"Menikmati hidup" , apakah ada resepnya ? Atau adakah variabel-variabelnya ? Sudahkah "menikmati hidup" ? Di pagi hari kebanyakan orang bergegas untuk mencari nafkah. Bahwa nyatanya sudah kaya, masih miskin atau sudah cukup, tidak ada ukuran baku. Ada yang sudah punya banyak perusahaan dengan keuntungan setiap bulannya bermilyard-milyard, tetapi masih merasa kurang. Sering kali menjadi cemas dan gelisah, bila salah satu perusahaannya menurun keuntungannya. Ada yang hidup dari gaji tidak lebih dari 5 juta per bulan, wajahnya ceria selalu dan bersyukur bahwa gajinya sudah cukup.
Ada yang bekerja siang malam dan hasilnya, bisa untuk tiap tahun jalan-jalan ke luar negri, setiap 2 tahun mobilnya selalu diganti dengan yang baru. Depositnya di beberapa Bank, rekanan bisnisnya tak terhitung ; tetapi selalu merasa kesepian. Sementara itu ada yang juga bekerja siang malam dengan pendapatan kurang dari upah minimum regional, wajahnya selalu ceria ; meski sering menyempatkan begadang di gardu pos ronda. Tetap sehat, bersemangat dan tak pernah mengeluh kekurangan. Ada yang begitu terkenal di televisi, honornya puluhan juta untuk kerja kurang dari 2 jam, di luar sorotan kamera, wajahnya penuh duka dan lari ke narkoba. Katanya untuk menikmati hidup.
Lalu apa yang bisa kita definisikan dengan "Menikmati Hidup" ?
Ada trainer, yang pernah berjaya, mengajar, melatih, memotivasi di sana-sini, siang malam bekerja, keliling kemana-mana, menginap di Hotel serba berbintang. Uang luar biasa banyak. Investasi di mana-mana. "Penghasilan Pasif"-nya pun luar biasa ..... Sampai sekarang. Wajahnya yang selalu tampil ceria, menjadi redup dan kuyu, ketika sangat mengejutkan "curhat" kepada saya........ Kata-katanya yang biasa bertenaga dan penuh semangat, sangat berubah dan memelas.
"Dik ...... (beliau menyebut nama saya, di antara rehat presentasinya) ... tahu-tahu saya sudah tua, saya menyesal tidak menikmati masa-masa kecil anak saya. Saya terlalu sibuk dengan aktivitas saya. Tahun-tahun yang semestinya saya nikmati bersama keluarga, telah lewat. Anak-anak saya sekarang sudah besar-besar dan tidak membutuhkan saya lagi. Mereka sudah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Di rumah, sekarang saya bukan prioritas keluarga. Pasangan saya, sibuk dengan kegiatannya sendiri. Bahkan saat bersama-sama di ruang keluarga, baru saya sadari :saya pun lebih asyik dengan membaca buku atau membuka sms atau pun membalas sms. Di ruang keluarga kami yang luas, ada 3 televisi berlayar lebar, lengkap wireless headphone ; karena selera tontonan kami berbeda. Jadi selama ini saat keluarga kami ada di rumah, sebenarnya secara emosional dan pikiran jarang bersama-sama. Begitu juga saat kami sekeluarga makan bersama di luar rumah.Saya punya banyak kenalan, rekanan, pelanggan, tetapi saya merasa tidak punya teman yang sesungguhnya. Orang-orang yang datang mengunjungi seminar saya, begitu mengagumi ketrampilan dan kepiawaian saya dalam memberikan training atau saat memberikan motivasi saya."
Senior itu pun melanjutkan curhat nya " ....sekarang suka muncul pertanyaan di benak saya, .... ternyata kekayaan, popularitas, pengetahuan yang selama ini saya nikmati , ternyata sekarang tidak menimbulkan perasaan apa-apa. Hidup saya "terasa kosong" ditengah hiruk-pikuk aktifitas saya. Sejujurnya saya semakin tidak tahu apa sebenarnya 'menikmati hidup' ..... " lanjutnya : " Dik saya senang ngobrol dengan Anda, nanti setelah acara , kita ngobrol lagi, yaa ..." Lalu Beliau mengenakan wireless microphone-nya dan bergegas menuju podium.
Kalimat-kalimat curhat di atas sangat mengejutkan bagi saya. Saya pun berusaha memaknai rangkaian kata "menikmati hidup". Seorang kenalan yang sehari-hari menekuni bidang kesehatan, rela berhari-hari memancing di tengah laut. Ikan-ikan hasil pancingannya, tak pernah dia bawa pulang. Dia rela membuang jutaan rupiah untuk menyepa kapal laut untuk memancing. Dia pun selalu mengajak orang-orang yang dikenalnya untuk menemani memancing di laut, tanpa minta sokongan atau pun iuran menyewa kapal. Semua dia tangung sendiri. Anehnya sepanjang acara mancing berhari-hari di laut, jarang sekali dia mengeluarkan kata-kata, kecuali sedikit berteriak saat umpan pancingnya di makan ikan yang relatif besar. Baik siang atau malam, dia rela kedinginan dan kepanasan memegangi pancingnya. Tampaknya begitu menikmati 'prosesi' mancing di laut. Apakah ini termasuk menikmati hidup ? Lalu bagaimana hari-hari lain di saat melayani pasien di tempat praktek atau di rumah sakit ? Menurutnya, profesinya adalah pilihan orang tuanya. Bekerja menolong orang sakit menurutnya bukan kesenangan juga bukan ibadah, karena dia dibayar. Karena bekerja, menjadi tenaga medis. "Yang nikmat itu adalah mancing di laut ... , mobil, uang, rumah harta itu kan cuma hasil bekerja. buat saya menikmati hidup itu adalah mancing !" tutupnya.
Saya belum bisa menyimpulkan, dengan kesimpulan yang kiranya dapat berlaku umum tentang "menikmati hidup" ; mana kala dalam perjalanan saya menuju rumah, jumpa seorang penjual mie ayam. Saya kembali dikerumuni pertanyaan , mengapa penjual mie ayam ini begitu gembira dan bersiul-siul saat membuang mie yang lebih dari separuh tidak terjual. Saat itu sudah lewat tengah malam***.
Wahai, para Pakar, bagaimana dengan Anda ? Benarkah sudah "menikmati hidup sepanjang waktu", bagaimana cara Anda menikmati hidup. Saya ingin belajar.
Wassalam,
Soetiyastoko
Post a Comment