“..Dunia ini begitu rapuh…”
“..Lalu., mengapa masih mengeluh..?”
“..karena saya juga sangat rapuh..”
Sang penanya hanya menghela nafas panjang sambil pandangan matanya menerawang jauh ke arah keramaian sudut ibukota kerajaan Hastinapura. Sang penanya ini adalah seorang yang tua, wajahnya sayu, tatapan mata wibawa, dengan alis mata, kumis dan jenggot tipis yang kelihatan memutih. Memakai pakaian seorang bangsawan, membawa tongkat sebagai penopang sebelah kakinya yang terlihat cacat lebih pendek. Dialah yang dikenal sebagai penasehat agung kerajaan Hastinapura, bernama Arya Widura.
Sementara orang yang mengeluh adalah seseorang yang sangat terlihat baru saja terbangun dari tidur dan melewatkan malam dengan mabuk berat. Kantung mata cekung, mata memerah, bau tuak minuman keras masih menyengat keluar dari mulutnya. Merebahkan tubuhnya di sandaran sebuah tempat minum-minum para kerabat kerajaan. Porak poranda bekas suasana pesta tadi malam masih terlihat. Sang pemuda yang mengeluh ini memakai mahkota seorang pangeran yang miring melorot, busana kerajaan yang terlihat lusuh dan compang-camping. Dia adalah putra semata wayang sang pemegang tahta -atau setidaknya begitulah akunya- kerajaan Hastinapura, Raden Duryudana. Pemuda ini sendiri bernama Lesmana Mandrakumara.
Seorang muda yang dari kecil bergelimang harta dan dimanja, terutama oleh paman-pamannya para Kurawa. Membuatnya tumbuh dan berkembang tidak seperti layaknya seorang laki-laki dewasa. Pada usianya yang menjelang kepala tiga itu, sifat kekanak-kanakan masih terlihat.
Tapi pagi itu, Arya Widura yang tiba-tiba berdiri didepannya, membuatnya mau tak mau segan, dan berusaha bersikap dewasa. Berusaha untuk malu atas kelakuannya. Sambil seperti pura-pura kikuk. Tapi tetap saja yang keluar dari mulutnya adalah sebuah keluhan dan selalu menyalahkan keadaan apa yang diluar dirinya…
“..paman-paman sayalah yang membuat saya demikian..!” teriak Lesmana. Paman-paman yang dimaksud adalah para Kurawa. Mereka para Kurawa memang selalu memanjakan Lesmana, berjudi, mabuk-mabukan, main wanita, adalah kegiatan kesehariannya. Arya Widura tetap berdiri terdiam dengan tatapan mata wibawa menerawang jauh.
“..rama Duryudana juga keliru..! dia selalu mengungkung saya di istana! Tidak pernah saya merasakan hebatnya berkuda, berlatih pedang hanya di dalam istana melawan punggawa yang pura-pura..!” lanjut Lesmana.
Widura hanya terdiam, tapi kali ini sorot mata wibawanya memandang tajam ke arah kedua mata Lesmana. Membuat Lesmana kali ini grogi betulan. Tidak hanya sekedar pura-pura..
“..Sampai kapan kamu akan berlaku demikian, cucuku..?” terdengar suara berat dan tajam dari mulut Widura. Kata-kata yang tampaknya sederhana tapi terlihat membuat Lesmana gemetaran. “..Sampai kapan kamu akan menyalahkan keadaanmu, mengutuki takdirmu, menyalahkan orang-orang disekitarmu atas keadaanmu..!” lanjut Widura. “..Ketahuilah, cucuku.., hanya dirimulah yang mampu merubah keadaanmu, hanya dari dirimu sendirilah yang bisa berkata tidak dan melepaskan semua yang tidak baik dari dirimu untuk bangkit berdiri mulai melakukan hal-hal yang terpuji..”
Ya,.. ketika kita ingin berubah, hanya diri kita sendirilah yang seharusnya menjadi agen perubahan itu. Tidak perlu menunggu perintah orang lain, tidak perlu menunggu keadaan memungkinkan, tidak perlu menunggu saat yang tepat. Katakan tidak, sekarang juga! Bila ada orang menawarkan suap. Tidak perlu gengsi untuk memulai membuang sampah hanya pada tempatnya, adalah salah satu misal. Legenda mencatat bahwa Lesmana ternyata tidak mampu juga merubah dirinya bahkan sampai ajal menjemputnya. Tidak ada yang ditinggalkannya, kecuali rasa sesal semua orang atas keberadaannya.
Sebelum tiba waktu kita, hanya sekaranglah kesempatan kita untuk berubah. Saya suka yang pernah diutarakan Aa Gym, Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal-hal kecil, dan mulailah dari saat ini..
Pitoyo Amrih
Post a Comment