Saya pernah punya seorang kenalan, seorang konsultan hebat, pria yang berhasil. Ia telah mempunyai keluarga, istri yang cantik, anak-anak yang manis, dengan tingkat ekonomi yang sangat baik. Kesan itu saya tangkap dari beberapa foto keluarganya yang selalu dibawanya di dalam dompet. Kebetulan dia bukan orang Indonesia, dia seseorang yang pekerjaannya mengharuskannya pergi ke beberapa tempat di dunia.
Suatu hari ia berkata kepada saya, ”kamu tahu, kemarin ketika saya pulang, anak bungsu saya menangis. Istri saya bilang, anak saya itu takut pada saya, karena saya jarang dilihatnya sehingga ia tidak mengenali saya. Ya, sudah, karena capek, saya tidur saja..” Lalu teman saya itu tertawa. Saya cukup heran mengapa ia tertawa lepas. Kalimat yang baru diucapkannya itu adalah kabar yang tidak baik, menurut saya. Tapi tampaknya, itu hal yang lucu baginya...
Tidak tahan, saya bertanya,”kamu tidak sedih, anak bungsumu tidak mengenalimu sebagai ayahnya.” ”Tidak, tidak apa-apa. Kan, ada ibunya. Saya merasa saya sudah melakukan kewajiban saya, saya tidak bermain serong, saya pulang sebulan sekali selama 3 hari. Dan istri saya pun mengerti keadaan saya.” Lanjutnya tenang.
”Oh! Maaf, berarti hanya pola pikir saya saja yang berbeda. Saya hanya merasa aneh, jika kamu tidak merasa sedih, dianggap sebagai orang asing oleh anakmu. Melihat tadi kamu tertawa, saya heran tampaknya kamu merasa keadaan itu biasa-biasa saja bagimu.” Jawab saya.
”Saya seorang yang sangat hebat di dalam pekerjaan saya dan saya sangat mencintai pekerjaan saya. Sebenarnya, setiap pulang ke rumah, saya khawatir menjadi bodoh, karena saya merasa saya bodoh sebagai ayah. Saya tidak tahu bagaimana menjadi ayah yang baik. Dan itu membuat saya cemas. Untuk itulah saya percayakan perihal anak-anak saya kepada istri saya.” Jawabnya datar.
Saya menjawab, ”Anak-anak membutuhkan ayah yang hadir. Bisa secara fisik, bisa secara hati... Ada ayah-ayah yang sulit bertemu dengan anaknya, namun setiap bertemu, ia benar-benar menghabiskan waktu dengan anaknya dan selalu berusaha berbicara dengan anaknya melalui telepon jika tidak berjumpa. Itu artinya, hadir secara hati dan anak-anak tidak melupakannya begitu saja. Kamu tetap bisa jadi pekerja yang hebat dan dekat dengan anak-anakmu atau kamu bisa jadi pekerja yang hebat dan dilupakan bahkan dibenci oleh anak-anakmu. Pilihlah pilihan yang terbaik! Sebelum kamu benar-benar menjadi bodoh.”
Setengah tahun kemudian, saya mendengar, pria itu telah kembali ke negaranya dan menetap di sana... dan ia baru saja mendapat promosi ke jenjang yang lebih baik. Saya yakin ia telah memilih untuk menjadi ayah yang hadir...
-Yacinta Senduk
Post a Comment