Merenung begitu banyak kejahatan yang dilakukan tersistematis yang
dilakukan oleh orang-orang berdasi yang notabene adalah orang yang
berpenghasilan luar biasa, tetapi kenapa seorang yang berpenghasilan
banyak selalu berfikir untuk menambah lagi dan lagi, walau banyak
orang mengakui kebahagian tidak datang dari banyaknya harta yang di
miliki.
Kalau kita renungkan secara mendalam, semua kejahatan yang ada di
dunia ini berasal dari satu kata: keserakahan. Dan, akar keserakahan
adalah pada cara kita memandang hidup ini. Selama kita melihat diri
kita semata-mata makhluk fisik belaka, selama itu pula kita tak dapat
membendung keinginan kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Betapa banyaknya dalam kehidupan sehari-hari kita melihat orang yang
berpenghasilan biasa-biasa saja, tetapi memiliki harta yang luar biasa
banyaknya.
Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk merasionalkan hal itu.
Pertama, semua orang yang mendapat kesempatan pasti akan melakukannya.
Kedua, penghasilan yang saya dapatkan terlalu kecil dan tidak seimbang
dengan pengorbanan yang saya berikan. Ketiga, toh kekayaan yang saya
dapatkan tidak saya nikmati sendiri tetapi saya gunakan untuk membantu
anak yatim, membiayai orang tua dan saudara yang sedang sakit,
membangun sekolah, dan sebagainya. Dengan berbagai alasan tersebut
kita mendapatkan ''ketenangan sementara'' karena seolah-olah perbuatan
yang kita lakukan telah berubah menjadi legal, rasional atau paling
tidak dapat dimaklumi.
Namun, ketenangan semacam ini tidaklah langgeng. Pasti ada sesuatu
dalam diri kita yang kembali mengusik kita, membuat kita resah dan
gelisah. Perhatikanlah orang-orang yang hidup dengan cara ini. Mereka
sangat rentan terhadap perubahan yang sekecil apapun. Mereka sangat
jauh dari ketentraman yang sejati. Betapapun banyaknya harta yang
mereka kumpulkan tak akan pernah melahirkan perasaan cukup dan puas.
ada kisah menarik dari Willi Hoffsuemmer beliau pernah menulis kisah
tentang Smith dan guru kepala yang sedang berdiri dekat gelanggang
anak-anak, tempat anak-anak bersukaria sepuasnya. Smith bertanya
kepada guru kepala, "Mengapa terjadi bahwa setiap orang ingin bahagia,
namun sangat sedikit yang mengalaminya?" Sang guru kepala memandang ke
arah gelanggang anak-anak, lantas menjawab, "Anak-anak itu tampak
sungguh bahagia."
Dengan agak keheranan, Smith berkata, "Sudah tentu mereka bahagia
karena satu-satunya yang mereka lakukan adalah bermain." "Kamu benar,"
ucap sang guru, "tetapi apa yang sesungguhnya menghalangi kaum dewasa
berbahagia seperti itu juga dapat menghalangi anak-anak berbahagia."
Sang guru merogoh saku celananya, mengambil segenggam kepingan uang
logam, lantas menghamburkannya di tengah-tengah anak-anak yang sedang
bermain. Spontan saja semua sorak gembira terhenti. Anak-anak saling
menindih dan berkelahi untuk merebut kepingan uang tersebut.
Kemudian, guru kepala berkata kepada Smith, "Menurut kamu, hal apa
yang menyebabkan mereka mengakhiri kebahagiaan mereka?" Smith
menjawab, "Perkelahian!" Lanjut si guru, "Ya, tapi apa yang memicu dan
memacu perkelahian itu?" Agak tersipu-sipu dan ragu, Smith menjawab,
"Keserakahan." Guru itu menjawab, "Bagus, kamu telah menemukan jawaban
sendiri." (Diadaptasi dari Simon Filantropha, "Monster yang Memangsa
Diri Sendiri," Jawa Pos, Rabu, 2 Januari 2008).
Kita hidup dalam lingkungan yang serakah. Keserakahan itu ada di
mana-mana. Ia bagaikan wabah penyakit yang menyebar di mana-mana dan
ke mana-mana. Mengapa orang menjarah kepunyaan orang yang lain? Salah
satunya pasti karena ada keserakahan dalam hati. Mengapa orang menipu
untuk mengambil uang orang lain? Salah satunya adalah karena
keserakahan. Mengapa hubungan persaudaraan bisa runtuh ketika
menyentuh soal warisan? Salah satunya pasti karena keserakahan.
Nabi Muhammad SAW berkata : "Seandainya anak Adam memiliki satu lembah
emas, niscaya ingin memiliki lembah emas kedua ; seandainya ia
memiliki lembah emas kedua, ia ingin memiliki lembah emas yang ketiga.
Baru puas nafsu anak Adam kalau sudah masuk tanah. Dan Allah akan
menerima taubat orang yang mau kembali kepada-Nya." (hadis riwayat
:Bukhori Muslim)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keserakahan itu tidak ada
habisnya. Kelaparan dan kemiskinan terjadi karena adanya orang-orang
yang serakah menumpuk harta dan tidak mau membagi hartanya kepada
orang yang miskin.
Tak pantas kita hidup mewah dan mempromosikan kemewahan sementara
banyak orang miskin di sekeliling kita. Banyak anak-anak dan
balita-balita miskin yang berkeliaran di jalan untuk mencari makan.
Mereka bukan hanya menghadapi kemiskinan, tapi juga mendapat resiko
diperkosa oleh orang-orang dewasa. Harusnya dengan uang yang ada kita
membantu mereka ke luar dari kemiskinan sehingga tidak berkeliaran di
jalan mencari uang, tapi saat ini seperti semua orang berlomba mencari
harta yang banyak untuk di pamerkan ke lingkungan sekitar, sadarilah
keserakahan tidak akan membawa manfaat selain kehancuran dan
penderitaan yang tiadak
Meski kita tetap harus berusaha dalam hidup ini, namun biasakan hidup
merasa cukup dan selalu bersyukur niscaya anda akan bahagia. Orang
yang serakah dan tidak pernah merasa puas, selalu merasa ada yang
kurang dan tidak bahagia, keserakahan adalah awal dari sebuah
kejahatan yang lebih besar. Jadi hentikan keserakahan dan gaya hidup
mewah mulailah hidup sederhana dan rajin berbagi, untuk kehidupan kita
yang lebih baik, sekarang dan yang akan datang.
"Kebahagian bukan dari harta, melainkan dari hati yang menerima dan bersyukur"
Post a Comment