Membaca sejumlah tulisan saya mengenai resep sukses, seorang kawan mengirimkan sandek alias sms ke telepon seluler saya. Bunyinya demikian : “Halo Bung. Tulisan Anda seputar kiat sukses banyak menginspirasi saya. Akhirnya saya menyadari bahwa penting sekali memahami cara menyingkirkan keyakinan negatif, ketakutan berlebihan, dan kebiasaan yang menghambat perkembangan saya. Ibarat mengendarai mobil sambil menginjak rem, berbagai rintangan dapat memperlambat kemajuan saya. Saya perlu belajar melepaskan pedal rem, atau saya akan sering mengalami kehidupan sebagai perjuangan dan gagal mencapai impian hidup, cita-cita, atau target saya. Terima kasih sudah menyapa kehidupan saya. Teruslah menulis.” (Namanya sandek, kok malah panjangnya sampai 557 karakter, termasuk spasi. Mungkin namanya harus diubah menjadi sanjang alias pesan panjang hahahaha).
Wah, mendapat sandek yang demikian, kepala saya jadi agak membesar. Rupanya ada juga—tentu saja pasti ada—yang terinspirasi dengan gagasan-gagasan sederhana yang saya bagikan di berbagai forum dan media. Bagi seorang pembelajar sekolah kehidupan yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk menyebar harapan kepada banyak orang—lewat berbagai seminar, pelatihan, dan tulisan—tanggapan semacam itu sungguh seperti siraman air yang menyegarkan.
Kesegaran batin dari tanggapan kawan tersebut terutama bukanlah karena ia berterima kasih pada saya. Untuk hal yang satu ini, saya punya banyak pengalaman. Hampir dalam setiap kesempatan berbagi pesan-pesan kehidupan, sejumlah orang berterima kasih pada saya. Dan saya pun, dalam banyak kesempatan, berterima kasih kepada mereka atas undangan dan kesempatan menyampaikan pesan-pesan itu secara lisan maupun menyapa mereka lewat tulisan. Jadi, soal saling berterima kasih itu adalah hal biasa.
Kalau ada kawan-kawan yang agak berlebihan dalam menyampaikan terima kasihnya, saya tak jarang mengingat-kan bahwa kalau mau jujur, dalam hidup ini kita menjadi murid dan guru sekaligus. Tidak benar bahwa saya sebagai narasumber, sebagai trainer, sebagai pembicara motivasi, sebagai fasilitator pembelajaran, atau sebagai penulis, selalu dalam posisi pengajar atau guru. Lewat proses mengajar, memotivasi, memandu proses pembelajaran, atau menulis, saya juga sekaligus belajar. Tidak benar kalau hanya orang-orang yang mendengarkan dan membaca tulisan saya saja yang belajar kepada saya. Saya pun, dengan cara saya, menarik pelajaran dari tanggapan-tanggapan mereka.
Ibarat setiap atasan yang membutuhkan bawahan dalam bekerja (atau sebaliknya), demikianlah pembicara dan penulis membutuhkan audiens pendengar dan pembacanya. Hubungan di antara keduanya bersifat resiprokal, timbal balik. Jadi, sangatlah wajar jika masing-masing menunjukkan rasa terima kasih dengan cara-cara tersendiri. Yang menyegarkan batin saya dari sandek kawan satu ini bukan terima kasihnya, melainkan isi sandeknya yang merupakan resep sukses tersendiri.
Untuk mudahnya, resep sukses kali ini saya sebut Faktor R alias rem.
Faktor Rem ini mencakup tiga komponen penting, yakni: pertama, menyingkirkan keyakinan negatif; kedua, mengatasi ketakutan berlebihan; dan ketiga, membuang kebiasaan yang menghambat perkembangan. Ketiga komponen ini bersifat menghambat laju gerak langkah meraih sukses. Dan ketiga komponen ini biasanya justru saling terkait, saling terhubung, tidak berdiri sendiri.
Keyakinan negatif cenderung menimbulkan ketakutan berlebihan dan kemudian melahirkan kebiasaan buruk. Atau ketakutan yang berlebihan mendorong munculnya kebiasa-an buruk yang menyuburkan keyakinan negatif. Bisa juga kebiasaan yang buruk membuat orang takut secara berle-bihan dan keyakinannya menjadi negatif. Pendek kata, ketiga komponen itu memiliki hubungan “persahabatan” yang karib.
Bagaimana mengatasinya? Sederhana: lepaskan. Rem itu fungsinya memang mengurangi kecepatan. Jadi, kalau ingin menambah kecepatan, lepaskan rem dan injak pedal gas. Praktisnya bagaimana?
Pertama, bangun keyakinan yang melawan hal itu. Bangun keyakinan bahwa setiap keyakinan adalah produk dari pemrograman pikiran; dan apa saja yang bisa kita program, bisa kita program ulang (re-programming, re-learning, re-framing). Melakukan afirmasi, self-direction-talk, mengulang-ulang kalimat positif dalam batin, bisa dicoba. Misalnya, “semua masalah pasti ada solusinya” atau “dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan” yang diucapkan ratusan kali tiap hari.
Kedua, cobalah untuk bertindak nekat ke arah yang positif. Nekat ke arah yang positif itu perlu. Dan nekat itu artinya “mengurangi pertimbangan yang membuat kita menunda-nunda sesuatu yang hendak dilakukan”. Ini penting bagi sejumlah orang—karena terlalu cerdas dan banyak pengetahuannya—sering menjadi peragu dan suka menunda. Pada hal kalau arahnya sudah jelas positif, demi kemajuan, ya tabrak saja dulu. Jangan kalah sama preman yang bertindak cepat dalam kejahatan. Banyak kawan yang pernah nekat ketika membeli mobil pertama dan rumah pertama. Sebab kalau hitung punya hitung, takut terus jadinya. Eh, sudah nekat malah jadi lebih mudah sukses.
Ketiga, ganti kebiasaan buruk dengan yang baik, bukan menghilangkan kebiasaan buruk. Sebab kita ini adalah “mahluk kebiasaan”, sehingga menghilangkan kebiasaan bisa lebih sulit ketimbang menggantinya dengan yang lain.
Terakhir, saya harap tidak ada yang percaya sebelum menerapkan gagasan di atas. Coba praktikkan, dan lihat apa yang terjadi.
*) Andrias Harefa
__._,_.___
Posted by: Riris Theresia Siahaan <proaktif.riris@gmail.com>
Post a Comment