Oleh: Djohan Effendi
Belum lama ini media massa memberitakan polah politisi muda bangsa kita yang bisa membuat kita geleng kepala.
Yang pertama, petinggi Partai Amanat Nasional konon meminta agar pesawat Garuda yang sudah mengudara turun kembali menjemput sang politisi yang bergegas menghadiri acara buka bersama di Puri Cikeas. Yang kedua, petinggi Partai Demokrat terlambat datang ke bandara, membuat penerbangan tertunda beberapa saat.
Peristiwa ini mungkin saja dianggap kecil, tetapi jelas bukan peristiwa biasa. Jadwal penerbangan berubah dan kepentingan penumpang terganggu akibat kelalaian sang politisi yang tidak tepat waktu. Menunggu bukanlah hal yang menyenangkan. Sebuah fenomena yang menggambarkan kemanjaan politisi kita.
Wacana lain yang menambah kesebalan khalayak masyarakat terhadap politisi kita adalah kegemaran studi banding ke luar negeri. Saat ini kita dihebohkan acara studi banding tentang kepramukaan oleh sejumlah anggota DPR. Nalar kita tidak bisa menangkap kepentingan studi banding itu. Aneh bin ajaib, di era informasi dengan sarana-sarana komunikasi yang makin canggih, politisi kita masih merasa perlu studi banding dengan tatap muka.
Apakah para anggota DPR menganggap masyarakat kita begitu dungu sehingga percaya begitu saja alasan mereka? Kehadiran pramuka bukan hal baru di negeri kita. Bangsa kita sudah mengenalnya sejak zaman penjajahan dulu. Berbagai organisasi, bahkan partai politik, memiliki kegiatan yang dikenal sebagai kepanduan. Berbagai organisasi pergerakan merupakan lembaga kepanduan, seperti Hizbul Wathan, Suryawirawan, Natipij, dan Anshor. Di zaman Orde Lama kemudian dipersatukan menjadi Gerakan Pramuka.
Berbagai gagasan juga muncul berkaitan dengan DPR kita: rumah aspirasi dan gedung baru yang mewah. Sebelumnya kita juga mendengar tentang pengadaan komputer untuk anggota DPR dengan anggaran negara. Sukar dibayangkan peralatan modern vital seperti komputer tak dimiliki anggota DPR di masa kini yang karena fungsi dan pekerjaannya perlu informasi cepat dan kaya. Dengan pendapatan mereka yang cukup besar, komputer bukan barang yang tak terjangkau.
Tentu masih banyak perilaku sebagian politisi kita menunjukkan budaya manja dan mumpung. Sikap-sikap yang sangat tidak elok yang membuat hati kita terusik. Dibandingkan dengan perikehidupan para pendahulu kita, perbedaan tingkah laku kebanyakan politisi kita saat ini sangat mencolok bagaikan langit dan bumi.
Tidak mau menyulitkan rakyat
Para pendahulu kita umumnya para politisi idialis yang berjuang karena dorongan idialisme kerakyatan. Kehidupan mereka jauh dari kemewahan. Integritas moral adalah moidal pengabdian mereka sebagai politisi. Dalam situasi langka teladan dan panutan di kalangan tokoh masyarakat saat ini, menampilkan kembali para pemimpin bangsa di masa lalu agaknya sangat diperlukan dan bermanfaat.
Berbagai kisah dan anekdot yang tidak dibuat-buat sekedar untuk menunjukkan citra positif mestinya memberikan inspirasi dan pelajaran bagi tokoh publik dalam masyarakat kita. Misalnya, pernah muncul dalam berita ketika sang proklamator dan mantan wakil presiden kita, almarhum Bung Hatta menyelenggarakan selamatan perkawinan putri pertama, Meutia Hatta. Acara diselenggarakan di rumah beliau di Jalan Diponegoro. Karena termasuk jalan sibuk, ada yang menyarankan agar ruas jalan itu ditutup sementara supaya acara tidak terganggu bunyi kendaraan lewat. Dengan tegas Bung Hatta menolak karena tak ingin mengorbankan kepentingan orang banyak. Begitulah sikap pemimpin rakyat tulen, seorang guru bangsa yang semestinya diteladani dan ditiru.
KH Agus Salim adalah seorang guru bangsa yang teguh memelihara semangat kerakyatan, suhu dari banyak pejuang dan pemimpin bangsa kita, yang oleh Bung Karno dijuluki "The Grand Old Man". Sesepuh agung ini pernah menjadi anggota Volksraad, dewan rakyat yang dibentuk Hindia Belanda. Penunjukan ini berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin Syarikat Islam, partai politik yang besar pengaruh dan banyak anggotanya. Kalau kepergian, beliau selalu naik kereta api kelas 3. ketika ditanya mengapa selalu naik kereta api kelas 3, dengan enteng beliau menjawab, "Karena tidak ada kelas 4".
Guru bangsa lain dalam pergerakan nasional adalah H Umar Said Cokroaminoto. Beliau juga guru dari tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan seperti Bung Karno, Semaun, Alimin, Muso dan Kartosuwiryo. Seorang pemimpin tertinggi Syarikat Islam yang mendapat julukan "The Uncrowned King of Java", raja Jawa yang tidak bermahkota. Beliau juga pernah menjadi anggota Volksraad. Menurut cerita Natsir, kalau bepergian, Cokroaminoto selalu membawa tempat duduk lipat karena sering tidak dapat tempat duduk. Mereka memilih berada bersama rakyat banyak, ridak di tempat istimewa yang terpisah dari masyarakat rendah. Pemimpin rakyat sejati selalu berada di tengah rakyat.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an kita tidak mendengar keluhan masyarakat tentang kemalasan para anggota parlemen kita, padahal fasilitas yang mereka dapatkan sangat sederhana. Mereka tidak melalikan tugas utama mereka selaku wakil rakyat. Mereka paham dan menghayati kewajiban kenegaraan mereka dan tidak merasa perlu jalan-jalan ke negara-negara lain atas nama studi banding. Bangsa kita saat itu tidak pernah menyakdikan kursi kosong, anggota Dewan yang tidur, atau mengobrol sendiri.
Bukan tokoh karbitan
Kesederhanaan tampak nyata dari penampilan mereka. Pakaian tak beda dengan rakyat kebanyakan. Rumahpun tidak mewah dan terbuka bagi rakyat yang ingin menemui dan menyampaikan aspirasi. Mereka hidup apa adanya dan justru dari kesederhanaan itu mereka berwibawa dan disegani. Karena integritas moral terjaga, mereka dipercaya dan untuk dipilih tak perlu politik uang. Mereka tidak perlu tim sukses, tim hore, dan berbagai tim lain karena itu tak hanya menggambarkan ketidakpercayaan diri, tetapi juga mencerminkan nafsu kuasa yang kalau perlu menghalalkan segala cara. Hal ini kita saksikan dalam pemilu tahun 1955.
Sangat menyedihkan, apa yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah sebuah gambaran betapa kebanyakan politisi kita bukan tokoh publik idealis yang mempunyai integritas moral. Yang kita saksikan adalah sikap serakah yang tidak punya rasa malu. Akhirnya, ada baiknya kita mengingat kembali peringatan salah seorang pendiri negara ini, almarhum Sutarjo Kartohadikusumo, ketika memberikan tanggapan atas pidato lahirnya Pancasila yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Beliau mengingatkan kepada calon pemegang pemerintahan negara yang akan lahir "supaya suka memelihara kemerdekaan batin, yaitu merdeka terhadap hawa nafsunya sendiri". Peringatan sekaligus kekhawatiran. Dan, kekhawatiran pendahulu kita itu kini merupakan kenyataan.
[Djohan Effendi, Aktivis Lintas Agama dan Kepercayaan, Kompas, 22/9/2010.]
--------
Bagaimana para politisi, wakil rakyat, pejabat pemerintah, pemegang pemerintahan kita sekarang? Bukankah zaman memang sudah jauh berubah? Kehidupan, mental dan moral pun juga berubah? Namun, sedemikian jauh kah jalan 'kebablasan' yang sudah ditempuh para politisi dan birokrat negeri ini? Bila demikian terus terjadi, maka lapang dan lebarlah jalan menuju jurang kegagalan negara, sekaligus akan menuju kegelapan dan kebinasaan bagi generasi Indonesia yang akan datang yang merindukan tokoh dan para teladan.
Semestinya para wakil rakyat, anggota Dewan berjuang bagaimana pertanian, peternakan dan perikanan rakyat terus digali, didorong dan diperjuangkan produktifitasnya, dengan memikirkan dan memacu kebijakan2 pemerintah di bidang pertanian beserta infrastrukturnya. Karena dari situlah sumber devisa pangan rakyat dan negara, kemudian nantinya akan muncul hasil berlimpah sehingga kesejahteraan rakyat pun semakin meningkat.
Zaman boleh terus berubah, ekonomi, politik, teknologi dan informasi pun boleh terus berkembang.. Namun hendaklah nilai-nilai moral perjuangan kerakyatan, integritas kenegarawan kerakyatan para pelaku kebijakan negara, dan selalu konsisten bertujuan memajukan rakyatnya, kiranya menjadi landasan utama dalam praktik berpemerintah dan bernegara saat ini.
Post a Comment