Di sudut kantin sebuah kantor di kawasan Semanggi, tiga pria berdasi dan seorang wanita tampak asyik bertukar kata, "Caranya itu lo. Murahan banget, memanfaatkan kecantikan," celoteh si wanita. "Ya. Dia memang penjilat. Tapi sebagai anak baru, harusnya dia memperhitungkan juga kekuatan massif orang lama," sambar salah satu lelaki berdasi. Waduh-waduh, segitu sewotnya. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
Konon, karyawan yang tergolong "lingkar luar" elit kekuasaan di kantor, memang cenderung apriori dan ngobrol sinis seperti keempat "aktivis kantin" tadi. Sebaliknya, kalangan "lingkar dalam" justru memuji upaya bosnya sebagai contoh bentuk kepemimpinan yang berpengaruh, tim yang solid, atau penghargaan atas kinerja yang baik, strategi yang benar, taktik nan jitu, hubungan kerja akrab, hangat dan efektif, serta sederet pujian lain terhadap pimpinan.
Pengalaman praktis mengajarkan, politik kantor amat erat hubungannya dengan upaya seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kekuasaan melalui perolehan jabatan yang strategis dan "berpengaruh", atau kenikmatan hidup melalui perolehan monetary dan non-monetary, atau bahkan kelanggengan kekuasaan dan kenikmatan hidup.
Namun, tak seperti politik "dalam skala luas" yang dipenuhi politikus busuk, agitator, dan koruptor; politik kantor tak identik dengan cara-cara kotor.
Menjual Diri
Di kantor, kita mengenal
Kelima proses kerja itu adalah misi organisasi, sasaran utama, strategi, program-program kunci, serta anggaran (budget). Sedangkan untuk menjalankan
Nah, wilayah utama yang berpotensi menjadi sumber "politicking" adalah tiga dimensi pengaruh tersebut diatas. Di wilayah inilah terjadi tarik-menarik kepentingan, baik antardivisi, antarfungsi, bahkan antarmanusianya sendiri. Tarik menarik itu bahkan bisa juga terjadi di ruang rapat direksi, ketika masing-masing direktur atau kepala divisi mencoba "menjual" betapa penting divisinya. Bahkan, kadang terkesan menjual dirinya sendiri di depan presiden direktur dan para anggota direksi lainnya.
Ambil contoh kasus John (40 tahun, WNA, bukan nama sebenarnya), direktur IT (information technology) sebuah perusahaan swasta. Pagi itu dia berhasil menekankan pentingnya rasionalitas fungsi IT dalam melaksanakan modernisasi proses kerja, guna meraih efisiensi. Suaranya lantang, argumentasinya kuat, sehingga mampu mempengaruhi dewan direksi untuk mengubah struktur organisasi divisi lain, berikut sumber daya manusianya. Dia bahkan mampu menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi-posisi kunci.
Dari kacamata divisi IT, penguasaan teknologi harus dimanfaatkan untuk mengubab proses kerja. Namun, sang direktur IT pun sadar, perubahan ini membutuhkan dukungan dari presiden direktur dan anggota direksi lainnya. Peristiwa yang tampak normal ini menjadi potensial memasuki wilayah politik kantor ketika John lebih mengutamakan membangun pengaruh melalui "orang-orangnya" untuk melaksanakan perubahan di tingkat operasional, di luar divisi IT. Dia tidak menciptakan ownership perubahan tersebut diantara manajer operasional, tetapi tetap memegang kendali di lapangan.
Situasi makin buruk ketika ia menempatkan orang-orangnya pada posisi setingkat dengan kepala departemen fungsional di setiap wilayah operasional. Alhasil, tenaga-tenaga muda berbasis IT yang berpendidikan "lebih baik" dengan masa kerja relatif singkat, didudukkan "sederajat" dengan para manajer bagian yang usia dan "jam terbang" relatif terpaut minimal 15 tahun.
Menurut para manajer operasional, meskipun disadari IT adalah pendukung kapabilitas organisasi, namun pendekatan implementasi seperti yang digambarkan di atas justru memicu berbagai persepsi. Bagi divisi yang merasa tak memiliki perubahan melalui IT, akhirnya menganggap divisinya tak punya komitmen apapun,
sehingga diam-diam tak mendukung. Bahkan, sebagian manajer operasional berusaha menghambatnya.
Kendala Sosial Budaya
Aksi yang dilakukan oleh direktur IT tersebut menumbuhkan reaksi di jajaran operasional, berupa retaliasi (perlawanan)
masukan data tidak akurat. Integritas dan akurasi data menjadi "alat" ampuh untuk melumpuhkan "kekuasaan" teknologi.
Dengan kata lain, retaliasi pun terjadi dengan mengacaukan input data, sehingga kredibilitas IT terancam. Di bagian lain, retaliasi dilakukan dengan menjadikan out put yang tidak berkualitas sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan IT melakukan analisis data. Merasa terancam kredibilitasnya, sang direktur IT lalu
melakukan serangkaian serangan balik di ruang rapat direksi, dengan membeberkan ketidakberhasilan IT lebih disebabkan keterbatasan intelegensi jajaran operasional.
Dia juga menyarankan peremajaan organisasi, alias reorganisasi atau dengan istilah yang lebih "kasar", penggusuran beberapa manajer operasional. Bisa dibayangkan "panasnya" ruang rapat direksi yang sebenarnya ber-AC sangat dingin tersebut. Politisasi kantor mencapai eskalasi lebih tinggi ketika para direktur yang bertanggung jawab di bidang operasional - notabene orang-orang Indonesia - terusik rasa nasionalismenya ketika usulan "bule" tersebut disetujui presiden direktur yang juga "bule".
Sang direktur IT sendiri, dengan kelihaiannya berpolitik di kantor, mampu bertahan, bahkan memperkuat posisinya hingga bertahun-tahun kemudian. Apa kiat John, sehingga mampu bertahan dan menang? Secara teoritis, bisa disebut John telah berhasil membangun
Pertama, expertise. Keahliannya di bidang teknologi bisa digunakannya untuk menguasai orang lain dan melanggengkan posisinya, dengan memanfaatkan payung modernisasi dan profesionalisme.
Kedua, legitimate. Jabatan resmi dan absah merupakan sumber kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain. Dia memiliki "stempel" jabatan yang punya kewenangan untuk mengubah proses kerja, melakukan restrukturisasi, bahkan rasionalisasi organisasi. Selanjutnya, ia mampu menciptakan "wibawa", bahkan rasa takut akan adanya perubahan yang menimbulkan rasa ketergantungan orang lain pada dia. Namun, seperti juga expertise, tidak semua orang mampu memanfaatkan legitimate yang dipunyainya untuk memupuk kekuasaan melalui kewenangan yang dimilikinya.
Ketiga, coercive. Pendekatan yang keras, baik melalui pikiran maupun perilaku (kata-kata kasar) hisa dimanfaatkan untuk menguasai orang lain. Ia tidak ingin dirinya disebut "bintang film", ia siap tidak populer, bahkan ia siap dipersepsikan sebagai devil's advocate, atau sebagai sang diktator, sepanjang tujuan pribadinya tercapai. Namun lagi-lagi tidak semua orang bisa melakukan ini, karena umumnya bisa berbenturan dengan nilai-nilai dan budaya yang dianutnya.
Keempat, kharisma. Ia sadar Indonesia pernah dijajah 350 tahun oleh "orang bule", sehingga umumnya di hadapan "orang bule", kita menjadi sering kurang percaya diri. Situasi ini dia manfaatkan sebaik-baiknya dengan perilaku "superioritas" dan reference. Dia manfaatkan kedekatannya dengan presiden direktur dan para direktur asing lainnya (kedekatan budaya maupun teknis).
Pembangunan chemistry melalui serangkaian lobi-lobi pembangunan koalisi, komunikasi formal di kantor maupun informal di cafe (beer time after office hour) menghasilkan perolehan winning heart di antara para pembuat keputusan. Inilah juga yang menjadi salah satu titik lemah para profesional
Jadi, politisi yang baik memang harus punya skill tinggi.
Have a positive day!