yang kurang dalam diri saya? Rasa syukur. Hanya itu. Yang lainnya sudah cukup. Namun karena kurangnya rasa syukur itu, saya sering merasa semuanya menjadi serba kurang. Sudah punya rumah, tapi merasa rumah saya lebih kecil dibandingkan rumah orang lain. Sudah ada mobil, tapi mobil orang lain lebih baru dan lebih keren. Sudah punya penghasilan, tetapi pengeluaran kok selalu lebih besar dari pada yang dihasilkan. Apakah Anda merasakan hal yang sama? Jika ya, mungkin kita punya masalah yang sama, yaitu; kurang memiliki rasa syukur. Padahal, saat hati saya dengan tulus berbisik; Tuhan, terimakasih hari ini Engkau memberi kami nafkah yang baik… nikmaaaaat rasanya. Meski nafkah itu mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tuhan, terimakasih hari ini Engkau telah menjadikan aku sehat…., lezaaat sekali rasanya. Tuhan terimakasih Engkau telah mengenalkan saya pada orang sukses yang bisa menginspirasi, semangaaat sekali hati ini. Apapun yang kita syukuri, memberikan nikmat yang nilainya berkali-kali lipat. Sebaliknya, apapun yang tidak kita syukuri; selalu menimbulkan perasaan kesal. Oleh sebab itu, kita perlu lebih sering bersyukur. Karena kita, tidak kekurangan apapun kecuali rasa syukur itu.
5. Kita butuh bertindak secara tepat. Tindakan. Itulah satu-satunya cara yang bisa menyampaikan kita kepada suatu tujuan. Tapi tidak semua tindakan bisa begitu lho. Hanya tindakan yang tepat. Semua yang kita lakukan – diam atau bergerak misalnya – adalah tindakan. Apapun pilihan kita, adalah tindakan. Tetapi ada tindakan yang sesuai dengan keinginan atau tujuan yang hendak kita capai, dan ada pula tindakan yang bertolak belakang. Saat bertanding diatas ring tinju, Anda harus memukul dan menangkis. Tetapi ketika tukang cukur memotong janggut Anda, tindakan paling tepat untuk Anda ambil adalah diam – bukan menonjok. Jadi, kita boleh diam atau bergerak. Boleh menyerang atau bertahan. Boleh menyerah atau melawan, bergantung kepada tujuan atau hasil akhir yang ingin kita capai. Masalahnya, kita sering melakukan sesuatu yang tidak mendukung terwujudnya hasil akhir itu. Jika tujuan kita ingin dinilai buruk oleh atasan, maka silakan bermalas-malasan. Jika tujuan kita ingin disebut karyawan sulit; silakan bikin masalah. Tetapi jika tujuan kita adalah ‘ingin meraih kredibilitas dan reputasi sebagai karyawan teladan’ misalnya, maka tindakan yang tepat adalah bekerja giat, penuh dedikasi, mengkotribusikan hasil kerja terbaik, selalu datang dengan solusi, bekerjasama dengan rekan, terus menempa diri, tidak pernah mengeluh, proaktif terhadap penugasan, menawarkan bantuan kepada teman, selalu ada kapan saja atasan membutuhkan, dan tindak-tindakan pendukung lainnya. Apapun tindakan Anda, memiliki konsekuensinya masing-masing. So, dukunglah tujuan yang ingin Anda wujudkan dengan bertindak secara tepat.
Sekarang, kami berusaha untuk mengajari anak lelaki mungil kami agar bisa mengingat nomor telepon rumahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, saya mengajari diri saya sendiri agar bisa mengenali diri sendiri lebih baik lagi. Selama ini, kita lebih banyak berfokus kepada orang lain. Dan sering melupakan diri sendiri. Padahal, kita tidak akan pernah dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan oleh orang lain. Pertanggungjawaban kita hanyalah seputar apa yang telah dilakukan oleh diri kita sendiri. Selama ini, kita terlampau sibuk menyuruh orang lain berbuat lebih baik bagi dirinya sendiri. Kita mudah menunjukkan kekurangan orang lain. Namun sulit menemukan hal-hal yang harus diperbaiki oleh diri sendiri. Padahal, guru kehidupan saya pernah mengingatkan bahwa Tuhan sangat marah kepada orang yang menyuruh orang lain berbuat baik, padahal dirinya sendiri terus menerus berkubang dalam keburukan. So, teman-teman, mungkin inilah saatnya untuk lebih banyak melihat kedalam diri sendiri. Dengan begitu, semoga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik, dari hari ke hari.
Mari Berbagi Semangat!
Post a Comment