Sahabat, mari sejenak kita berandai-andai bahwa kita sedang mengerjakan tes psikologi atau tes lain semacam itu. Saya menuliskan beberapa “situasi” yang, mungkin, pernah kita punyai. Situasi-situasi tersebut memerlukan respon kita. Contoh, “Ketika saya berkendara dan ada pengendara lain yang memotong laju kendaraan saya, maka saya ..” Pada contoh itu, tugas kita adalah melengkapi bagian “..” dan kita mungkin mengisinya dengan “..., maka saya marah-marah dan nyumpahin pengendara itu.” Nah, sekarang kita ambil waktu sejenak untuk melengkapi situasi-situasi yang ada di bawan alinea ini. Santai saja. Syarat terpenting untuk mengisinya adalah “jujur” – jujur kacang ijo, jujur ayam, jujur manado atau jujur lainnya boleh, asal jujur.
Bila saya terjebak macet dalam perjalanan ke tempat kerja, maka saya ...
Bila anak “membantah” perintah saya, maka saya ...
Ketika istri saya lupa mencuci baju kerja yang saya inginkan, maka saya ...
Ketika suami saya anak-anak “membuat” rumah berantakan, maka saya ...
Sudahkah semua situasi itu kita lengkapi dengan beberapa respon yang biasa kita pilih?
Sudah? Terima kasih.
Bila (catatan: bila bisa diganti dengan ketika, dalam hal, manakala, dan lain sebagainya).., maka saya .. adalah sebuah pola perilaku kita. Dari waktu ke waktu kita selalu menghadapi “situasi” yang kemudian kita respon dengan sebuah “aksi” atau “reaksi” – yang ini sepertinya lebih sering. Mulai pola kecil seperti dalam hal bangun pagi, saya biasa bangun pukul 5 sampai pola yang lebih besar seperti ketika menghadapi masalah yang pelik, saya stress. Baik pola kecil, sedang, maupun besar, semua “bekerja sama” membentuk hidup yang kita jalani sampai sekarang ini. Betul sekali! Simpel-nya kita bisa mengatakan bahwa hidup kita adalah hasil dari bangun pagi jam berapa, reaksi kita ketika orang memotong laju kendaraan kita, tindakan kita ketika istri lupa membuatkan kopi, sampai respon kita dalam menghadapi masalah.
Demikian banyak pola-pola yang kita punyai dari waktu ke waktu sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa pola-pola itu ada. Tentang hal itu, kita telah menjadi seperti ikan. Ikan tidak pernah tahu – saya cukup yakin tentang ketidak-tahuan ini walaupun saya belum pernah mewawancarai ikan – apa itu air yang sejatinya adalah “dunia” mereka. Ketidak-tahuan para ikan tidak bisa mengubah fakta bahwa air adalah substansi yang vital bagi hidup mereka. Kebelum-tahuan kita akan pola-pola yang kita jalani, tidak mengubah fakta bahwa adalah hal yang utama dalam membentuk hidup kita.
Dalam “membentuk” hidup, kita tidak serta merta mengerti cara dan melakukannya. Manusia adalah pengamat yang hebat. Mengamati burung menjadi inspirasi penciptaan pesawat terbang. Mengamati ikan menjadi ide pewujudan kapal selam. Mengamati mahluk cakep membuat kita .. eits keterusan! Pengamatan juga yang kita lakukan ketika “belajar membentuk” hidup. Kita mengamati orang tua kita, orang-orang di lingkungan kita, mengamati tontonan televisi, mengamati berita Koran, dan pengamatan-pengamatan yang lain. Semua itu mempengaruhi kita dalam merespon suatu situasi. Semua itu mempunyai kontribusi dalam pembentukan pola-pola kita.
Ketika belajar di sekolah, para pengajar sering memberi tahu kita mana contoh baik dan mana contoh buruk. Kita, kemudian, bisa memberi label “ini” contoh baik, “itu” contoh buruk. Berbeda dari ketika belajar di sekolah, ketika mempelajari pola-pola kita cenderung mencontoh tanpa peduli buruk atau baik hasil dari pola itu. Karena orang tua sering membentak ketika kita, dianggap, melakukan kesalahan, kita belajar membentak. Karena lingkungan kita amati sering menyalahkan orang lain ketika mengalami kemalangan, kita juga melakukan hal yang sama. Kita seakan mesin photocopy yang berjalan. Kita seperti tidak mempunyai pilihan. “Orang tua saya, saudara saya, sahabat saya, teman saya, rekan kerja saya, semua melakukan itu.” Begitu dalih yang kita punyai.
Benarkah kita tidak mempunyai pilihan?
Mungkin benar bagi yang menyatakan benar. Pasti salah bagi yang mengatakan salah. Menurut saya, kita merasa punya pilihan atau tidak, yang jelas kehidupan yang lebih baik dari saat ini tentu merupakan sesuatu yang kita mau. Kehidupan yang kita jalani saat ini adalah hasil dari pola-pola kita. Ini artinya bila kita memang ingin memperbaiki hidup kita – secara keseluruhan atau hanya beberapa aspek saja – maka kita perlu mengubah pola kita. Bila yakin kita tidak punya pilihan, pastikan bahwa kita TIDAK BISA TIDAK memilih untuk mengubah pola agar hidup kita lebih baik. Pastikan kita tidak punya pilihan lain selain berubah. Untuk kita yang percaya bahwa kita mempunyai pilihan dalam hidup ini, silahkan MEMILIH untuk mengubah pola. Gampang bukan?
Ya, kita bisa mengubah pola-pola kita bila kita ingin memiliki “bentuk” hidup yang lain, yang lebih baik tentunya. Sebelum menentukan untuk mengubah pola, tentunya kita harus terlebih dahulu melakukan observasi terhadap pola-pola mana yang tidak efektif dalam hidup kita. Sebagai contoh, coba amati apakah pola ketika anak saya membuat rumah berantakan, maka saya akan menjewer dan mengomel itu baik hasilnya? Efek positif apa yang kita dapat dari pola itu? Efek negatif apa yang bisa timbul? Total jendral – jendral kancil, jendral Nagabonar, dan jendral lainnya – lebih besar mana efeknya? Bila memang lebih besar efek negatifnya, pola ini sebaiknya memang perlu kita ubah.
Cara mengubah pola ternyata tidak rumit. Kita hanya perlu mengubah respon kita saja dan pola itu akan berubah. Coba lihat contoh berikut ini.
“Ketika saya berkendara dan ada pengendara lain yang memotong laju kendaraan saya, maka saya marah-marah dan nyumpahin pengendara itu.” Bagian bergaris bawah adalah respon kita. Itu yang harus kita ubah.
“Ketika saya berkendara dan ada pengendara lain yang memotong laju kendaraan saya, maka saya tersenyum dan berdoa agar saya dilindungi dari marabahaya lain di jalan.” Pada kalimat kedua ini respon sudah kita ubah. Hore!
Ada cara pendukung yang penting juga untuk kita lakukan agar kita bisa lebih mudah dalam mengubah pola-pola yang tidak produktif atau tidak efektif dalam hidup kita. Cara pendukung itu adalah menentukan satu set sikap yang merupakan identitas “diri terbaik” kita. Tentukan sikap-sikap apa yang harus kita punyai ketika kita menjadi diri kita sendiri yang paling baik, paling bermanfaat, paling produktif.
Nugroho Nusantoro adalah service culture trainer yang .. , ayah yang .., suami yang .., anak yang .., dan seterusnya. Dengan mengisi “..” setelah peran-peran yang saya jalani dengan sikap terbaik saya maka saya bisa menemukan satu identitas “puncak” bagi kehidupan saya. Ini sangat membantu saya untuk mengembangkan pola yang lebih produktif.
Perhatikan ilustrasi berikut.
Nugroho Nusantoro adalah service culture trainer yang sangat menguasai materi. Identitas ini membantu saya melengkapi pola bila saya memimpin satu pelatihan, maka saya mempersiapkan serta mempelajari materi dengan baik.
Satu lagi contoh.
Bapak Budi membaca Koran di dapur – eeh ngelantur! Bapak Budi adalah seorang motivator ranking satu di Asia Tenggara. Itu identitas Bapak Budi. Dengan identitas seperti itu, pola apa kira-kira yang akan terbentuk melalui respon dalam situasi ini: bila seseorang menyapa, “Apa kabar Pak Budi?”, maka saya ...” Mungkinkah Bapak Budi mempunyai pola bila seseorang menyapa, “Apa kabar Pak Budi?”, maka saya jawab dengan lemes dan datar-datar saja? Ga mungkinlah! Tidak cocok dengan identitas yang beliau sandang.
Itulah cara identitas membantu kita dalam memperbaiki pola. Segera miliki identitas-identitas yang memberdayakan. Hindari identitas yang ga jelas , letoy atau yang destruktif. Silahkan nikmati artikel-artikel atau Facebook note saya untuk lebih memahami tentang identitas ini.
Kembali tentang mengubah pola.
Mengubah pola memang sangat mudah. Ubah respon kita terhadap satu situasi, maka pola akan berubah. Di sisi lain, diperlukan upaya lebih dalam mendorong agar diri kita MAU mengubah suatu pola. Setelah itu, “perjuangan” harus kita lakukan untuk mempertahankan serta mempraktekkan pola baru yang lebih produktif. Sebagai seorang service culture trainer, saya sangat perlu mempunyai kompetensi di bidang kecerdasan emosional - yang di dalamnya terdapat skill dan alat untuk mengubah pola-pola – sehingga saya mengambil sertifikasi (Six Seconds, 2008) di bidang kecerdasan emosional ini. Walaupun saya mempunyai kualifikasi kecerdasan emosional, saya juga masih harus belajar dan terus berupaya, bahkan dengan tingkat kesulitan yang menantang, untuk mengenali dan mengubah pola-pola yang tidak produktif dalam hidup saya. Intinya, mengubah pola memang memerlukan proses serta determinasi. Bila kita sanggup melakukannya – karena memang sangat mungkin dilakukan – maka “bentuk” kehidupan kita, secara keseluruhan maupun aspek-aspek tertentu saja, akan mengalami peningkatan yang luar biasa. Peningkatan inilah yang bisa kita jadikan pendorong agar kita MAU mengubah pola-pola kita.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin bertanya apakah kita tahu apa yang dilakukan seekor lalat ketika ia jalur terbangnya terhalang kaca. Betul! Dia akan terus dan terus menggerakkan sayapnya dan berusaha menembus kaca tersebut. Tentu tindakan itu sia-sia. Semakin keras ia mencoba, semakin tenaganya terkuras tanpa hasil. Lalat tidak pernah mau mengubah pola. It’s okay. Itu terjadi pada lalat dan lalat memang tidak bisa membaca artikel-artikel seperti ini. Sangat wajar kalau ia ngotot tidak mau mengubah pola. Nah! Kita sudah membaca artikel ini, artikel yang membahas tentang mengubah hidup melalui perubahan pola, masa ia kita seperti lalat sih?
Selamat mengamati, menemukan, dan mengubah pola-pola yang perlu diperbaiki.
Nugroho Nusantoro