By Wahyudi Akbar
Di kelas NS – NLP Practitioner, kita mempelajari tentang berbagai tools NLP, diantaranya submodalities, swiss pattern, six steps reframing, time line, visual squash, meta model, dll.
Dan satu hal yang kita juga pelajari adalah presuppositions, dalam perjalanan saya mempelajari NLP dan mempraktekan NLP di kehidupan sehari, saya menemukan bahwa presuppositions di NLP dan NS sangat penting untuk kita pahami benar.
Presuppositions inilah yang mendasari setiap tools yang ada dalam NLP maupun Neuro-Semantics, seperti dalam dunia persilatan setiap jurus yang tercipta pasti ada filosofinya, dan begitu juga di NLP dari setiap tools yang kita praktekan ada filosofi atau presuppositions dibelakangnya. Dengan kita memahami presuppositionsnya saya yakin tools itu akan lebih gampang dijalani dan dipahami untuk dipraktekan.
Di dalam presuppositions juga merupakan wisdom dari NLP & NS itu sendiri, yang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, yang juga bisa kita jadikan prinsip dalam menjalani aktivitas kita dan dijadikan sebagai attitude kita.
Contoh paling mendasar adalah tentang “The Map is not the Territory” apa yang bisa kita pelajari dari presuppositions itu? Bagaimana kita mempraktekannya dalam keseharian kita? Bagian atau tools apa dari NLP yang bisa membantu saya dalam menerapkan prinsip itu?
Berikut saya lampirkan lagi presuppositions dari NLP:
1) Our map is not the territory, it is but a symbolic representation of the territory.
2) We all respond according to our map of reality, not reality.
3) The meaning of communication is the response you get.
4) There is no “failure,” only feedback of information.
5) The element in any system with the most flexibility will exercise the greatest influence. (Law of Requisite Variety)
6) Mind-body are part of the same system (the neuro-linguistic system) and influence each other in a circular way.
7) People are not broken; they work perfectly well.
People have all the resources they need; they just need to access, strengthen, and sequence them.
9) We can model excellence, and even genius, if we break the tasks and skills into small enough chunks. If someone can do something, then it’s a human possibility.
10) It’s always better to have choice, than the lack of choice.
11) We add choices in NLP, we don’t take choices away; people tend to make the best choices available.
12) When calibrating to a person’s reality when there’s incongruity, the highest quality information will be behavioral.
13) Since memory and imagination use the same neurological circuits as external sensory awareness, they can powerfully influence our development.
14) People are more than their actions, words, emotions, roles, etc.
15) Behind every behavior is a positive intention.
16) Resistance indicates the lack of rapport.
17) There’s an abundance of personal resources, plenty for all.
18) It’s never too late to have a happy childhood.
NEURO-SEMANTIC PRESUPPOSITIONS
Di Neuro-Semantics kami juga memiliki beberapa presuppositions:
1) Energy flows where attention goes as directed by intention.
2) If you get serious, you get stupid.
3) Because each of us create our own meanings about things, we are the meaning-makers who construct our own unique Matrix.
4) Indexing and referencing of class and a member of class level is vital in avoiding meta-confusions that bind us to create double-binds.
5) Questioning activates the Matrix and so is a most powerful communication skill of all.
6) Personal power and congruency comes from “applying to self” first.
7) Being gloriously fallible is the meta-state that inoculates from fear of failure, vulnerability, and mistakes.
There’s no sameness in the world, only change and processes.
9) To get the results we want we have to take action.
10) Productivity comes through closing the knowing-doing gap so that what we know in our mind can become part of muscle-memory.
11) Only sensory specific feedback is clean enough to be useful and only then if it’s requested.
12) The sanity line is drawn between responsibility to and responsibility for.
13) There are frames-by-inference in everything we think and say.
14) Where there is a frame, there’s a game; where there is a game, there’s a frame. It’s all about the inner game of our frames.
15) When you win the inner game, the outer game is a cinch.
16) Someone is always setting the frames; whoever sets the frame controls the game.
17) The name of the game is to name the game.
Saya teringat di salah satu acara NLP Talks yang diadakan oleh sobat pembelajar saya, Teddi Prasteya Yuliawan (Pengarang buku “The Art of Enjoying Life”) dia mengatakan di kantornya dia memajang/menuliskan presuppositions ini, jadi apabila lagi dalam keadaan unresourceful dia hanya perlu melihat presuppositions mana yang bisa dipergunakan dalam keadaan yang sedang dia hadapi.
Dalam salah satu training, Bu Mariani mengucapkan bahwa “NLP itu hanya tools, bahwa kita lah manusia yang hebat.” Dan terus waktu itu dalam pertemuan antar trainer yang diadakan oleh Bu Mariani, pak Stefanus Tamzil… mengatakan bahwa untuk kelas NLP Practitioner adalah tentang bagaimana “apply to self” dan itu juga menjadi value dari Neuro-Semantics yang juga tentang “apply to self”.
Point yang ingin saya sampaikan disini adalah, Janganlah hanya berpikir tentang bagaimana menjalani tools yang kita pelajari di kelas Practitioner, namun juga pelajarilah wisdom ataupun filosofi dibelakang setiap tools yang kita jalani, karena dengan itu akan membuat kita menjadi seorang Practitioner yang lebih ber-“attitude” – tentu attitude yang saya maksudkan disini adalah attitude yang sesuai dengan norma-norma kebaikan. Dan juga pesan dari Mind Provocateur – Om Prasetya M Brata yang menekankan pada NLP Attitude.
Post a Comment