by poedjiati tan
Syadan ada seorang raja yang ingin sekali memahami tiga hal penting dalam kehidupan ini. Siapa orang terpenting, kapan waktu terpenting dan pekerjaan apa yang terpenting? Sang Raja berusaha mencari tahu namun belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya. Akhirnya ia mendengar tentang seorang pertapa mandara sakti dan Raja memutuskan untuk bertanya kepada pertapa tersebut. Sayangnya sang pertapa tidak sudi meninggalkan pertapaannya di tengah hutan, dan juga tidak hendak menemui raja, ataupun bangsawan, maka pergilah sang Raja dengan menyamar sebagai orang biasa.
Sesampainya di gubuk pertapa, Raja tidak menemukan orang yang ingin ditemuinya itu, ia lalu duduk-duduk beristirahat di depan gubuk itu sambil menunggu si pertapa kembali. Tetapi hingga hari menjelang senja Pertapa itu belum kembali juga dan Raja merasa sangat lelah. Ia lalu merebahkan diri di atas dipan kayu untuk beristirahat. Entah berapa lama Raja tertidur hingga lamat-lamat ia mendengar langkah kaki bergegas disusul suara keras terpentangnya pintu. Raja melompat bangun. Ternyata Pertapa datang sambil memanggul seorang lelaki yang tampaknya terluka parah.
"Ayo, bantu aku, orang ini terluka parah dan kehabisan banyak darah, bila tidak cepat ditolong ia akan mati." Kata Pertapa itu.
Raja segera membantunya membaringkan orang yang terluka parah itu ke atas dipan. Ia lalu merobek jubahnya untuk membalut luka menganga di perut orang itu.
“Aku akan mencari daun-daun obat di hutan untuk menghentikan pendarahan orang ini.” Pertapa itu menghilang ke balik pintu. Tak lama kemudian ia kembali dengan seikat daun obat, setelah dibasuh dengan air, ia menyuruh Raja menempelkan ke atas luka orang itu. Setelah berusaha semalaman Raja dan Pertapa berhasil menghentikan pendarahan orang itu dan keadaan kritis berlalu. Karena kelelahan Raja lupa maksud kunjungannya dan jatuh tertidur di atas lantai di samping dipan. Demikian pula halnya Pertapa.
Tiga hari kemudian lelaki yang terluka parah itu sadarkan diri. Ketika ia melihat siapa yang sedang merawat luka-lukanya, ia kaget bukan main, lupa akan sakit dan luka-lukanya ia berusaha bangun untuk berlutut. Tetapi Raja berusaha mencegahnya dan memaksanya tetap berbaring.
"Tuan Raja, terima kasih telah menyelamatkan nyawa hamba dan merawat hamba selama hamba pingsan. Tapi jikalau Tuanku tahu siapa diriku, Tuan pasti tidak sudi menolongku." Kata lelaki itu lemah.
"Hm, siapakah engkau ini?" Tanya Raja dengan sikap waspada. "Dan bagaimana kau tahu aku adalah raja negeri ini?"
"Tentu saja hamba tahu, sebab hamba mengikuti Tuan dari luar tembok istana. Mengetahui Tuan akan melakukan perjalanan menuju hutan dengan menyamar, hamba melihat kesempatan baik untuk...untuk...membunuh Tuan."
Raja sangatlah terkejut mendengar pengakuan itu. "Siapakah kau dan mengapa kau ingin membunuhku?"
"Hamba adalah pangeran dari negeri yang telah Tuan taklukkan, karena sakit hati, hamba telah lama mencari-cari kesempatan membalas dendam. Tapi pagi itu tanpa hamba duga serombongan pengawal Tuan diam-diam mengikuti dan mereka mencurigai gerak-gerik hamba lalu menyerang hingga hamba menderita luka parah. Mungkin mengira hamba telah mati, mereka membiarkan hamba tergeletak di atas tanah. Untunglah ada Pertapa yang menolong hamba, dan juga Tuan Raja. Nah, hamba telah mengakui berterus-terang, jika Tuan Raja ingin menghukum hamba, lakukan saja."
Setelah merenung beberapa saat Raja menjawab: "Hm. Selama tiga hari tiga malam aku merawat dan menungguimu. Selama itu kau menjadi orang terpenting dalam kehidupanku. Kau ingin membalas dendam karena perbuatanku terhadap keluarga dan kerajaanmu, aku malah menyelamatkan nyawamu.”
"Dan selama merawatmu itulah waktu yang paling penting dan pekerjaan merawatmu itupun sesungguhnya pekerjaan yang paling penting. Akhirnya aku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiranku.”
Mendengar ucapan Raja, lelaki itu menangis terharu. Sejak itu ia takluk dan menjadi pengawal Raja yang setia.
***
Cerita di atas saya sadur dari buku Leo Tolstoi. Karena saya sangat suka, saya tidak hanya menceritakannya kembali dengan versi berbeda. Namun juga menjadikannya filosofi. Ketika membacanya pertama kali beberapa tahun silam, saya menyadari pelajaran mendalam di balik cerita ini yang juga didukung banyak value (nilai) yang saya yakini benar.
Banyak dari kita tidak pernah benar-benar hadir pada saat ini untuk benar-benar bersama orang di samping kita dan tidak benar-benar fokus melakukan pekerjaan kita. Pikiran kita mengembara ke dunia penuh tanya: kapan sih waktu terpenting, apakah kemarin, besok atau pada saat kita sedang merasa puas dengan diri? Kita tertarik ke saat yang belum terjadi dan tersedot ke masa lampau. Tanpa menyadarinya, sebenarnya kita hanya berputar-putar di sekeliling saat sekarang. Melelahkan, bukan?
Apa sih pekerjaan atau perkara terpenting, apakah menikah, membuat keputusan penting, memenangkan pertandingan olahraga atau mendirikan perusahaan, menyapu lantai atau menggosok wc? Hah, sebenarnya kita hanya tidak puas dengan diri sendiri dan berusaha melarikan diri. Berusaha melalaikan tanggung-jawab. Kita termakan kejenuhan dan kebosanan. Melelahkan bukan?
Ya, orang akan mengakui bahwa, ketidakmampuan mencintai pekerjaannya sungguh tidak baik, tapi tetap saja mereka mengeluh panjang lebar—pekerjaannya adalah pekerjaan terburuk di dunia—dan tidak ada seorang pun memahami betapa buruknya! Hari ini saya membaca beberapa baris kutipan yang dituliskan dalam Man of Honor bahwa, Wiliam Soeryadjaya adalah seorang pencipta lowongan pekerjaan, sebab pekerjaan itu sangat penting. Pekerjaan membuat orang mendapatkan eksistensi dan harga diri. Dan membuat saya teringat kembali tulisan setengah jadi ini. Jadi kalau pekerjaan memberi kita eksistensi dan harga diri, rasanya sungguh tidak pantas mengeluh tentang pekerjaan kita.
Guru saya yang lain, almarhumah Ching Ning Chu menulis dalam bukunya yang termasyur: Tick Face Black Heart: “Kita yang membutuhkan pekerjaan dan bukan sebaliknya. Sepaham dengan pernyataan di atas, pekerjaan merupakan sesuatu yang penting dan tidak sekedar memberi nafkah tapi membantu kita eksis, tumbuh-kembang dan bermakna. Maka bukan pula tugas “pekerjaan” membuat kita nyaman dan mampu menikmatinya, melainkan kitalah yang harus berinisiatif, secara terus-menerus menemukan cara terbaik melakukan pekerjaan kita.
Lalu siapakah orang terpenting dalam kehidupan kita masing-masing. Ketika merenungkan ini saya merasa trenyuh. Ketika kita masih belia dan sangat membutuhkan orangtua kita, maka mereka adalah orang terpenting. Lalu kita tumbuh dewasa, menjadi orang-orang hebat—tidak membutuhkan siapa-siapa sebab kita telah menguasai dunia—kita meninggalkan orangtua. Kita jatuh cinta kepada seseorang. Tapi sebenarnya kita tidak mencintai orang itu. Kita hanya menyukai beberapa hal yang menjadi refleksi keinginan kita. Tanpa sadar kita ingin menguasai dan memiliki orang itu. Kemudian kita memiliki keluarga kita sendiri, anak-anak menjadi milik yang berharga, tapi mereka akan tumbuh dewasa kemudian meninggal kita, mereka bukan milik kita.
Kita bertemu dengan orang-orang hebat seperti guru, sahabat dan orang-orang yang menginspirasi kita. Tanpa sadar kita memuja mereka, tapi yang penting bukanlah apa yang kita puja, tapi yang lebih penting adalah altarnya—refleksi keinginan kita untuk menjadi seperti mereka.
Jadi, saya bertanya kepada diri sendiri—versi saya. Siapa yang paling penting dalam hidup saya? Jawabannya tidak pernah muncul kecuali di saat saya bisa menyingkirkan semua orang penting dari pikiran, menyingkirkan segala hal penting dan memberikan semua perhatian hanya pada orang yang sedang bersama saya, berinteraksi dengan saya. Mudahkah? Tidak! Sebab tidak selalu kita bersama orang yang kita sukai, yang penting dan yang memiliki semua yang kita inginkan. Seperti cerita di atas, seorang pembunuh!
Namun tidak mudah bukan tidak mungkin. Membaca bukunya “The Mandala of Being” dari Richard Moss saya sebenarnya sebenarnya menyadari bahwa, saat ini, orang ini dan perkara ini merupakan tiga serangkai tak terpisahkan. Mandala berarti lingkaran dalam bahasa Sanskerta, dan jika kita dapat berada di pusat dari lingkaran itu kita tak perlu terikat kepada hal-hal di luar lingkaran itu. Waktu lampau, masa depan, objek dan subjek semuanya penting dan tidak penting. Dengan begitu kita tetap dapat berbahagia ketika kita bersama orang-orang lain ataupun sendirian. Kita tidak lagi meratapi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Hidup hanya saat ini! The power of NOW!
Post a Comment