oleh: DR. Dwi Suryanto (www.pemimpin-
Jam 1 malam tahun baru 2009. Saya merancang (dalam otak saya) apa saja yang ingin saya kerjakan di tahun 2009. Pikiran saya melayang bahwa di tahun 2009 saya akan merancang program ambisius seperti menulis buku lagi, mengembangkan usaha, menghafal Qur'an dan banyak lainnya.
Tanggal 1, 2 Januari 2009, hari Libur. Apa yang kita lakukan ketika hari libur? Ya berlibur, paling tidak 'leyeh-leyeh' (duduk santai) di depan tv. Atau duduk di muka rumah memandangi kucing-kucing liar pada berseliweran cari makan.
Rencana-rencana tadi? Ya, ada yang dilaksanakan, dan banyak yang tidak dilaksanakan. Menulis buku? Masih berupa koleksi riset dan jurnal yang tersimpan rapi dalam harddisk. Menghafal Quran? Ya tadi teringat lagi ketika merenung di masjid pada waktu jumatan.
Menurut teman-teman saya, saya termasuk orang yang produktif…(kata mereka lho). Tapi lihat betapa banyak hal yang saya tunda-tunda. O ya, inginnya ada program mengaji untuk anak-anak saya setiap malam rabu, di mana saya sebagai uztadz-nya, toh hingga saat ini masih rencana, masih wacana.
Ketika pengalaman saya ini saya cocokkan dengan pengalaman teman-teman saya, hasilnya sama saja. Nampaknya inilah 'penyakit kronis' kita sebagai bangsa manusia…
Para ahli psikologi seolah berlomba menemukan sebab mengapa kita sering menunda-nunda. Dari kajian terhadap struktur otak ternyata tidak ditemukan adanya 'jembatan' yang menghubungkan antara apa yang kita rencanakan dan apa yang akan kita laksanakan.
Nasehat mereka sangat sederhana. Jika anda sering menunda-nunda, jangan kecil hati. Itu semacam 'kesalahan kecil' (glitch) pada desain otak kita. Ini sekali lagi adalah problem spesies.
Agar kita tidak menunda-nunda, buat sarana pengingat yang membantu kita. Contoh, agar kita bisa bangun malam jam 2 (untuk tahajud, misalnya), pasang jam beker (atau weker). Jika pakai satu tidak bangun, pakai dua beker.
Ada kisah dua orang psikolog yang seperti kita, sering terpikat dengan iklan-iklan alat olah raga. Begitu mereka melihat betapa tubuh-tubuh indah memainkan alat itu dengan gembira, mereka akhirnya memutuskan untuk beli alat itu.
Satu minggu, dua minggu, alat itu dipakai dengan giat. Tiga minggu, hanya dipakai seminggu dua kali. Satu bulan, dua bulan, alat itu merana dirubung debu karena tidak pernah dipakai lagi…
Terpancing iklan lagi. Mungkin terpikir, "Wah alat kemarin itu membosankan, kalau yang ini pasti lebih enak, lebih sip, jadi kita bisa beli lagi…" Mereka akhirnya beli lagi alat yang baru, dan alat itu hanya dipakai kurang dari dua bulan…
Ketika mereka (suami istri) sedang jalan-jalan, tiba-tiba mereka melihat anjing yang cantik (atau manis lah). Mereka ingin beli anjing itu. Tapi penjualnya berkata, "Anjing ini memang bagus, tapi dia harus tiap hari dibawa jalan, kalau tidak dia akan sering sakit…"
Singkat cerita, anjing tadi dibeli dan di bawa ke rumah mereka. Pagi-pagi yang dingin, enaknya hanya pakai sarung (pakai pajama kalau mereka, barangkali). Ketika mereka melihat anjing itu yang duduk lesu, naluri penyayang binatang mereka tumbuh. "Ayo kita ajak anjing kita jalan-jalan pagi," ajak si suami pada istrinya.
Dengan pelan mereka berjalan. Esok harinya mereka jalan lagi. Setelah satu minggu anjing itu kadang berlarian. Karena tidak tega melihat anjingnya menyeret-nyeret tuannya, akhirnya mereka berlari.
Tanpa terasa mereka bisa berlari setiap hari, tanpa alat olah raga yang mahal…cukup mengikuti anjing saja.
Para psikolog di Jerman yang dipimpin oleh Sean McCrea dari the
Bagi rekan-rekan yang ahli NLP, termasuk murid-murid dari Tony Robbins pasti tahu mengapa terjadi penunda-nundaan itu…
Psikolog Jerman itu memberi tugas kepada para mahasiswa melalui email. Satu kelompok diberi tugas sederhana seperti disuruh membuka rekening tabungan di bank universitas. Ketika mereka membuka rekening bank, mereka disuruh melaporkan tanggal rekening, apa saja prosedur yang harus dilakukan oleh penabung dan sebagainya. Intinya, tugas itu sederhana dan mudah dilakukan.
Kelompok lain diberi tugas lebih menantang, misalnya disuruh menganalisis watak-watak orang yang menabung di bank itu, termasuk sifat-sifat pegawai bank yang melayani dan sebagainya.
Kepada mereka diberi waktu selama tiga minggu. Jangan lupa, kepada mereka juga diberikan uang jika melakukan tugas itu…
Mereka menunggu dan menunggu. Akhirnya, mahasiswa yang melaporkan lebih cepat adalah yang diberi tugas yang lebih jelas. Sedangkan yang tugasnya abstrak, relative lebih lama, lebih menunda-nunda. Bahkan ada yang tidak mengumpulkan tugas itu.
Setelah diuji statistic, hasilnya memang terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok satu dengan kelompok dua.
Sepintas ini amatlah sederhana. Namun dari percobaan itu kita bisa tarik kesimpulan bahwa kita cenderung menunda-nunda jika kita persepsikan tugas itu sebagai abstrak, sulit, dan menyakitkan. Dengan menunda kita berharap nanti toh juga akan bisa selesai. Kenyataannya, tugas-tugas tadi sering terlantar…
Kesimpulannya, ketika kita menargetkan tugas atau kerja tertentu, sebaiknya kita perinci menjadi jelas langkah-langkahnya. Ini pula pentingya memberi tugas yang jelas kepada bawahan. Semakin jelas, semakin mereka ingin menyelesaikannya. Tugas yang rumit, kompleks, akan mendorong mereka untuk menunda-nunda…
Menurut pengalaman saya, saya lebih suka pakai jam untuk membatasi agar diri saya tidak 'ngeloyor' ke mana-mana. Contoh, dalam waktu setengah jam, saya harus baca satu buku sedapatnya. Selama belum mencapai setengah jam, saya paksa diri saya untuk tetap membaca. Alhamdulillah, kok metoda itu sukses…
Ketika menulis artikel ini, saya paksa diri saya duduk dan mengetik selama 30 menit, dan nyatanya jadi juga naskah ini.
Selamat 'memerangi' penundaan…
Post a Comment