"Biggest question: Isn't it really 'customer helping' rather than customer service? And wouldn't you deliver better service if you thought of it that way?"
Jeffrey Gitomer
Pada masa sekarang ini sudah banyak perusahaan yang menyadari pentingnya melayani pelanggan dengan baik. Di sisi lain, ternyata belum cukup banyak perusahaan yang KOMPETEN melayani pelanggan. Ya. Mengerti dan kompeten adalah dua hal yang berbeda. Mengerti cara mengendarai mobil (secara manual) berarti mengerti bahwa pertama mobil perlu dihidupkan dengan memutar kunci. Kemudian orang tersebut mengerti dimana posisi pedal kopling, rem, serta gas dan tongkat pemindah gigi. Setelah mesin menyala, kopling harus diinjak, roda gigi harus dipindahkan dengan mendorong tongkat pemindah gigi serta kemudian perlahan menginjak gas sambil melepaskan kopling. Itu mengerti cara mengendarai mobil. Kompeten dalam hal itu berarti orang tersebut bisa mempraktekkan semua dengan baik dan lancar dalam kondisi berkendara di jalan.
Semalam saya melakukan perjalanan
Di pintu ruang tunggu saya mencoba klarifikasi perihal delay tersebut pada salah satu staff maskapai itu. Saya perhatikan bahasa tubuhnya. Ketika dia menjawab pertanyaan saya, saya tidak melihat tanda-tanda keinginan membantu pelanggan – salah satu dasar penting customer service – sama sekali. Mimik wajahnya tidak ramah dan dia tidak memandang ke arah saya. Ya. Tidak ada eye contact sama sekali. Jawabannya juga tidak memuaskan ketika saya menanyakan apakah pesawat saya memang delay, “Belum tahu”.
Membawa perasaan ‘tidak enak’ saya masuk ke ruang tunggu. Ternyata saya harus menunggu sampai pukul 20.00. Selama saya menunggu, hanya ada sekali pemberitahuan dari corong pengeras suara. Apakah itu cukup? Dari segi informasi ‘mungkin’ ya, cukup. Dari segi customer service rasanya bisa dilakukan hal yang lebih. Contoh, salah seorang staff bisa saja memasuki ruang tunggu dan memberitahukan informasi ini langsung, lengkap dengan bahasa tubuh yang empatik, kepada para penumpang. Bisa juga kemudian ditawarkan snack plus segelas minuman atau bahkan sekedar permen untuk teman menunggu. Yang perlu diingat disini adalah: bukan snack, minuman, atau permennya yang penting – semua itu bahkan sebenarnya terlalu kecil dibanding kerugian waktu para penumpang pesawat - tetapi niat membantu dan empati pada pelangganlah yang penting. Snack, minuman atau permennya hanya simbol belaka.
Pukul 20:00 penumpang diperbolehkan memasuki pesawat walaupun, akhirnya, pesawat baru take off menjelang pukul 21:00. Di dalam pesawatpun pramugari yang menyambut kami di dalam pesawat hanya memberikan hal yang sangat tidak ‘customer service’, menurut saya. Mereka hanya memberikan senyuman yang sangat terkesan ‘artificial’ alias hanya melaksanakan SOP. Lalu seperti apa hal yang lebih ‘customer service’ pada saat itu? Berikan senyum dan bahasa tubuh yang menyiratkan empati sembari mengucapkan permintaan ma’af atas delay tadi. Bila memang itu dianggap tidak memungkinkan, paling tidak kapten pesawat atau pramugari senior bisa meminta ma’af melalui pengeras suara. Itu akan jauh lebih baik daripada sekedar welcoming para penumpang dengan informasi standar – yang sebenarnya sudah pre-recorded – seakan mereka adalah penumpang yang tidak mengalami delay sama sekali.
Hal-hal yang saya ungkapkan di atas bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Saya bisa mengungkapkan semua itu bukan karena saya pernah memimpin departemen pelatihan di satu perusahaan hospitality. Semua itu akan menjadi mudah bila pelaku customer service mulai memahami bahwa customer adalah manusia, human, dan manusia itu ‘digerakkan’ oleh emosi. Jadi customer service yang manusiawi adalah human service yang sanggup menyentuh customer dalam level emosional dan, bahkan, spiritual.
Selamat customer service.
Nugroho Nusantoro – HUMAN Trainer
Post a Comment