Si Rubah berjalan melintasi ladang di siang yang sangat terik. Perjalanan itu membawanya ke suatu kebun anggur. Dia melihat ranum buah-buah anggur hingga menitikkan air liur. “Pasti segar sekali memakan anggur di siang yang terik ini.” Pikirnya.
Berbekal semangat untuk menikmati segar dan lezatnya anggur itu, si Rubah mengambil ancang-ancang untuk melompat menggapai. Hap! Dia melompat dan belum bisa mencapai anggur-anggur itu. Ia melompat lagi dan lagi. Hap! Hap! Masih gagal. Ia mencoba beberapa kali lagi dan masih belum berhasil menggapai anggur yang lezat itu. Ia menjadi gusar.
Sambil berlalu dia berkata, “Ah. Anggur-anggur itu pasti busuk dan tidak enak untuk dimakan. Lebih baik aku mencari makanan yang lain saja daripada sakit perutku nanti.”
Ya. Kisah di atas memang dongeng semasa kita anak-anak. Dari sudut pandang lain, dongeng itu juga sangat relevan dengan sikap-sikap yang kita kembangkan sebagai orang dewasa yang berkegiatan. Dalam karir, bisnis, atau menjalin suatu hubungan ada kalanya kita bersikap seperti si Rubah tadi; menjelekkan pihak atau hal lain atas suatu yang belum kita dapatkan.
Kita acap kali mengutuk mereka yang tega melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena suatu perbedaan. Pada waktu yang bersamaan kita mensahkan perbuatan kita menjelekkan atau menyalahkan pihak lain atas hal yang belum kita dapatkan. Padahal dua hal tersebut sama. Sama? Ya. Serupa dan sama. Dua hal tersebut secara emosional masuk ke dalam perilaku yang didorong oleh ‘anger’, kemarahan.
Robert Plutchik (21 October 1927 – 29 April 2006) dari Albert Einstein College of Medicine menyusun kajian ilmiah terhadap emosi manusia. Kajian itu ia paparkan dalam psychoevolutionary theory of emotion. Dia membagi cara manusia merespon emosi menjadi delapan emosi primer – kemarahan, ketakutan, kesedihan, kebencian, keterkejutan, kewaspadaan, kepercayaan, dan kegembiraan. Masing-masing emosi primer mempunyai nama sesuai dengan intensitas yang dirasakan - misal emosi primer kemarahan yang intensitasnya paling rendah kita kenal sebagai ‘risih’ dan yang paling kuat kita kenal sebagai ‘murka’. Berdasar hal ini maka kita bisa menyimpulkan bila kita menjelekkan atau menyalahkan pihak lain atas hal yang belum kita dapatkan, maka itu sama saja dengan melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena suatu perbedaan keyakinan. Sama induk emosinya, hanya beda intensitasnya.
Kembali pada cerita si Rubah. Kita bisa merasakan kegelisahan, atau bahkan rasa frustasi, si Rubah di siang yang terik terus melompat tanpa mampu mendapat hasil. Menyatakan bahwa anggur itu tidak layak dimakan bisa jadi tindakan yang bisa kita pahami. Sama dengan ketika kita sudah mencoba demikian keras untuk berkompetisi dalam bisnis, dalam karir, dalam hidup dan belum mendapat hasil yang kita idam-idamkan. Kemudian kita menyalahkan serta menjelekkan pihak lain yang sudah lebih dulu berhasil. Situasi serupa juga kita temui ketika kita berupaya keras mencoba menjual produk kita yang unggul serta kompetitif kepada konsumen dan, hasilnya, konsumen memilih produk lain. Lalu kita menganggap konsumen tersebut ‘tidak paham’ produk berkualitas, kita beri label mereka konsumen yang, ma’af, bodoh. Ya. Kita sangat mirip dengan si Rubah pada situasi di atas.
Bukankah Einstein pernah bilang “hanya orang gila yang terus melakukan cara yang sama dan berharap hasil yang berbeda”? Lalu ada pula kata bijak “hidup itu berubah dan menerima. Bila kita tidak terima dengan hasilnya, ubah. Bila tidak bisa mengubah, terima.” “Gitu aja kok repot!” Kata Gus Dur. Semua itu benar. Bila kita berharap hasil yang lebih baik, tengoklah apa yang sudah dan sedang kita lakukan. Kita perbaiki proses yang kita dan terus menerus perbaiki jalankan – Oh ya, saya tidak pernah tahu proyek six sigma atau continuous improvement lain yang proyeknya fokus pada mengubah pihak/perusahaan lain. Kita perlu selalu mencari cara yang lebih efektif untuk bisa mendapatkan hasil yang lebih baik.
Melakukan hal yang serupa dengan hal yang ditunjukkan si Rubah sangat tidak efektif dalam perbaikan hasil karir, bisnis, atau hidup kita. Menjelekkan dan menyalahkan pihak lain itu tidak efektif. Bila berbicara tentang pihak lain, yang lebih efektif adalah memberi manfaat kepada mereka. Bila kita punya tenaga, kita berikan tenaga kita untuk manfaat orang lain. Bila kita punya ilmu, kita berikan ilmu kita untuk manfaat orang lain. Bila orang lain lebih berhasil, kita ikut berbahagia dan belajar dari mereka. Bila orang lain bisa, tentu kita juga bisa jika cara yang kita tempuh benar.
Tuhan sungguh menyayangi kita. DIA tidak ingin kita mengabaikan anugrah terbesar yang diberikan kepada kita, akal. Akal seharusnya membimbing kita untuk menjadi lebih bermanfaat. Akal mestinya bisa membantu kita untuk lebih menggali potensi diri. Akal pula yang seyogyanya bisa menghindarkan kita melakukan tindakan-tindakan yang tidak bijak atau tercela.
Tuhan menciptakan semua untuk kebaikan kita. Dunia ini luas. Mengapa kita harus berdarah-darah dalam berkompetisi bila kita bisa bersinergi? Mengapa kita harus saling menjatuhkan bila kita bisa saling melengkapi dan membangun?
Mari kita olah potensi kita untuk bersama menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik dan lebih cerdas lagi.
Nugroho Nusantoro
Post a Comment