Oleh: Makmur Keliat
Penulis sangat setuju dengan tulisan Julian Aldrin Pasha (Kompas, 25/8). Tidak ada keraguan apa pun dari penulis, SBY adalah pemimpin politik yang sangat konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya. Ia adalah pemimpin yang memiliki karakter tersendiri.
Pilihan kata yang diungkapkan dalam berbagai pidato dan ucapannya menujukkan karakter dan kualitas kecerdasan yang istimewa (extraordinary). Namun terlalu tingggi harapan itu. Kehati-hatian dalam mengambil keputusan, mungkin tidak akan pernah bisa berubah hingga 2014.
Ini tidak berarti pemimpin lain yang telah memiliki
Kondisi struktural
Bagi penulis, persoalan sebenarnya bukanlah pada karakter pemimpin yang dimiliki negeri ini. Yang jauh lebih penting untuk menjelaskan mengapa harapan tinggi yang dimunculkan pada awal reformasi kini seakan hilang ditelan kegelapan malam harusnya dijelaskan dari adanya empat faktor struktural yang sampai sekarang terus berlangsung. Pertama, tidak terdapatnya monopoli negara dalam menggunaan kekerasan maupun monopoli dalam pemungutan pajak. Dalam monopoli kekerasan, misalnya, kita bisa melihat dengan mata telanjang adanya kelompok-kelompok yang bukan mewakili negara, melainkan telah menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Kita juga bisa melihat munculnya keamanan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan, misalnya melalui kehadiran satuan pemelihara keamanan di perumahan-perumahan kalangan atas.
Demikian juga hanya, negara belum mampu melakukan monopoli dalam pemungutan pajak. Penggelapan pajak yang merugikan negara terjadi di negeri ini terpampang jelas di hadapan kita. Pada lapisan atas, pungutan pajak secara gelap itu ditunjukkan oleh kasus Gayus dan di lapisan bawah diperlihatkan dari pungutan-pungutan tidak resmi oleh para preman dan centeng di sejumlah tempat, pasar, dan jalan.
Kedua, konstitusi yang kita miliki belum menunjukkan bahwa negeri ini memiliki kedaulatan sepenuhnya. Walau sudah memiliki perayaan Hari Konstitusi, negeri ini hanya memiliki sebatas kedaulatan hukum (legal sovereignty), tetapi belum mampu menggunakan kedaulatan hukum itu untuk mewujudkan kedaulatan material bagi penduduk negeri ini. "Pencurian" terus terjadi terhadap sumber alam negeri ini, baik berupa barang tambang dan mineral di daratan maupun sumber alam hayati di wilayah laut. Pencurian itu telah dilakukan baik secara ilegal, seperti kasus yang baru saja terjadi di perbatasan laut dengan Malaysia, maupun yang kita rasakan sebagai sesuatu yang "dilegalkan" dan "diinstitusionalisasikan" dengan menandatangani kesepakatan dengan pihak asing melalui pemberian konsesi pertambangan selama puluhan tahun.
Ketiga, demokrasi yang kita kembangkan telah dibangun tanpa sekumpulan nilai yang perlu diawetkan dan terus diperjuangkan. Demokrasi kita adalah demokrasi mirip seperti yang dilakukan Berlusconi di Italia. Dalam
Keempat, badan-badan usaha negara dianggap menjadi parasit dan kebijakan swastanisasi, apakah dilaksanakan secara parsial maupun keseluruhan, dipandang sebagai "jembatan emas" menuju kesejahteraan. Beberapa contoh untuk ini misalnya terdapat unit usaha dari rumah sakit publik yang dikelola secara swasta dengan bayaran yang lebih mahal, hadirnya jenjang-jenjang khusus dan label "internasional" di perguruan tinggi negeri dengan biaya pendidikan yang tentu saja lebih mahal, dan munculnya perusahaan pasokan air untuk kebutuhan publik yang dijalankan oleh swasta. Kebijakan seperti ini tentu saja telah melupakan dua fakta. Fakta pertama, motif untuk pengelolaan badan usaha negara bukanlah karena efisiensi, melainkan karena adanya kesadaran bahwa kekuasaan ekonomi dapat dengan mudah diubah menjadi kekuasaan politik. Fakta kedua, badan usaha publik adalah wajah kongkrit dari kehadiran negara, yang menghubungkan para elite politik dengan rakyatnya. Dua fakta ini dihilangkan secara sengaja dari kebijakan swastanisasi.
Bukan konsistensi
Empat kondisi struktural inilah yang telah melanda
Pembalikan itu hanya dapat dilakukan jika negara diperkuat. Tanpa penguatan negara, semua empat kecenderungan itu akan menggerus otoritas negara. Karena itu, pemikiran neoliberal yang mendambakan negara yang minimalis, atau dalam istilah Philipp Bobbit (2002) sebagai negara yang mengabdi kepada pasar (market-state), bukanlah jawaban untuk memecahkan empat kondisi struktural itu. Bahkan neoliberal itu, seperti yang dikatakan Erhard Eppler (2009), merupakan ibu yang telah melahirkan empat kecenderungan tersebut. Karena itu pula, persoalan yang kita hadapi tidak digeser pada isu karakter presiden negeri ini, sebagai misal adalah dirinya memiliki konsistensi atau tidak.
Bagi penulis dan mungkin juga banyak yang akan sepakat, kebesaran dari pemimpin negeri ini akan dicatat dalam sejarah kalau dia dapat melawan secara faktual empat kecenderungan di atas. Jika tidak, ia nantinya hanyalah bagian dari catatan kaki sejarah. Ringkasnya, kecerdasan verbal semata yang dimiliki seorang pemimpin politik bukanlah modal yang cukup untuk dikenang sebagai pembuat sejarah. [Makmur Keliat, Pengajar FISIP, Universitas
---------
Apakah para pemimpin kita ingin membuat sejarah bagi kebaikan dan kemajuan Indonesia? Tentu saja ingin dan pasti ingin berusaha keras, jawabannya. Ataukah sejarah mencatat bahwa mereka hanya untuk melestarikan kecenderungan neoliberalisme dan keempat kecenderungan masalah2 di atas terus-menerus menggerus? Fakta dan sejarahlah yang akan terus berbicara.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
Best Regards,
Retno Kintoko
Post a Comment