Aku berlari kecil. Menelusuri rel. Melewati pagar. Di tangan kananku sebuah payung. Payung merah menjelang robek bertulis Super Bier. Pemberian Kirjan setahun lampau. Baju seragam putih merah menjelang kumal masih melekat di tubuhku. Aku terus berlari. Semakin kencang. Menuju perempatan jalan. Jalan raya.
Dilangit, mendung hitam memekat. Matahari hilang ditelan mega. Langit tanpa cahaya. Bumi gelap. Sebentar lagi pasti turun hujan. Itu berarti rejekiku. Aku akan mendapat uang. Uang untuk jajan. Aku terus berlari. Tiba diperempatan jalan. Nafasku tersengal-sengal. Sejenak aku mematung. Memandang sederet manusia kecil seusiaku. Manusia-manusia kecil kumal. Memegang payung. Menanti hujan. Menunggu manusia-manusia besar keluar dari bus.
Aku masih mematung. Terus mematung. Diam. Kubiarkan lalu lintas yang semakin menggila. Jalanan sesak. Bus-bus besar meluncur kencang. Tak memberi kesempatan kepada penumpangnya menikmati duduknya. Mobil-mobil bersih mengkilat berkaca hitam, dengan angkuh menyusuri jalan raya. Ditingkahi suara Angkot menderu-deru mengiris nurani. Jalanan semakin padat. Macet terjadi begitu saja. Lalu suara klakson terdengar bergantian. Berisik. Amat berisik. Memekakkan telinga. Ibukota memang gila. Betul-betul gila. Sedikitpun tidak memberi kesempatan warga negaranya melenggang enak di jalan raya.
Langit ditelan hitam. Rintik hujan mulai tumpah. Semakin lama semakin lebat. Kami – aku dan teman teman kecilku- langsung bersiap. Membuka payung. Hujan lebat. Bus Patas datang. Di pinggir perempatan bus berjalan berlambat-lambat. Serentak sepasukan payung berlarian. Midek, Topo, Bongkok, Okik, meleset di depanku. Raul, Harso, Parman, tertatih-tatih di belakangku. Pintu bus dibuka. Midek langsung meloncat ke dalam bus. Dijulurkan payungnya. Tak lama, laki-laki berewok turun dari bus. Berteduh payung Midek. Menangkis hujan. Di belakang, tampak Midek diguyur hujan membuntuti langkah si laki-laki berewok.
Bus pelan-pelan berjalan. Seorang ibu berpakaian Korpri meloncat turun. Langsung disambut Topo. Bak seorang ajudan, Topo mengawal ibu pegawai ke seberang jalan. Keluar lagi manusia. Manusia muda berambut gondrong. Menyahut payung milik Bongkok. Berbasah kuyup, Bongkok hilang ditelan jalan. Aku, Okik, Harso, Raul terus berlari mengejar bus. Dua penumpang turun. Sayang, aku dan Raul kalah bersaing. Dua penumpang disambar oleh Okik dan Harso.
“Busyet!” aku memaki. Raul tidak bersuara. Menatap jalan raya. Menatap hujan. Tatapan matanya kosong. Tanpa ekspresi. Tiba-tiba dari arah timur muncul bus PPD. Jalannya ngebut. Miring ke kiri.
“Ul! Raul! PPD. Ul, PPD!” aku berseru. Dan melesetlah aku. Mengejar bus. Diikuti Raul. Diikuti
“Tidak apa-apa khan, Dik?” tanya si gadis SMA tepat di depanku.
Aku menggeleng,” Tidak. Tidak apa-apa.” Lalu aku bangkit. Segumpal darah bertengger di siku tangan kiriku. Kusembunyikan. Sayang, terlihat oleh Mbak SMA.
“Nih, pakai buat mengelap sikumu,” si Mbak SMA memberi sapu tangan.
“Tidak,” aku menggeleng,” Tidak apa-apa.”
“Ayo, pakai saja,” Si Mbak terus memaksa. Akhirnya kuterima sapu tangan. Kupakai membersihkan darah. Kucuran deras hujan membuat perih luka tanganku. Perih yang menyayat. Tapi kubiarkan. Kubuntuti langkah kaki Mbak. Kuamati rambut Mbak. Punggung Mbak. Kaki Mbak. Sepatu Mbak. Manusia pelajar. Ya, gadis pelajar. Gadis intelek. Lain dengan Titin. Beda. Berbeda jauh.
Titin, gadis seumur Mbak. Tetanggaku. Tetangga satu atap. Atap sebuah rumah di pinggir rel. Dibatasi sepotong triplek memanjang. Rumah ibuku berdempetan dengan rumah Titin. Dan Titin, gadis badung yang pernah aku jumpai di bumi ini. Temannya banyak. Laki-laki muda berambut gondrong, bertatto, dengan puluhan anting menutupi telinganya. Atau gadis-gadis menjelang remaja berpotongan cepak, berrok mini ketat dengan mulut selalu tertempel rokok.
Titin memang badung. Bahkan gila. Sekolah, dia tak mau. Hanya jebolan 5 SD. Katanya, yang penting dapat baca tulis. Titik. Tidak lebih. Katanya lagi, kalau sekolah tinggi-tinggi terus mana biayanya? Belum, apakah sekolah tinggi menjamin pekerjaan? Kedudukan? Kekuasaan? Untuk masalah pendidikan, kurasa benar jalan pikiran Titin. Dia hanyalah anak piatu. Bapak, tak punya. Ibu, jualan di kereta.
Tapi kebadungan itu yang membuat aku geleng-geleng kepala. Saban malam kerjanya bersolek. Bersolek norak. Roknya selalu mini ketat. Bau parfum murahan menyengat menempel di tubuhnya. Rokok filter menemani gincu tebalnya. Lalu dia minggat entah ke mana. Esoknya baru muncul di rumah dengan wajah awut-awutan. Matanya sayu. Mulut berbau alkohol. Dan dia akan mendengkur keras. Menghabiskan siang.
Tekyan *), julukan akrab Titin. Temannya banyak. Laki-laki muda bertatto. Beranting puluhan. Pernah di siang hari bolong, kala mentari bersinar membakar bumi, aku terperanjat kaget. Sewaktu masuk ke rumah Titin, tampak dia telanjang bulat. Rebah di ranjang. Matanya nanar. Nafasnya mendesah. Sebelum akhirnya dia diterkam habis laki-laki bertatto. Aku langsung berlari. Masuk ke rumah. Nafasku memburu seirama dengan lenguhan panjang yang kudengar dari balik triplek penyekat rumah. Titin memang badung.
“Dik, sampai sini saja. Sudah ya,” si Mbak tiba-tiba membuyarkan seluruh obsesiku. Diulurkan payung ke tanganku. Sambil menyelipkan selembar uang. Seribu. Lumayan. Karena biasa rata-rata membayar lima ratus perak. Langsung kumasukkan uang ke saku celana. Mbak berlalu.
“Mbak, tunggu!” tiba-tiba aku berteriak. Si Mbak menghentikan langkah. Menatapku. “Sapu tangannya,” kulambaikan sapu tangan putih yang sudah tergores merah darah.
“Bawa saja. Buat kamu,” Mbak tersenyum kearahku dan melanjutkan langkah kakinya yang tertunda.
Kuamati langkah kakinya. Sebelum hilang di kelokan jalan. Aku balutkan lagi sapu tangan di lengan tangan kiriku. Bergegas kembali aku berlarian ke perempatan jalan. Menerjang hujan yang semakin menggila. Dingin menusuk tulang. Baju, celana habis ditelan air. Aku menggigil.
Di perempatan jalan tampak Midek, Okik, Harso sudah mendapat mangsa lagi. Aku, Topo, Raul dan tiga orang teman lainnya masih menunggu bus. Menunggu dalam guyuran hujan. Dingin. Menggigil. Demi sekeping uang. Tak lama berselang barengan muncul bus luar
Aku dan dua orang teman berlari mengejar bus yang di depan. Kecipak air berhamburan ke mana-mana kena langkah kaki kecil kami. Dua orang turun. Langsung disambar temanku. Tinggal aku sendirian. Di pintu depan, tampak sepasang kaki menjulur keluar. Langsung kuburu kaki itu. Dan bersyukurlah aku. Seorang ibu muda menyewa payungku.
Kubuntuti langkah kaki ibu muda. Langkah kaki yang begitu mantap. Optimis menyongsong masa depan. Berbeda dengan ibuku. Berbeda jauh. Ibuku hanya penjual nasi gendongan di stasiun. Seperti ibu Titin. Kecantikan Ibu sudah hilang. Ditelan panasnya mentari dan ganasnya kehidupan. Dan penderitaan yang berkepanjangan. Di tinggal bapak. Bapak hilang. Hilang entah kemana. Ibu tak tahu. Apalagi aku. Hanya saja, cerita Ibu, Bapak hilang setelah beramai-ramai mengangkat parang melawan bedil. Melawan penggusuran.
Di ujung jalan, aku mengantar ibu muda. Setelah menyelipkan dua lembar
Diperempatan jalan sudah berkumpul lagi teman-teman kecilku. Namun tiba-tiba, dikejauhan terdengar bunyi sirene polisi meraung-raung. Semakin dekat. Tampak puluhan mobil polisi melaju. Sambil diikuti suara yang keluar dari megaphone. “Banjir! Banjir!” Disusul corong-corong masjid bersahutan. Terdengar ramai. “Banjir! Banjir!”
Banjir? Aku terpana. Ibukota diterjang banjir. Malapetaka ini namanya. Sejenak berikut teman-temanku berlarian tak tentu rimbanya. Mobil-mobil dikebut tinggi. Orang pada ribut. Suara ramai lantas tercipta. Di perempatan jalan. Dibawah guyuran hujan. Aku masih terpana. Sebelum akhirnya kulempar payung ke tengah jalan. Dan aku berlari. Berlari kencang. Kususuri jalan raya. Kudaki jalan layang. Kunaiki jalan layang bertingkat. Aku terus berlari. Berlari ke puncak jalan layang. Jalan bertingkat tiga.
Di ujung paling puncak, aku menghentikan langkah. Kupandangi ibu
Dan, kubuka ritsluiting celana seragam sekolahku. Kukeluarkan punyaku. Meluncurlah air kencingku. Dari puncak jalan layang. Kukencingi ibu
Cat. *) Tekyan: pitik doyan (ayam mau). Panggilan untuk WTS anak jalanan.
Post a Comment