Di pasar Atum, Surabaya saya bertemu seorang penjahit pakaian yang—menurut saya— memiliki mental seorang pemenang luar biasa kuatnya. Imam baru berumur 35 tahunan, namun telah mencapai sukses sebagai seorang penjahit pakaian profesional. Omzetnya ratusan juta perbulan bahkan pada bulan-bulan tertentu, misalnya menjelang Lebaran, dan awal tahun dapat mencapai lima ratus juta rupiah. Dari kiosk berukuran 5 x 5 meter tersebut, Imam dan beberapa penjahit profesional lainnya melayani pelanggan yang memunyai kebutuhan mulai dari permak—memendekkan kaki celana panjang—hingga memesan stelan jas dari bahan berkualitas tinggi. Peta geografi pelanggannya mulai dari pasar Atum sendiri hingga benua Afrika.
Suatu hari ketika sedang menunggu baju saya disiapkan, Imam bertutur tentang perjalanannya dari present state menuju desired state. Perjalanan yang tidak mudah, penuh ujian. Cerita yang sungguh menginspirasi, bahwa jika seseorang menginginkan kehidupan yang lebih baik, ia harus segera memulai, dan bila ia telah berada di jalan, serta berhadapan dengan segala tantangan, ia tidak melarikan diri atau membatalkan keinginannya lalu berbelok ke arah yang tidak diinginkan atau jalan ditempuh karena terpaksa.
"Tahun 2004 saya merencanakan membuka usaha di sini. Waktu itu sewanya dua puluh lima juta pertahun. Uang sewanya ya ada, tapi ya itu, ndak ada lagi sisa untuk beli kain, mesin jahit dan sebagainya. Saya lalu mendatangi kakak saya untuk meminjam uang bakal modal. Bukannya diberi pinjaman malah dikatai saya ini bodoh, kog mau-maunya buka kios di Pasar Atum, padahal kan bisa terus menerima jahitan di kampung saya [Mojokerto]. Bagaimana kalau merugi, bagaimana kalau nggak laku, anak istri mau diberi makan apa. Ditolak kakak yang satu, saya mendatangi kakak yang lain, eh, sama saja. Kali sudah nelpon-nelponan dulu supaya mencegah saya nekat."Begitu cerita Imam dan diakhiri tawa renyahnya.
Imam tidak menyerah. Apalagi istrinya juga mendukung. "Mudah-mudahan kita dapat arisan nanti." Imam menirukan ucapan istrinya. Dan harapan yang dikirimkan ke universal tersebut mendapatkan kabul. Mereka betul-betul mendapat arisan, maka masalah modal teratasi sudah. Namun, rencana pembukaan sempat tertunda beberapa waktu disebabkan pada saat itu istri Imam sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka.
"Nah, cerita bagaimana asal muasalnya usaha saya ini diberi nama Burhan Tailor…"
"Iya, gimana tuh asalnya dikasih nama Burhan, kog bukan Imam Tailor misalnya?" Tanya teman saya.
"Ceritanya, waktu itu saya sedang mengecat toko ini. Belum buka, tapi ada seorang ibu, orang di Mayjend Sungkono, Chinese ke sini minta dijahitkan pakaian. Karena masih mumet mencari nama, saya tanya saja ibu itu bagaimana kalau dikasih nama Burhan. Ibu itu diam agak lama, berpikir. Terus dia bilang itu nama yang bagus, ya, wis, maka dikasih nama Burhan Tailor." Burhan itu sebenarnya diambil dari nama putra pertamanya yang baru lahir, Muhammad Burhanudin. Teman-teman sesama penjahit segera mengusulkan supaya usaha tailornya itu diberi nama Burhan, sebab merupakan harapan baik yang hadir bersama seorang anak. Mendapat opini kedua dari seorang pelanggan, maka pastilah hati Imam menggunakan nama Burhan Tailor.
Belum lama Burhan Tailor berjalan, Imam mendapatkan seorang pelanggan yang memesan dijahitkan seragam. Jumlahnya besar sekali! Dengan uang muka yang diterimanya, mereka dapat membeli bahan-bahan. Setelah mendapat order pekerjaan jumlah besar itu, maka jejak kaki Burhan Tailor menjadi kokoh. Sambil menyelesaikan order besar itu, pelanggan individu mulai berdatangan meminta jasa mereka, mulai pekerjaan eceran seperti memendekkan celana panjang, permak hingga menjahit jas. Untuk sementara Imam boleh bernafas lega. Ia telah membuktikan bahwa ia bisa mengubah nasibnya dari seorang penjahit kampung menjadi penjahit yang sukses di kota Surabaya.
Namun perjalanan menuju puncak tidak selamanya lurus, mulus dan lancar. Hampir dapat dipastikan seorang pemenang harus menghadapi set-back—kemunduran sesaat. Imam ingat sekali waktu itu Tsunami baru saja melanda Aceh dan Kepulauan Nias, Desember 2004. Dan hingga beberapa bulan setelah tahun berganti menjadi 2005, pesanan sepi. Benar-benar sepi hingga Imam hanya mengandalkan uang tabungan untuk membiayai hidup.
"Buat saya dan keluarga sih masih bisa bertahan, tapi bagaimana dengan teman-teman penjahit yang lain? Kalau tidak ada orderan saya kan tidak bisa memberi gaji. Kalau diberhentikan ya kasihan. Pada saat-saat seperti itu saya sempat ingin melarikan diri, berbelok dari perjalanan saya, saya sampai ingin mutung (quit). Nah, saya itu sebelumnya pernah jualan es campur di depan sekolahan, pikir saya kenapa tidak beralih pekerjaan saja? Usaha tailor barangkali bukan jodoh saya, barangkali saya lebih cocok jualan es campur, tapi istri saya bilang begini sama saya, Pak, masak harus mulai dari nol lagi, kan jualan es juga harus mulai dari nol kan. Akhirnya ya juga sama-sama ndak tau kayak apa."
Perkataan sang istri mengembalikan semangat Imam untuk mencari jalan keluar. Ia mengumpulkan para penjahit yang bekerja di Burhan Tailor untuk membicarakan kondisi yang sedang mereka hadapi. Tak disangka, para penjahit setuju untuk dikurangi gajinya, istilahnya hanya dibayarkan uang makan saja. Mereka bersama-sama memutuskan untuk mempertahankan eksistensi Burhan Tailor.
Mendengar penuturan Imam, saya teringat kepada perjalanan para sukses yang telah sampai di puncak. Tidak selamanya, tidak semuanya berjalan lancar. Dan nyatalah hanya semangat pemenang sejati yang tetap bertahan untuk mencapai yang diinginkannya. Saya juga teringat ucapan seorang anak muda yang memiliki usaha waralaba es krim. Ketika ditanyakan padanya apa rahasia suksesnya mengembangkan usaha di usia muda, dan bagaimana memilih usaha yang cocok, dengan santai ia menjawab, "tidak ada usaha yang tidak cocok, jika kita sudah menerjuni satu bidang, tekuni saja, dan percaya suatu hari pasti sukses."
Kembali kepada Imam, di tengah krisis itu, pertolongan muncul dari negara tetangga yang masih muda—Timur Leste. Burhan Tailor diminta menjahitkan seragam pemerintahan, mulai dari menteri hingga pejabat setingkat eselon satu. Bahan kain yang diminta mahal-mahal harganya dan setelah dihitung, untuk membeli kain saja Imam membutuhkan 75 juta rupiah, padahal pelanggannya hanya bisa memberikan uang muka 45 juta rupiah. Meskipun tidak memiliki modal sebesar yang dibutuhkan, Imam tidak mau kehilangan kesempatan besar itu. Dengan membawa surat pemesanan atau surat kontrak, ia mendatangi satu toko kain besar di Pasar Atum, ia mengajukan pembelian kredit. "…dan ya, dikasih juga sama engko itu!"
Harapan kembali bersemi, bagaikan berlalunya musim kemarau panjang atau paceklik. Set-back tersebut mengajarkan Imam sebuah pelajaran yang berharga, bertahan dan setia pada cita-cita yang membesarkan. Memasuki usinya yang ketujuh, Burhan Tailor benar-benar telah mantap di posisinya. Di pusat perbelanjaan tertua Surabaya itu, Burhan Tailor telah dikenal sebagai penjahit yang melayani dengan baik, mutu jahitan yang bagus dan kepercayaan. Order terus berdatangan termasuk dari management Pasar Atum itu sendiri mempercayakan penjahitan seragam seluruh staf dan karyawan.
Pengalaman Imam menunjukkan kepada kita—terutama saya pribadi—bila kita memiliki sebuah gol yang besar dan benar-benar bertindak mencapainya, siap menghadapi tantangan, kesulitan dan berani cape, maka kita pasti berhasil. Sebab itu bertindaklah saja. Tak perlu menunggu terkumpulnya modal. Modal tidak melulu berupa uang yang sudah dipunyai, modal juga dapat berupa kepercayaan orang terhadap kita, yakni kejujuran dan pribadi yang dapat dipercaya. Tak perlu pula menunggu hingga terampil atau cukup ilmunya dulu, sebab sambil berjalan menuju desire state maka kita sangat siap untuk belajar dan bisa belajar dengan baik.
Ditulis oleh Erni Julia
Post a Comment