Akhir-akhir ini semangat untuk menulis buku bermunculan dimana-mana. Tentu hal ini layak dipandang secara positif. Ini adalah pertanda bahwa masyarakat kita sedang bergerak menuju ke arah ‘mencerdaskan’ kehidupan bangsa. Bagi saya pribadi, menulis buku bukan semata-mata mencerdaskan bangsa, melainkan mencerdaskan diri sendiri. Sebab, dengan menulis buku justru saya bisa menasihati diri sendiri. Apakah Anda tertarik untuk menulis buku juga?
Sebelum memulai menulis buku, ada baiknya Anda mengenal beberapa hal penting yang dapat menghindarkan kita dari masalah yang tidak diharapkan di kemudian hari. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan copyright atau hak cipta dari karya orang lain. Mengapa demikian? Karena, tidak jarang penulis buku tergoda untuk mengambil nukilan, kutipan, atau penggalan kalimat dari karya tulis orang lain. Apakah hal ini boleh dilakukan? Tentu saja boleh jika Anda memerlukannya.
Tetapi kalau Anda melakukannya, maka perlu difahami terlebih dahulu bahwa setiap karya tulis orang lain dilindungi oleh undang-undang hak cipta (copy right). Baik itu tulisan yang dipublikasikan, maupun yang belum. Masa berlaku hak cipta adalah selama penulisnya masih hidup ditambah 50 tahun berikutnya. Misalnya, jika penulis meninggal dunia tahun 2010, maka hak ciptanya masih dijamin sampai tahun 2050. Artinya, kita tidak boleh sembarangan mengambil atau mengutipnya begitu saja. Hal ini dijamin oleh Undang-Undang.
Didalam dunia penulisan dan penerbitan, ada yang dikenal dengan istilah ‘fair use’. Kira-kira artinya adalah; kita boleh mengambil ‘beberapa kalimat’ dari tulisan orang lain tanpa harus minta ijin kepada penulisnya. Yang dimaksud ‘beberapa kalimat’ itu apa? Memang tidak jelas betul. Tetapi, tentu ada unsur-unsur kepantasan. Kalau sudah sepuluh kalimat misalnya, artinya ya bukan ‘beberapa kalimat’ lagi, bukan? Apalagi jika jumlahnya sampai ‘beberapa halaman’, itu sama sekali bukanlah kategori ‘fair use’.
Kalau Anda membaca kutipan dalam buku-buku yang ditulis oleh para penulis professional, Anda bisa melihat betapa mereka berbesar hati menyebutkan nama penulis aslinya. Bahkan sekalipun hanya mengutip satu atau dua kalimat saja. Artinya meskipun hanya satu atau dua kalimat yang Anda kutip, sepatutnya Anda sebutkan nama mereka setelah kalimat yang Anda ‘pinjam’ itu.
Sewaktu saya berdiskusi dengan salah satu penerbit di luar negeri untuk keperluan naskah saya, mereka mengatakan; “If you are in doubt, you’d better ask for permission from the author.” Jika Anda ragu, sebaiknya Anda minta ijin saja kepada penulis aslinya. Sedemikian hati-hatinya mereka dalam memperlakukan karya cipta seseorang.
Satu hal penting lain dari penggunaan ‘fair use’ adalah; kita sebagai penulis memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa pembaca buku atau karya tulis kita tetap bisa mengidentifikasi ‘mana kalimat kita sendiri’, dan ‘mana kalimat yang kita kutip dari orang lain’. Itulah sebabnya, sangat baik jika sebelum atau sesudah kutipan yang kita ambil langsung dicantumkan nama penulis aslinya. Misalnya, “Habis Gelap, Terbitlah Terang” (RA Kartini). Dengan begitu, pembaca tahu bahwa kalimat itu kita kutip dari karya Ibu RA Kartini, bukan hasil pemikiran kita sendiri. Contoh ini saya ambil untuk mudahnya saja. Di zaman ekarang, saya cukup sering melihat buku-buku yang kalimat-kalimatnya tidak orisinil. Tetapi, pembaca awam mengira bahwa kalimat itu merupakan karya orisinil sang penulis. Padahal, para penulis buku-buku itu mengambilnya dari sumber lain. Ini juga bukan bagian dari ‘fair use’, melainkan copyright infringement.
Banyak juga penulis, bahkan penerbit yang berkilah; “Saya sudah mencantumkan sumbernya di daftar pustaka, kok!”
Itu betul. Tetapi sekaligus keliru. Mengapa keliru? Karena kita membuat samar siapa penulis sebenarnya. Lihat saja buku-buku yang dijual di toko buku. Cukup banyak buku yang ditulis dengan cara ‘ambil sana, ambil sini’. Dalam daftar pustaka memang dituliskan buku-buku yang dikutipnya. Namun pembaca tidak tahu, bagian mana dari buku itu yang dikutip, dan kalimatnya seperti apa. Dalam dunia penulisan dan penerbitan yang bertata karma, hal itu bukanlah praktek yang baik.
Sekarang saya akan memberi Anda contoh bagaimana cara yang beretika dalam mengutip kalimat dari hasil karya orang lain. Pada halaman ke-79 dalam buku berjudul “Ketika Kuda, Semut dan Gajah Bekerja” yang saya tulis tertera kalimat berikut ini: “Mulailah dari apa yang pernah dikatakan oleh Christopher Morley;“The fellow who doesn’t need the boss, is often selected to be one”. Dalam kalimat yang saya kutip itu, jelas sekali siapa sebenarnya orang yang memiliki originalitas kalimat itu. Sehingga pembaca buku saya tahu dengan jelas dan terang benderang bahwa kalimat “The fellow who doesn’t need the boss, is often selected to be one” itu bukan karya original Dadang Kadarusman sebagai penulis buku “Ketika Kuda, Semut dan Gajah Bekerja”, melainkan kalimat yang ‘dikutip’ oleh Dadang dari seorang pemikir lain yang bernama Chritopher Morley.
Lho, itu
Apakah dengan ‘berterus terang’ seperti itu tidak akan menyebabkan kredibilitas saya sebagai penulis jadi jatuh? Saya yakin tidak. Justru orang semakin respek karena integritas kita yang tinggi. Malah sebaliknya, saya akan terhina sekali jika suatu saat nanti buku saya dibaca oleh seseorang yang tahu bahwa itu bukan kalimat saya. Dia pasti melecehkan saya sebagai tukang caplok pemikiran orang lain. Apa lagi seandainya yang membaca itu Pak Chritopher Morley sendiri. Bisa Anda bayangkan bagaimana jadinya, bukan?
Demikian ulasan singkat tentang istilah ‘fair use’ dalam dunia karya tulis dan penerbitan. Mudah-mudahan dapat menjadi referensi berharga bagi siapa saja yang ingin memulai kegiatannya sebagai penulis. Semoga dengan begitu kita juga bisa menghormati para pemikir dan penulis lain. Mulailah menulis, dan mulailah dengan kelapangan hati untuk menghargai karya tulis orang lain.
Dadang Kadarusman
Post a Comment