Lupus Est Homo Homini
Tentang Serigala, Pemerkosa, Cinta, dan Kepedulian
Jujur, saya sendiri belum selesai dengan pergolakan di dalam diri saya. Saya berat menuliskan topik ini. Tapi semoga justru saya bisa menemukan sedikit pencerahan dengan membagikan kegelisahan saya kepada Sahabat yang saya cintai. Semoga kita semakin bertumbuh dan dimatangkan dengan pertanyaan-pertanyaan hidup yang memurnikan kita.
Saya adalah orang yang tidak setuju dengan pernyataan Plautus yang kemudian menjadi populer sejak Thomas Hobbes membuat tulisan De Cive (1651) : homo homini lupus, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Mengapa saya tidak setuju? ‘Sesama’ yang selama ini saya kenal adalah orang tua yang mencintai dengan segenap kemampuan dan pengertian mereka, teman-teman sekolah yang ingin berprestasi dengan sungguh-sungguh belajar, guru dan dosen yang senang ‘mendidik’ dan bukan sekedar mengajar, suami yang menerima, mencintai, dan memberi kebebasan bagi tumbuh kembang sebagai manusia, atasan dan rekan kerja serta bawahan yang mau berjuang untuk kebaikan. Itulah ‘sesama’ saya selama ini, dan mereka sama sekali BUKAN SERIGALA. Mereka baik, lagi-lagi BUKAN SERIGALA. Sampai beberapa waktu lalu, tidak ada yang dapat menggoyahkan saya dari keyakinan bahwa MANUSIA ITU BAIK. BAIK DARI ASALNYA, dan BAIK TUJUAN PENCIPTAANNYA.
Sang ‘Damini’ (Putri India) dan Si Kecil Risa
Jyoti Singh Pandey... seorang putri India berusia 23 tahun, seandainya beliau masih hidup, apakah ia setuju atau tidak setuju dengan kalimat ‘homo homini lupus’? Bagaimana pendapat Anda? Tanggal 16 Desember 2012 setelah diperkosa dengan brutal oleh 6 orang anggota geng di dalam bus yang sedang berjalan, kemudian ia dianiaya dan dibiarkan terluka dan telanjang dilemparkan keluar dari bus. Tergeletak di jalan, lalu berjuang untuk tetap bertahan hidup selama 10 hari dengan ingatan yang begitu memilukan, sebelum akhirnya mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dan pulang kepada Sang Empunya Kehidupan. Apakah ia akan setuju bahwa manusia bisa menjadi serigala untuk sesamanya? “Air mata dan kesakitanmu, Jyoti, apakah manusia memang serigala bagi sesamanya?”
Risa kecil (11 tahun) sempat menuliskan surat undangan ulang tahunnya (April 2013 yang akan datang) untuk teman-temannya. Ternyata ia tidak sempat merayakan ulang tahunnya. Ia meninggal dunia 6 Januari yang lalu setelah menjadi korban pemerkosaan. “Harapanmu Risa, untuk merayakan ulang tahun bersama teman-teman, apakah manusia memang serigala bagi sesamanya?”
Pemerkosa Bukan Serigala, Begitu Pula yang Menertawakan Pemerkosaan
Serigala abu-abu (canis lupus) umumnya berburu mangsanya secara berkelompok. Mereka membunuh dan memakan mangsanya. Berburu untuk dapat makan, memang menjadi pola hidup bangsa serigala. Manusia yang memperkosa beramai-ramai, apakah bisa disamakan dengan perilaku serigala?
Tentu TIDAK. Serigala berburu dan membunuh untuk makan dan bertahan hidup, bukan untuk kesenangan. Serigala yang kenyang, tidak akan berburu dan membunuh. Mereka mengenal kata ‘kenyang’. Hasil studi menunjukkan bahwa binatang (karnivora maupun herbivora) yang tinggal di alam liar, tidak ada yang mengalami obesitas. Tapi binatang yang sudah tinggal dalam pengawasan manusia, terutama binatang peliharaan, amat banyak yang mengalami obesitas. Alaminya, binatang berhenti makan setelah kenyang. Tapi manusia?
Memperkosa beramai-ramai demi apa? Kenikmatan? Setelah mendapatkan kenikmatan, lalu mengapa harus dibunuh? Demi apa? Melampiaskan kemarahan? Kepada siapa? Kepada dunia? Melampiaskan kekecewaan terhadap dunia? Tidakkah salah sasaran melampiaskan kepada Jyoti dan Risa?
Tentu saja pemerkosa bukan serigala. Serigala jauh lebih baik dan beradab, mengenal kata cukup dan tidak tertawa di atas penderitaan korbannya.
Lalu yang menertawakan pemerkosaan? Yang terhormat anggota DPR maupun Calon Hakim Agung (hati-hati sekali dengan kata AGUNG, sungguh mengerikan dampak kata AGUNG). Itupun bukan perbuatan serigala. Karena setahu saya TIDAK ADA SERIGALA YANG MENERTAWAKAN KORBANNYA. Serigala lebih santun dan halus budi.
Duka dan Upaya
Air mata tidak pernah cukup, dan menghindari kenyataan ini juga tidak membuat kita sebagai manusia menjadi semakin baik. Apa yang bisa dilakukan untuk membuat diri kita, dunia kecil kita (keluarga), komunitas (pendidikan maupun pekerjaan) kita, dan masyarakat kita menjadi lebih baik, lebih beradab, lebih bermoral, lebih santun, dan lebih penuh cinta?
1. JANGAN JADI PEMERKOSA
Berita media masa banyak mengulas tentang kepedihan keluarga korban pemerkosaan (terlebih yang akhirnya sang korban meninggal dunia). Tetapi perlu disadari bahwa PEMERKOSApun berasal dari keluarga-keluarga. Pemerkosa-pun produk sebuah keluarga. Bagaimana perasaan kita bila anak, suami, ayah, atau (pemerkosa ‘kan tidak harus laki-laki) istri, ibu, dan diri kita sendiri adalah pemerkosa? Apa yang membuat kita menjadi seorang pemerkosa?
Saya sungguh percaya bahwa MANUSIA YANG SUNGGUH-SUNGGUH PERNAH DAN MERASA DICINTAI TIDAK AKAN SANGGUP MENJADI PEMERKOSA. Mengapa? Karena ia menghargai hidup, ia mencintai hidup, ia dicintai dan merasa penuh. Penderitaan dan kesakitan, serta mempermalukan dan merendahkan orang lain tidak perlu menjadi alasan dan cara untuk ia menjadi lebih baik, karena ia sudah merasa baik karena dicintai. Jadi, siapa yang sanggup jadi pemerkosa? Yang kurang atau tidak merasa dicintai (kalau mau ditelusuri dugaan kuat terutama kurang merasa dicintai orang tua), yang merasa ditolak, yang merasa marah dan kecewa dengan kehidupan, atau memang yang memiliki kecenderungan conduct disorder (tidak mampu mengendalikan impuls), gangguan seksual (misalnya sadism), atau yang memang memiliki anti-social personality disorder alias psikopat.
Anda yang pernah BERCINTA, bukan sekedar HAVING SEX, tentu menyadari sekali perbedaannya. Banyak pasangan suami-istri yang saling mencintai memiliki pengalaman bahwa saat bercinta dan pasangan tampak kesakitan atau mengeluarkan suara seperti kesakitan, maka pasangannya akan segera berhenti. Kenapa? Karena peduli, karena tidak sanggup untuk ‘nikmat’ di atas kesakitan orang lain, karena kesejahteraan pasangannya amat tinggi nilainya, bukan sekedar kepuasan diri. Bahkan, pada banyak kejadian, orgasme sang pasangan menjadi penguat bagi orgasmenya sendiri. Bukan rasa takut, bukan kesakitan, bukan luka dan kematian dari partner seksual.
Minimal, dengan kita masing-masing pribadi menjaga untuk diri kita tidak menjadi pemerkosa, berkuranglah satu kemungkinan kasus pemerkosaan di kemudian hari. Bila kita punya potensi menjadi pemerkosa, karena kondisi- kondisi yang diuraikan di atas atau kondisi lainnya, kita menjaga diri kita dengan lebih baik dan bertekad “saya tidak mau menjadi pemerkosa”.
Pertanyaan kemudian adalah, “Nah, bagaimana kalau ada kesempatan?” atau “bagaimana kalau cewenya pake rok mini?” atau “bagaimana kalau dikasih perempuan pingsan dan tidak ada orang lain?” dan aneka pertanyaan lainnya di mana ada kesempatan bagi kita untuk melakukan. Di mana kontrol perilaku Anda, di dalam, atau di luar? Seperti cerita seorang Raja bodoh yang memerintahkan kepada ajudannya untuk memberikan alas karpet di semua jalan yang akan dilaluinya agar kakinya tidak terluka. Tetapi Raja bodoh itu tidak mau mengenakan sepasang sandal kulit sehingga bisa bepergian ke manapun tanpa terluka, meski tidak pakai karpet di mana-mana.
2. JANGAN MENERTAWAKAN PEMERKOSAAN LALU PURA-PURA MENANGIS
Menganggap enteng pemerkosaan, menganggap hal-hal yang tidak bermoral dengan ‘biasa’ bahkan dijadikan lelucon, atau menganggap ‘tidak ada masalah’ terhadap hal-hal amoral, merupakan sebuah PERTANDA PENTING bahwa hati nurani sudah tumpul. Saya masih berkeyakinan, bahkan di orang yang diduga BEJAT sekalipun, hati nurani tetap bertugas untuk menjalankan perannya. Tetapi masalahnya, APAKAH KITA TERLATIH UNTUK PEKA terhadap suara hati itu? Bila tidak ada kepekaan, tentu tidak akan menggubris suara hati yang memberikan peringatan bila kita melakukan hal yang salah. Banyak orang saat ini SIBUK MENCEDERAI DIRINYA SENDIRI dengan HIDUP SEPERTI ROBOT. Cerdas, efisien, tetapi tidak berhati nurani.
3. MENJAGA DIRI DAN ORANG-ORANG YANG KITA CINTAI
Bagaimana kita menjaga diri dan orang yang kita cintai supaya tidak menjadi pelaku maupun korban pemerkosaan?
- Menjaga supaya tidak menjadi pelaku
Pendidikan nilai dalam keluarga, dengan ibu yang mencintai dengan penuh, ada kehangatan dan penerimaan, dan relasi yang baik dalam keluarga, saya yakin anak-anaknya tidak mau jadi pemerkosa. Mengapa? Mereka mencintai ibu mereka, menghormati, dan tidak ingin menyakiti hatinya. Malahan mau membuat ibunya bangga dan bahagia, tentau tidak dengan cara memperkosa orang lain. Ayah yang baik, bertanggung jawab, memperlakukan istri dengan santun dan hormat. Anak-anak juga tidak ingin menjadi pemerkosa. Mengapa? Modelnya bagus, contohnya benar. Suami dan istri saling menghormati, saling memberi. Tidak menghina, mau menerima, dan memiliki relasi yang baik. Suami dan istri tentu tidak mau jadi pemerkosa. Mengapa? Mencintai membuat seseorang lebih kuat (termasuk bila ada kesempatan untuk memperkosa, tentu tetap tidak akan dilakukan).
Cara yang juga amat penting agar orang-orang yang kita cintai tidak menjadi pelaku adalah dengan memberikan TREATMENT yang BENAR. Bila anggota keluarga kita sakit (khususnya JIWA), berikan treatment yang benar, bukan dengan mengurungnya, bukan dengan menyembunyikannya, bukan dengan berpura-pura semua baik-baik saja, bukan dengan membelanya (tidak ada yang perlu dibela, tetapi butuh dirawat jiwanya). BUKAN CUMA RAGA YANG BUTUH DIRAWAT, JIWA DAN ROH JUGA AMAT PERLU DIRAWAT. Datanglah ke psikolog dan jalanilah terapi. Bila suami Anda terbiasa memukul atau menyakiti Anda untuk kepuasan seksualnya, ajaklah ia terapi, begitu pula sebaliknya. Karena HANYA ANGGOTA KELUARGA-lah yang paling tahu bila ada benih-benih atau gejala perilaku yang TIDAK BIASA. Sedini mungkin ditangani, tentu jauh lebih baik prognosanya.
- Menjaga supaya tidak menjadi korban
© MENDENGARKAN DAN PEKA
Dalam banyak kasus, cerita anak tentang ketidak sreg-annya terhadap pelaku, kurang dihiraukan oleh orang tuanya. Gejala-gejala yang tidak biasa menjadi luput karena juga karena kurang atau tidak mendengarkan dengan baik.
© MENGGUNAKAN INTUISI
Pernah mendengar kalimat ini, “ah, itu kan cuma perasaanmu saja?” Seringkali intusi dipatahkan dengan alasan ‘tidak rasional’. Berdasarkan pengalaman dari klien-klien, amat banyak situasi bahaya bisa dihindari dengan intuisi. Intuisi menjadi mekanisme ‘peringatan’ awal, bahkan sebelum rasio bisa melakukan tugasnya menganalisa situasi. Seorang ibu di Bandar Lampung, merasa ‘tidak nyaman’ dan ‘tidak sreg’ ketika angkot yang dinaikinya berhenti dan 2 pemuda masuk bersamaan. Di angkot itu hanya sang ibu dan 2 pemuda itu yang menurut sang ibu ‘aneh’. Lalu sang ibu memutuskan untuk turun di halte terdekat yang ramai, meskipun halte itu bukanlah tujuannya yang semula. Intuisi sang ibu menyuruhnya turun dari angkot. Esok hari di harian lokal, sang ibu membaca berita pemerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh 2 pemuda di dalam angkot jurusan X ke Y yang kemarin dinaiki sang ibu. Aneh? Ya, memang aneh, tetapi menyelamatkan.
© SOFTSKILL
Keterampilan apa saja yang dibutuhkan agar anak-anak dapat ‘survive’? mulai dari keterampilan dalam mengenal diri sendiri / who am I (contoh: menghargai diri sendiri), menghargai orang lain (contoh: sopan dan santun), keterampilan komunikasi asertif (contoh: mampu berkata ya bila ya dan tidak bila tidak), kemampuan berpikir kritis (contoh: mempertanyakan hal yang pantas/ tidak, bertanya ‘mengapa’), keterampilan memecahkan masalah, keterampilan mengelola emosi, dan keterampilan-keterampilan lain yang perlu dikuasai.
© JURUS-JURUS
Perlu ilmu bela diri khusus? Boleh saja. Anak-anak dibekali dengan ilmu bela diri tertentu, bila sewaktu-waktu dalam keadaan terdesak, bisa melawan. Atau minimal jurus LARI, selama memungkinkan.
4. MENCINTAI LEBIH DALAM, PEDULI LEBIH SERING
Meskipun sudah ada sejak jaman dahulu, kata CINTA tidak pernah menjadi usang. Psikologi memiliki Erich Fromm, seorang synoptic man. Dalam buku The Sane Society tahun 1955, dikatakan oleh Fromm, “the danger of the future is that man may become robots.” Pada tahun 1956, Fromm mempublikasikan bukunya The Art of Loving, yang mengemukakan roh tentang cinta sebagai “the only sane dan satisfactory answer to the problem of human existence”.
Membaca The Art of Loving karya Erich Fromm, saya merasa ‘bertemu’ secara pribadi dengan seorang yang penuh dengan pergolakan sekaligus penuh dengan ide (seperti peternakan ide), yang kreativitasnya muncul dari inspirasi yang diperoleh dari pengalaman hidupnya. Dasar cintanya terhadap manusia membuat Fromm dalam keprihatinannya melihat permasalahan-permasalahan kemanusiaan akhirnya kembali kepada hal yang paling dasar, yaitu CINTA.
Kemanusiaan manusia diulas begitu indah ketika Fromm menyebutkan bahwa manusia dianugerahi hal yang luar biasa, yaitu kesadaran tentang dirinya, tentang sejarahnya, tentang pikiran dan perasaannya, tentang harapannya, tentang waktu, tentang cinta. Kesadaran bahwa ada kekuatan-kekuatan sekaligus keterbatasan-keterbatasan dalam hidup inilah yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan manusia. Menjadi kekuatan karena mampu mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan heroik, membangun, mencipta, mencinta. Tetapi sekaligus menjadi kelemahan, karena membawa perasaan cemas, merasa bersalah, malu, menuntut, merasa kesepian. Bagi Fromm, kemampuan mencintai (bukan menuntut untuk dicintai) menunjukkan karakter yang matang dan produktif.
Dengan mencintai lebih dalam dan peduli lebih sering, kita mengurangi jumlah orang yang berpotensi untuk menjadi pemerkosa di kemudian hari. Saya yakin hal itu.
Jangan Berhenti Berjuang
Lalu kemudian apa? Mari kita jangan berhenti berjuang. Tugas berjuang untuk kemanusiaan bukan hanya ada di bahu anggota LSM, tetapi juga tugas psikolog, penegak hukum (semoga…), tugas seorang ayah, tugas seorang ibu, tugas seorang guru, tugas seorang anak, tugas seorang pemimpin perusahaan, tugas seorang karyawan, tugas seorang baby sitter, tugas seorang pemuka agama, tugas seorang wartawan, tugas seorang tukang parkir, tugas seorang supir bis, tukang seorang supir bajaj, tugas seorang ketua RT, tugas seorang pejabat, tugas siapa saja selama kita manusia (namanya saja perjuangan kemanusiaan). Mari tetap konsisten berjuang bersama dengan cara dan peran yang kita sandang masing-masing, dengan cara yang paling baik dan benar.
Selamat mencintai dalam selamat berkarya.
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Post a Comment