Oleh: A.M. Lilik Agung
(dimuat di koran Bisnis Indonesia Minggu, 7 Nov 2010)
Dua professor kepemimpinan dari Santa Clara University USA, James Kouzes dan Barry Posner secara rutin meneliti karakteristik pemimpin yang disukai masyarakat. Inilah hasilnya sesuai urutan yang nyaris tidak pernah berubah semenjak tahun 1981 hingga sekarang; kejujuran, memiliki pandangan ke depan, inspiratif, kompetensi, berpikiran adil, selalu siap membantu bila diperlukan, berpikiran luas, cerdas, terus terang dan berani. Kejujuran menjadi jawara, mengalahkan faktor kompetensi, berpikiran luas dan kecerdasan.
Mengapa kejujuran? Seperti dituturkan oleh Kouzes dan Posner agar orang ketika mengikuti pemimpin dengan sukarela, apakah itu memasuki medan pertempuran atau memasuki ruang rapat birokrat, mereka mula-mula harus memastikan bahwa sang pemimpin layak mendapat kepercayaan mereka. Mereka ingin agar pemimpinnya tulus dan etis. Kejujuran merupakan jawabannya. Sekaligus dengan karakter jujur menandakan bahwa pemimpin benar-benar akan melakukan apa yang dikotbahkan sekaligus juga mengkotbahkan apa yang dilakukan. Utuh dan satu padunya perbuatan dan perkataan (lazim pula disebut integritas) menjadi tuntunan dari sang pemimpin dalam berkarya.
Kouzes dan Posner tidak hanya melakukan penelitian di Amerika saja. Mereka melangsungkan penelitian lintas negara, lintas geografis dan lintas jenis organisasi. Mengesampingkan warna kulit, menanggalkan cara menyebut nama Tuhan, menyingkirkan perbedaan paham politik. Semua tetap bermuara pada satu hal, kejujuran merupakan atribut kepemimpinan paling penting.
Pada jarak lima kilometer di bawah lava Gunung Merapi. Tinggal seorang sepuh dengan panggilan Mbah Maridjan. Sejak tahun 1970 diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX dengan nama baru Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi. (www.kompas.com, 27 Oktober 2010).
Tidak ada yang tahu secara persis titah Sultan HB IX kepada Mbah Maridjan ketika mendapat tanggung jawab sebagai juru kunci Gunung Merapi. Namun melihat cara Mbah Maridjan memperlakukan Gunung Merapi, titah tersebut tak lain menjaga Gunung Merapi apapun yang terjadi. Seperti layaknya prajurit yang pantang mundur ketika menghadapi peperangan – betapapun ganasnya peperangan tersebut – bagi Mbah Maridjan pantang meninggalkan Gunung Merapi. Terlebih bila Gunung Merapi tersebut sedang menunjukkan kegarangan. Meninggalkannya berarti disersi. Turun ke bawah mencari tempat aman tak lain lari dari tanggung jawab. Dan Mbah Maridjan memilih untuk tetap menjaga Gunung Merapi sampai awan panas melumat tubuh ringkihnya.
Benar, bahwa Kouzes dan Posner meneliti karakter pemimpin lintas negara, geogratis dan organisasi. Namun tidak terbayangkan apabila Kouzes dan Posner mendaki Gunung Merapi dan sejenak tinggal di Kinahrejo kemudian melakukan penelitian terhadap penduduk Kinahrejo menyoal kepemimpinan. Apalagi penelitian tersebut mengarah pada sosok juru kunci Gunung Merapi yang dianggap pemimpin informal penduduk setempat. Hebatnya, lantaran sosok Mbah Maridjan penelitian Kouzes dan Posner semakin mendapat legitimasi kuat. Kesetiaan Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kesetiaan warga dusun Kinahrejo terhadap dirinya. Bahkan ’kecerewetan’ media massa mengejar informasi dari beliau tak lain karena terpancar aura kuat yang muncul dari lubuk hatinya paling dalam. Aura itu bernama kejujuran.
Mbah Maridjan menjadi contoh paripurna menyoal kejujuran. Bagi pemberi titah, yaitu Sultan HB IX, Mbah Maridjan menjadi orang yang layak dipercaya. Prasyarat layak dipercaya ini menjadi landasan bagi Sultan HB IX untuk memberikan kepercayaan penuh padanya. Harmoni antara Gunung Merapi, alam raya dan manusia penghuninya menjadi tanggung jawab Mbah Maridjan. Tanpa memikirkan kekuasaan, apalagi berorientasi pada kekayaan, Mbah Maridjan menjalankan dengan sepenuh-penuhnya kepercayaan ini.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Maridjan ini mengamini investigasi Kouzes dan Posner tentang landasan utama kejujuran, yaitu kredibilitas. Pemimpin disebut jujur apabila dalam dirinya bersemayam roh bernama kredibilitas. Kredibilitas tak lain menyoal tentang bagaimana pemimpin mendapatkan kepercayaan dan keyakinan para pengikutnya. Ini tentang apa yang dituntut para pengikut dari pemimpin dan tindakan yang harus diambil oleh pemimpin supaya bisa mengintensifkan komitmen pengikut kepada cita-cita bersama.
Cita-cita bersama warga lereng Gunung Merapi – bahkan warga Indonesia – Gunung Merapi tidak meletus. Pun apabila meletus, memperlihatkan tanda-tanda sehingga seluruh warga lereng Gunung Merapi memiliki kesiapan untuk mengungsi sehingga korban dapat ditekan sampai tingkat paling minimal. Dalam konteks ini teknologi dapat mengendus perilaku Gunung Merapi. Hanya saja harmoni antara Gunung Merapi, alam raya dan warga sekitar tidak dapat digantikan oleh teknologi. Warga dan penguasa Gunung Merapi (dalam tradisi diwakili oleh Kraton Yogyakarta) memerlukan figur untuk menjaga harmoni ini. Figur ini tak lain Mbah Maridjan.
Secara formal, Mbah Maridjan mendapat ’surat keputusan’ (SK) sebagai juru kunci Gunung Merapi. Namun SK ini bisa menjadi kertas tulisan tanpa makna apabila sang penerima SK tidak memperlihatkan kredibilitasnya sebagai pengemban amanah. Respek warga lereng Merapi dan kepercayaan penuh Kraton Yogyakarta kepada Mbah Maridjan akibat dari kecerdasan beliau membangun kredibilitas. Mbah Maridjan tidak berperilaku fatalis. Tidak pula bertindak konyol. Gaya hidupnya yang bersahaja. Penuturannya yang santun. Cara berpikirnya yang melampaui rasionalitas. Semua bermuara pada satu hal: kredibilitas.
Dari dusun sunyi di bawah Gunung Merapi, Mbah Maridjan meninggalkan jejak menawan tentang hakikat seorang pemimpin. Pemimpin yang jujur dan menjaga kredibilitas. Karena dua faktor ini – kejujuran dan kredibilitas – yang akan menjadikan seseorang menjadi pemimpin yang mencerahkan. Sugeng tindak, Mbah Maridjan. Gusti Allah ora sare. Selamat jalan, Mbah Maridjan. Tuhan tidak tidur.
Post a Comment