A.M. Lilik Agung
Senja mulai beranjak petang. Matahari tenggelam untuk berganti malam. Sang maestro bisnis, William Soeryadjaya duduk dikelilingi para direktur Astra International. Mendung menyelimuti wajah Oom William – panggilan akrab William Soeryadjaya. Syahdan salah satu anaknya Edward Soeryadjaya sedang dirundung malang. Bank Summa yang dipimpin oleh Edward mengalami guncangan maha hebat, menanggung hutang lebih dari US$ 800 million. Hanya dua pilihan yang dimiliki Edward; menyelesaikan hutang itu atau masuk penjara. Sementara menyelesaikan hutang jelas merupakan kemustahilan bagi Edward ditengah kondisi pengetatan uang (tight money policy) pada masa itu.
"Secara hukum Oom tidak bertanggung jawab atas tindakan Edward. Oom bisa lepas tangan," kata beberapa petinggi Astra. Namun sebuah jawaban luar biasa muncul dari hati paling dalam Oom William. Benar bahwa Bank Summa adalah bisnis milik Edward. Namun bagaimanapun juga Edward adalah anaknya. Oleh karenanya Oom William bertanggung jawab terhadap segala tindakan Edward. Walaupun harga yang dibayar terlampau mahal. Pada awal tahun 1992 keluarga Soeryadjaya memiliki 75,86% saham dengan kapitalisasi US$ 1,2 billion. Namun di bulan November pada tahun yang sama, keluarga Soeryadjaya menjual 40 milyar sahamnya untuk menutup hutang Bank Summa. Alhasil keluarga Soeryadjaya kehilangan kontrol atas Astra International.
Sebagai pemimpin, Oom William sudah menunjukkan karakter moral nan luar biasa. Walaupun semua tindakan Edward dalam berbisnis bukan merupakan tanggung jawabnya, namun sebagai ayah Oom William berani menanggung semua resiko yang dialami Edward. Inilah sikap moral pemimpin yang semakin sayup-sayup muncul dari para pemimpin di republik ini. Entah itu yang bermain di ranah politik, sosial ataupun bisnis.
Karakter Moral
Kebaikan pemimpin pada dasarnya muncul dari karakter moral yang berwujud pada sikap. Kebaikan dibangun dari sikap-sikap sang pemimpin baik pada masa lalu maupun era sekarang dimana saat ini masih memimpin. Kebaikan memerlukan sikap konsistensi, kooperatif, legowo bahkan kompetensi. Memperbincangkan tentang karakter moral pemimpin menarik mengikuti pendapat Mortine J Adler, filsuf pendidikan dari Amerika.
Kita ulas dulu karakter moral Oom William menyoal logos. Tak salah kalau kita membicarakan bisnis di tanah air, Astra International menjadi garda depannya. Baik itu menyoal seluruh operasional perusahaan yang berujung pada keuntungan, pengembangan manusia (karyawan) menjadi unggul di bidangnya hingga tanggung jawab sosial terhadap lingkungannya. Hampir semua kajian-kajian manajemen kontemporer, Astra menjadi narasumber pertamanya. Entah itu berbicara menyoal kualitas, pelayanan hingga yang paling mutakhir bernama Six Sigma, Balance Score Card, Human Capital Competencies. Selalu Astra menjadi benchmarking di bidangnya.
Hal demikian jelas muncul karena faktor pemimpinnya, dalam hal ini Oom William. Tanpa harus direkayasa, Oom William menjalankan dengan sempurna karakter moral bernama logos. Kecerdasan intelektual dengan berkawan bersama konsep-konsep manajemen kontemporer akhirnya menjadi keunggulan kompetitif yang dimiliki Astra International dibanding dengan para pesaingnya.
Karakter moral berikut bernama pathos. Memimpin dengan ratusan anak perusahaan dengan ribuan karyawan, disamping diperlukan sistem-sistem modern, tidak kalah penting adalah kecerdasan emosi dari sang pemimpin dalam menahkhodai bisnisnya. Oleh pakar kepemimpinan Ken Blanchard, pathos ini diterjemahkan dalam dua bahasa sederhana; kepercayaan dan pujian. Sang pemimpin harus memberi kepercayaan kepada para konstituennya untuk mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sementara sang pemimpin tidak pelit untuk memberikan pujian kepada konstituennya yang secara gemilang menyelesaikan tanggung jawabnya.
Apa yang dilakukan oleh Oom William selama membesarkan Astra International hakekatnya menjalankan pemikiran Ken Blanchard. Tampuk kepemimpinan yang diberikan kepada TP Rachmat beserta tim dan Oom William 'hanya' menjadi komisaris membuktikan bagaimana beliau mempraktikkan kepercayaan. Hingga sekarang sehabis TP Rachmat diganti oleh Budi Setiadharma dan diteruskan oleh Michael Ruslim menunjukkan warisan 'kepercayaan' dan 'pujian' yang dijalankan oleh Oom William berjalan nyaris sempurna.
Karakter moral ketiga disebut dengan ethos. Ethos selalu bersinggungan dengan ranah spiritual. Pemimpin yang menjalankan praktik spiritual tidak sekedar berhenti pada dataran konsep semata. Lebih penting adalah praktik. Selama Astra International beroperasi di tanah air, nyaris tidak pernah terdengar praktik-praktik miring yang dilakukan oleh manajemen Astra. Manajemen Astra dengan model peran Oom William percaya bahwa Astra adalah berkah dari Tuhan dan karenanya Astra mempunyai kewajiban mengembalikan kepada masyarakat luas dalam bentuk penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya.
Alhasil Astra International mempunyai falsafah perusahaan yang sangat spiritual: (1) menjadi milik yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, (2) menjadi pelayanan terbaik kepada pelanggan, (3) menghargai individu dan membina kerjasama, (4) senantiasa berusaha mencapai yang terbaik. Itulah The Astra Way. Dengan pelopornya William Soeryadjaya.
lilik@highleap.
Post a Comment