Pada suatu kesempatan, penulis pernah menyaksikan simulasi bisnis di acara training para manager suatu perusahaan. Pada simulasi tersebut, setiap tim yang mengelola satu perusahaan diharapkan mampu menun- jukkan performance perusa- haan yang dikelolanya secara baik selama beberapa periode simulasi. Setiap tim terdiri dari beberapa orang dari berbagai latar belakang pendidikan, pengetahuan dan unit bisnis yang berbeda-beda (tetapi masih dalam satu group perusahaan). Jelas terlihat bahwa, selain harus mampu mengelola perusahaan yang digunakan dalam simulasi tersebut mereka juga dituntut harus mampu bekerjasama secara tim.
Ketika pertama kali dilakukan pembentukan kelompok, terlihat ada kelompok-kelompok yang senang dan ada juga kelompok-kelompok yang kecewa. Kelompok yang dikelompokkan dengan orang-orang yang cocok/serasi dan sudah saling kenal terlihat begitu senang. Sementara itu, kelompok yang dikelompokkan dengan orang-orang yang dirasa kurang cocok/serasi dan belum saling mengenal dengan baik terlihat diam, kecewa dan mengeluh-mengapa dikelompok-
Apa yang terjadi selama simulasi bisnis berlangsung? Kelompok yang di awal pembentukan kelompok merasa senang tadi ternyata terus ribut, berdebat tanpa mau saling mendengarkan pendapat rekan-rekannya satu tim. Pendapat rekan satu tim sering diremehkan dan bahkan sering dijadikan bahan lelucon di dalam kelompok. Beda halnya dengan kelompok yang tadinya kecewa. Meskipun sedikit kecewa, mereka terpaksa harus mengikuti simulasi dan tetap beranggotakan kelompok yang sudah ditentukan. Di awal simulasi, mereka mencoba untuk saling mengenal sesama anggota kelompok (bukan hanya sekedar kenal nama, tetapi sikap, perilaku dan trust). Pada awal simulai terlihat mereka mulai mencoba saling menyatukan nilai-nilai, saling menjaga perasaan, mau mendengarkan dan menghargai pendapat rekannya. Tidak ada yang mencoba untuk mendominasi pembicaraan. Apa yang terjadi di akhir simulasi? Kelompok yang tadi sempat merasa kecewa inilah yang menjadi pemenang. Apa yang menarik untuk diamati dari cerita di atas? Ternyata, suatu tim yang efektif bukanlah semata disebabkan oleh karena para anggota tim sudah saling mengenal dan cocok saja. Banyak faktor-faktor lain yang harus diperhatikan untuk dapat menghasilkan suatu tim yang efektif.
Di akhir sesi simulasi, penulis sempat berbincang-bincang dengan para peserta yang mayoritas adalah para manager dari suatu unit bisnis yang berbeda-beda. Dari hasil pembicaraan terdengar komentar “pada awal pembentukan kelompok, kami memang sudah pesimis untuk menjadi pemenang. Tetapi, tanpa disadari, secara alamiah kami merasakan ada suatu kelemahan di tim kami yaitu belum saling mengenal dengan baik diantara sesama anggota tim dan merasa disepelekan oleh tim lain. Dari situasi ini, muncullah sikap dan perilaku kami yang saling menghargai dan mendengar-
Tim yang efektif bukanlah sekedar persoalan saling kenal dan bisa ha-ha-hi-hi. Tim yang efektif membutuhkan saling pengertian, saling menghargai pendapat orang lain. Mengurangi dominasi dalam tim dan sadar akan kelemahan dan keterbatasan masing-masing. Kesadaran akan kelemahan-kelemahan ini kemudian memunculkan semangat kesa- tuan; merasa senasib dan sepenanggungan. Saling menguatkan, bukannya saling memojokkan apalagi mener- tawakan pendapat rekannya (karena merasa sudah akrab).
Dalam kerjasama tim, perhatian juga bukan semata-mata berkaitan dengan persoalan perhitungan angka-angka yang akan diselesaikan/dipecahkan. Lebih dari itu, kerjasama tim membutuhkan perhatian terhadap sisi-sisi hubungan antar manusia di antara anggota tim yang ada. Tanpa hal ini, makayang sering muncul adalah perdebatan destruktif, beradu pengetahuan, pengalaman dan pendidikan. Jika ini yang terjadi, bukannya masalah akan terselesaikan dengan baik, justru akan membuat masalah semakin sulit. Dampaknya lebih jauh adalah rusaknya hubungan yang selama ini sudah akrab dan harmonis.
Hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kejasama tim adalah suatu tim sering terkecoh dengan pesaing-pesaing yang ada di luar timnya. Pikiran dan fokus lebih sering ditujukan pada menyalahkan, memusuhi dan menghancurkan pesaing. Aktivitas pesaing sering menjadi momok yang menakutkan dan membuat tim kita sendiri seperti orang “kebakaran jenggot”. Padahal, visi dan misi masing-masing tim belum tentu sama. Bahkan, tidak selamanya pesaing di luar sana adalah benar-benar pesaing, bahkan sebenarnya kita bisa bersinergi dan bekerjasama untuk mendapatkan win-win situation. Kesalahan yang juga sering terjadi pada suatu tim adalah bukannya berusaha untuk membenahi diri, memperkuat diri dari dalam tim dan fokus dengan tujuan tim, tetapi asyik sibuk untuk mengalahkan kelompok lain. Mereka lupa bahwa dengan memperbaiki diri/tim dari dalam akan berdampak besar pada daya saing tim itu sendiri.
Herdianto Purba
Post a Comment