Oleh Syarif Niskala
Seorang sahabat membacakan SMS dari istrinya, “Pa, jangan lupa ya. Malam ini pulangnya jangan telat. Kita khan mau dinner di luar. Ini khan hari ulang tahun pernikahan kita. He…he…he…”. Sahabat itu membalasnya dengan SMS yang berisi, “OK”. Saya pun tersenyum simpul. Apa yang dapat kita pahami dari 2 SMS yang berbiaya sama besar itu? Sang istri mengirimkan SMS yang terdiri atas 23 kata (114 karakter). Sementara sang suami menjawabnya dengan SMS yang terdiri atas 1 kata (2 karakter). Njomplang ya….
Kalau dalam budaya komunikasi SMS seperti di atas, bagaimana dengan budaya komunikasi lisan? Apakah ada perbedaan yang mencolok antara seorang laki-laki dengan perempuan? Dengan bantuan Mbah Google, saya menemukan fakta menarik. Menurut wiki.answers.
Ternyata fenomena wanita lebih banyak bicara dibandingkan pria telah menjadi kesadaran umum. Mungkin itulah sebabnya seorang suami harus mafhum jika saat lelah pulang bekerja, istrinya nyerocos melaporkan kejadian di rumah ditambah dengan berbagai persoalan yang belum ada pemecahannya. Ya, suami harus sabar dan sadar bahwa hal itu belum akan berakhir mengingat stok kata yang dilontarkan masih menumpuk di ujung lidah istrinya.
Demikian pula halnya dengan sang istri. Jangan marah atau merasa kesal tidak diindahkan jika sang suami menjawabnya hanya dengan sepatah atau dua patah kata pendek. Bisa jadi sang suami sudah mulai kehabisan stok kata di ujung lidahnya. Tetaplah tersenyum dan sabar ya.
Nah, terkait akan datangnya bulan Ramadhan yang mulia, mungkin perbandingannya akan tetap sama walau jumlah kata-kata yang keluar menurun sedikit. Akan lebih baik jika jenis kata-kata yang keluar dari mulut kita lebih terpilih rasa bahasanya, lebih padu susunan katanya, lebih jernih makna yang dikandungnya, dan pastikan diberi intonasi yang lebih menunjukkan kasih sayang. Dengan demikian, kualitas puasa Ramadhan kita kali ini akan meningkat pesat ke arah puasa hakikat, seperti yang senantiasa dilirihkan oleh Hadad Alwi.
Post a Comment