By Erni Julia Kok
Apakah Anda berkeberatan dengan judul di atas? Jika ya, ijinkan saya untuk menjelaskan maksud saya terlebih dahulu sementara Anda membaca terus. Sewaktu saya masuk sekolah dasar, ibu saya agak khawatir apakah saya yang masih berumur 7 tahun itu mampu mengurus diri sendiri, apalagi selama hidup saya tinggal di desa. Untuk amannya ibu saya “menitipkan” saya pada guru saya—ow…saya lupa nama beliau, meskipun imajinya masih utuh dalam benak saya. Beliau seorang perempuan berumur 30 an pada waktu itu. Berkulit putih dan cantik. Bila diurut-urut antara keluarga saya dari pihak ayah masih ada hubungan keluarga jauh dengan keluarga suaminya. Sekolah kami itu bekas sekolah Mandarin yang telah ditutup Orde Baru, maka letaknya pun satu kompleks dengan kelenteng dan lapangan basket. Konon beberapa pemain basket Nasional berasal dari kecamatan kecil ini dan mereka berlatih di lapangan tersebut. Hari-hari itu setiap sore sekelompok pemuda bermain di
Jawaban ya dari Bu Guru membuat ibu tenang dan beliau segera kembali ke Kota Pontianak. Namun ibu tidak pernah tahu bahwa hanya beberapa jam setelahnya, saya segera diabaikan beliau. Tentu saja. Bodoh sekali mengharapkan seorang single mother dengan dua orang putri yang sangat cantik, halus, terpelihara dengan baik untuk berbagi perhatian dengan seorang anak desa yang bau matahari dan keringat serta bertingkah laku liar. Dari rumahnya kami berjalan ke sekolah. Ibu Guru menggandeng kedua putrinya, satu dengan tangan kanan satunya lagi tangan kiri dan beliau memberi isyarat kepada saya dengan gerakan dagu untuk mengikutinya. Saya menyeringai kikuk dan berjalan di belakang mereka seperti anjing melipat ekor. Suatu perasaan asing menyelinap dalam dada saya. Perasaan tidak berada di tempat yang tepat, tidak bersama orang yang tepat dan tidak diterima. Perasaan-perasaan itu menyadarkan saya bahwa saya harus menjaga diri sendiri. Hari-hari berikutnya saya diam-diam berharap Ibu Guru menunjukkan di depan kelas bahwa kami saling mengenal, bahwa kami masih memiliki hubungan keluarga. Tetapi saya segera menyadari bahwa di kelas saya waktu itu ada keponakan almarhum suaminya. Tidak mendapatkan pengakuan beliau membuat saya selalu bertingkah laku aneh untuk menarik perhatiannya. Tentu saja yang saya dapatkan adalah sabetan rotan atau bentakan.
Dalam hal nilai pelajaran, saya bersaing ketat dengan seorang murid laki-laki…oh, saya lupa juga namanya, tapi saya ingin menyebutnya A Chung. Mungkin benar itu namanya. Hasil ulangan kenaikan kelas menunjukkan nilai Bahasa Indonesia kami sama-sama 10 dan matematika juga sama; 7. Untuk memutuskan siapa yang berhak jadi juara kelas Ibu Guru meminta kami berdua maju ke depan kelas. A Chung dan saya berbagi papan tulis dengan kapur tulis siap di tangan dan Ibu Guru membacakan soal matematika yang harus kami pecahkan.
Soal pertama hingga soal ketiga terjawab dengan benar dan kecepatan yang sama. Mengerjakan soal nomor empat yang lebih sulit dibandingkan tiga soal sebelumnya, saya mulai gatal untuk mencari perhatian. Saya mengerjakan soal itu sambil menggoyangkan pantat saya. Ibu Guru langsung naik pitam dan dengan penuh kekuasaan beliau menghentikan adu pintar tersebut. Kami diperintahkan berdiri menghadap kelas dan dengan lantang Ibu Guru berkata: “Kalian berdua memang sama-sama pintar, tapi karena Erni anak yang nakal, maka A Chung berhak menjadi juara kelas, dan Erni juara dua!” Dalam benak saya saat ini saya menyaksikan Ibu Guru mengangkat tangan kanan A Chung. Dan saya melihat A Chung tersenyum puas sambil melemparkan lirikan mata mengejek ke arah saya. Sekaligus saya heran bagaimana saya melalui semua masa sulit seperti itu dan menjadi orang seperti yang Anda kenal hari ini.
Jika saya mengenang semua ini, saya melihat seorang anak perempuan ceking, cengengesan berjalan sendirian menembus padang ilalang kehidupan. Ibu Guru yang sangat saya harapkan tidak tertarik menjadi pahlawan yang menyelamatkan saya. Sedangkan saya sendiri ikut mengacaukan kemungkinan itu. Saya hanya tidak tahu bagaimana menjadi seorang anak yang menjatuhkan cinta orang lain. Sejak hari itu saya selalu memandang enteng kejuaraan apapun. Semua prestasi diri menjadi suatu hal yang tawar. Sederhananya saya tidak tahu bagaimana berbangga hati. Sebenarnya apa yang perlu dilakukan Ibu Guru sangat sederhana, cukup beri penjelasan bahwa manner itu penting. Bahwa karena saya lalai memperlihatkan manner yang tepat, saya diberi pelajaran, bukan dihukum. Bahwa saya tetap seorang anak yang cerdas. Akan lebih baik di masa depan saya menjadi anak yang cerdas dan santun.
Kelas empat saya beruntung diajak Ibu tinggal bersamanya dan kakak tiri saya di Kota Pontianak. Di kelas empat pula saya menemukan guru-guru lain yang sangat sulit di sebut pahlawan tanpa tanda jasa. Pak Turangan merupakan salah-satunya. Penampilan beliau lebih mirip tentara bukan pendidik. Sering mengalami mood swing. Bila sedang bersenang hati beliau suka ngejoke yang agak-agak saru. Sebaliknya bila sedang ill feel beliau tidak segan-segan memukuli murid laki-laki. Beberapa bulan setelah memulai sekolah di SD Yayasan Pendidikan Kristen ini saya jatuh sakit. Janganlah berpikir terlalu jauh, saya menderita gejala awal tipus, bukan karena dipukuli Pak Turangan. Justru ketika dua minggu absen di kelas, seorang adik kelas dipukuli beliau. Menurut cerita teman-teman, anak ini begitu ketakutannya hingga ia bersembunyi di bawah meja tulis. Tapi Pak Turangan tak ada puasnya menghajar dia, tendangan-tendangannya mengejar hingga kaki meja ikut patah. Tidak ada keluhan dari orangtua murid tersebut. Barangkali juga akan sama saja jika hal yang seperti itu menimpa saya.
Pada waktu saya merasa lumayan sehat, saya segera masuk sekolah lagi. Hari itu Kamis. Pelajaran pertama berlalu tanpa kesan—buktinya saya tidak ingat pelajaran apa itu. Yang berkesan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya justru pelajaran matematika setelah jam istirahat. Tebak siapa gurunya? Ya, Pak Turangan. Mungkin beliau menyadari keabsenan saya selama ini, maka begitu masuk ke kelas beliau langsung menyuruh saya maju mengerjakan soal pekerjaan rumah di atas papan tulis. Tentu saja saya gelagapan bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air. Selama dua minggu saya terbaring tak berdaya. Badan masih lemah karena diet yang berlebihan—tidak makan daging sedikit pun selama sakit, saya memaksakan diri untuk masuk tanpa mengecek dengan teman-teman apakah ada pekerjaan rumah atau tidak. Rupanya Pak Turangan hari itu sedang bad mood, untungnya beliau tidak melayangkan tangan atau kaki, melainkan hanya membentak dan mengusir saya dari kelas.
Saya masih bisa melihat dengan mata mental saya, pintu bercat hijau muda yang tertutup dan anak perempuan kurus berambut keriting, berwajah pucat berpakaian seragam kemeja putih dan rok hitam yang sering diolok-olok anak-anak sekolah lain “tahi cecak”. Saya duduk termenung di depan kelas, memikirkan nasib dan masa depan saya. Suara Pak Turangan dengan logat Menado kentalnya teringan-ingan. “Jangan pernah kau masuk kelas matematikaku lagi!” Dicabut hak mengikuti pelajaran matematika tentu saja berarti tidak naik kelas. Tidak peduli sebagus apapun nilai-nilai mata pelajaran yang lain, kalau matematika nol berarti matimatilah. Kalau tidak naik kelas, ibu pasti akan melarang saya bersekolah selamanya. Bukannya ibu jahat, tetapi gaji ibu hanya tiga ribu rupiah pastilah berat menyisihkan tujuh ratus lima puluh rupiah untuk uang sekolah saya. Ibu juga belum mampu melihat apa sih gunanya sekolah? Ketika memasukkan saya di sekolah desa uang sekolahnya hanya 150 rupiah. Itu pun karena saya mengancam akan bunuh diri jika tidak disekolahkan.
Jadi sekarang tamatlah aku. Tamat dalam arti yang sebenarnya. Kalau saya tidak bersekolah, sudah besar nanti mau jadi apa?
Tetapi sesuatu yang bernama nasib sungguh tak misterius. Meskipun sekarang saya memahami nasib dapat dipengaruhi dengan berpikir positif atau mengirimkan pikiran positif ke Alam Semesta Agung dan Semestagung akan memantulkan kembali dengan energi positif berkali-kali lipat. Meskipun sekarang saya telah belajar dari guru saya Robert Dilts bahwa saya memiliki kecerdasan ketiga; kecerdasan field (medan) yang tercipta karena interaksi dengan sesama dan universal, saat itu saya hanya pasrah. Tahu-tahu Kamis itu menjadi hari terakhir Pak Turangan mengajar matematika. Dan khusus untuk kelas empat beliau digantikan oleh wali kelas kami, Pak Ali. Bisa Anda bayangkan betapa beruntungnya saya?
Sekali lagi usaha saya untuk mendapatkan pendidikan kembali ke jalurnya. Walau pun setiap bulan tanggal 15 dimarahi kakak dan dicemberuti ibu karena menghamburkan-hamburkan 750 rupiah, saya naik kelas sambil menggondol juara kelas. Pada waktu hal itu diumumkan, maka seperti yang dapat Anda duga, saya merasa biasa-biasa saja seperti ketika menjadi runner-up di kelas satu, juara di kelas dua dan runner-up lagi di kelas tiga. Dari persepsi praktisi NLP hari ini sebenarnya saya sangat menyayangkan tidak memanfaatkan momentum-momentum tersebut.
Pada usia menjelang 10 tahun, saya menjadi semakin aneh dan liar terutama di luar rumah. Sebagai akibatnya teman-teman memberi saya nick name “ah-siao”. Jangan tersenyum dulu. Itu hanya terdengar indah tapi bila dicecap rasanya asam. Sebab artinya adalah “si gila”. Nah, saya memang agak gila sejak dulu. Sayangnya tidak ada yang menghargai positive intention dari insanity semacam ini. Eh-hem, bukankah Albert Einstein pun agak gila? Abraham Lincoln gila benaran bahkan?! Pak Ali, wali kelas saya pada saat mengumumkan saya sebagai juara kelas tidak lupa membuat saya semakin terkenal sebagai orang gila. Dengan gayanya yang santai penuh canda, Pak Ali berkata:”Biar pun Erni Julia ini gila, tapi dia pintar luar biasa. Ayo, yang pada waras, kamu seharusnya belajar sama Erni.”
Saat ini sambil mengetik bagian ini saya melayang di atas timeline saya. Saya melihat seorang anak perempuan menjelang remaja yang canggung berusaha keras untuk tidak menunjukkan kegembiraannya. Ia bahkan menekuk wajahnya. Meleletkan lidah ke arah teman-temannya yang menyambut ucapan Pak Ali dengan teriakan mencemoh. Dari atas timeline saya mengirimkan energi playfulness. Nikmati momen itu, Erni. You’re blessed! Tuhan mencintaimu sejak dulu. Jika suatu waktu kau kehilangan semangat bergembira, kebebasan bereksperimen dan bercanda, kau bebas kembali ke masa lalu ini. Menggilalah dan so what gitu lho? Kamu spesial. Tak ada yang perlu disesali.
Terlanjur melayang di atas timeline saya singgah sejenak di suatu titik, hari pertama di kelas satu esempe. Entah pelajaran ke berapa dan itu tidak penting. Saya melihat Ibu Murni masuk kelas. Agak sulit melukiskan keadaan guru ini. Ia memiliki kelembutan seorang ibu, tapi kelembutan itu tercemar oleh berbagai problema kehidupan. Ia memiliki kecantikan seorang perempuan, tapi kecantikan itu terlilit benang-benang kusut berbagai kebutuhan materi. Ia tampak cerdas, tapi ia mengesampingkan kecerdasan itu sebab ia tahu toh tidak ada gunanya. Dari atas timeline saya dapat mengatakan neurological levels Bu Murni saling bertentangan.
Saya mengalihkan perhatian kepada younger self saya. Ia sangat bersemangat, sebab saat itu merupakan saat pertama kali dalam hidupnya belajar bahasa Inggris. Buku pelajarannya ia sampul dengan plastik berwarna hijau yang didaur ulang dari taplak meja bekas. Ia menatap Bu Murni penuh harapan bercampur galau. Ia tahu rata-rata teman sekelasnya sudah mengikuti les bahasa Inggris kecuali dirinya.
Saya melihat dari atas timeline Bu Murni meminta siswa-siswi membuka halaman tiga sambil berjuang mendamaikan konflik nilai pengabdiannya yang bertengkar dengan nilai uang, nilai kehidupan yang lebih baik, kenyamanan dan entah apa lagi. Suaranya terdengar malas-malasan sekaligus tidak bersahabat. Tidak ada senyum di wajahnya. Padahal kalau ia tersenyum pastilah akan mengendurkan ketegangan wajahnya, dan ia akan tampak cantik penuh keibuan, ah…ya, ia sedang hamil muda. Tapi Bu Murni yang terjebak dalam pertentangan nilai seperti itu menyuruh siswa-siswinya berdiri dan melafalkan satu kata dari daftar kosa kata tiga huruf. Semua berjalan lancar hingga…tiba younger self saya. Ia melihat tiga huruf itu c-o-w. Dalam hati ia mengeja: ce-o-we …ia belum tahu kalau w itu double “u” dan u dibunyikan seperti you. Ignorant dan innocent ia melafalkannya secara keliru. Dan itu meledakkan konflik internal Bu Murni. Nilai kenyamanan menonjok nilai pengabdian tepat di bawah dagunya. Nilai pengabdian terjengkang, “Ayo! Matilah kau nilai pengabdian! Kau kira aku sudi menderita demi uang tak seberapa ini, hah?! Lebih baik aku pulang dan tidur!”
Detik berikutnya nilai kenyamanan yang menang meloncat keluar dari mulut Bu Murni dan beliau berteriak:”Goblok! Itu bacanya cow bukan kau!”
Sekarang saya ingin bercerita kepada Anda dari posisi persepsi diri waktu itu. Saya mengalami banyak kesulitan selama 12 tahun pertama perjalanan saya di atas bumi ini. Saya sering menabrak pintu-pintu yang tertutup, dan saya berkata kepada diri saya, “Menyingkirlah dari depan pintu-pintu yang tertutup itu. Kau tak berhak!” Sebenarnya saya mendengar suara ibu, suara kakak kadang-kadang, bukan suara saya sebenarnya. Jadi saya menjauh. Saya berpura-pura tidak apa-apa. Saya pura-pura tidak peduli.
Namun sekolah adalah tempat yang selalu membuat saya betah. Sebab saya dapat melakukan hal-hal yang saya tahu persis bagaimana melakukannya. Sejak insiden diusir dari kelas oleh Pak Turangan, saya semakin menikmati bersekolah. Saya menikmati toleransi guru-guru ketika saya gaduh. Saya menikmati bila teman-teman saya yang pemalas “mengemis” minta contekan. Saya menikmati iri hati teman-teman yang sama-sama pintar dan persaingan menjadi juara kelas. Tapi saya tidak siap Bu Murni merendahkan saya di depan teman-teman baru yang belum mengenal siapa saya.
Dengan rasa terpanggang di kedua pipi saya melirik teman-teman sekelas sambil bertanya dalam hati: “Bagaimana aku menghapus malu ini? Bagaimana aku bangkit kembali tanpa terpelintir? Bagaimana aku harus bersikap terhadap bu Murni?” Perasaan saya berkecamuk. Saya ingin menyikapi peristiwa ini seperti halnya saya menyikapi pintu-pintu yang tertutup itu, tapi ini menyangkut sekolah, sesuatu yang benar-benar penting bagi saya. Sesuatu…bukan, bukan sesuatu melainkan satu-satunya pintu yang akan membukakan banyak pintu-pintu kesempatan di masa yang akan datang! Saya tidak bisa kehilangan pintu ini!
Rupanya Tuhan memang memberkati saya. Saya tidak perlu khawatir berlama-lama. Pada saat pelajaran Bahasa Inggris berikutnya yang masuk ke kelas bukan lagi Bu Murni, melainkan Pak Taufik.
Pak Taufik adalah tipe guru “yang penting tanda tangan hadir di kelas”. Perkara mengajar atau tidak itu urusan nomor sekian. Setiap kali masuk kelas, Pak Taufik akan menyuruh kami membaca sebuah cerita pendek lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk menguji apakah kami memahami apa yang kami baca. Dengan cara belajar seperti ini saya selalu A dan kemampuan pronunciation saya tersangkut di tingkat nol hingga 20 tahun lamanya. Bahkan 30 tahun setelahnya setiap kali akan menyebut kata “cow” saya harus mencari kesamaan nadanya dari lagu iklan produk susu…aku dan kau suka dancow…dan saya bunyikan “cow” dengan tepat. Berkat belajar dan mempraktekkan NLP akhirnya saya bisa membebaskan kemampuan saya yang terjebak di balik defend mechanism. Dan tentu saja saya saat ini mengenang Bu Murni tanpa rasa sakit hati.
Kalau Tuhan memberkati saya yang tidak sadar diberkati berkali-kali, tentunya Tuhan mau memberkati semua guru termasuk yang melakukan kesalahan-kesalahan. Sebenarnya tidak bisa disebut kesalahan sih. Setidaknya tidak ada seorang guru pun yang harus dipersalahkan jika murid-muridnya jadi pecundang. Setiap orang dengan caranya yang unik—sadar atau tidak—harus mempertanggungjawabkan buah-buah pikirannya, dan dengan demikian akibat dari padanya. Tuhan telah menanamkan citranya di dalam benak kita, dan dari sanalah pemikiran serta buah-buahnya mewujud
Post a Comment