Oleh: Andrias Harefa
Paul G. Stoltz. Pernah dengar nama itu? Adversity Quotient. Pernah dengar istilah itu?
Lalu, apa hubungan keduanya? Kalau Anda belum pernah mendengar atau membaca tentang keduanya, ijinkan saya beritahu. Adversity Quotient adalah judul buku yang ditulis oleh Paul G.Stoltz tahun 1997, sekitar dua tahun setelah dunia digoncangkan oleh publisitas Emotional Quotient-nya Daniel Goleman. Dan setelah itu, sejumlah penulis menawarkan berbagai jenis "quotient" lainnya; dengan atau tanpa penelitian yang mendalam.
Apa terjemahan yang tepat untuk Adversity Quotient (AQ) ini? Kecerdasan mengatasi kesulitan, kecerdasan mengubah masalah menjadi berkah, dan kecerdasan adver-sitas adalah beberapa "terjemahan" yang digunakan kawan-kawan di Indonesia. Adversity sendiri punya sinonim nasib buruk, kemalangan, kesulitan, masalah, dan sejenisnya. Jadi, upaya menerjemahkan kata itu cukup sah buat saya. Namun untuk kepentingan tulisan ini, mari kita gunakan saja singkatannya: AQ.
Salah satu tiang utama penopang teori AQ adalah asumsi bahwa "kejadian atau peristiwa tidak penting, namun tanggapan atau respons terhadap kejadian akan menentukan masa depan". Kejadian yang menimpa diri Anda tidak penting, tetapi bagaimana dan apa tanggapan Anda atau kejadian tersebut bersifat menentukan.
Contoh pertama: Atasan memarahi Anda karena laporan yang tidak akurat (kejadian). Lalu, Anda membenci dan menganggapnya kejam (tanggapan). Akibat atau hasilnya, hubungan Anda dengan atasan memburuk dan karier Anda terancam. Atau kejadian yang sama Anda tanggapi dengan melakukan instropeksi, berusaha memperbaiki kinerja, dan minta maaf atas ketidaktelitian Anda; maka, akibatnya hubungan Anda terperbaiki dan karier Anda tidak terancam.
Contoh kedua: Anda mendapatkan warisan dari orangtua sebesar lima miliar rupiah (kejadian). Lalu, Anda menggunakannya untuk membeli mobil mewah dan liburan keluar negeri—ke Amerika selama dua seminggu, ke Eropa selama dua minggu, dan ke Australia selama seminggu—sesuai dengan cita-cita yang sudah lama Anda impikan (tanggapan). Hasilnya, warisan Anda ludes dalam sekejap. Atau, warisan yang sama Anda gunakan untuk membeli reksadana saham sebagai persiapan pensiun senilai dua setengah miliar; satu setengah miliar berikutnya Anda tabung dalam bentuk reksadana campuran untuk dana pendidikan ke universitas untuk tiga anak Anda yang sekarang berangkat remaja; sepuluh persennya Anda sumbangkan untuk amal dan sedekah anak yatim; sepuluh persen yang terakhir Anda gunakan untuk renovasi rumah, deposito dana darurat, dan sebagainya. Hasilnya, anak-anak lebih terjamin pendidikannya dan Anda siap menjemput masa pensiun kelak dengan gembira.
Contoh ketiga: kekasih yang sangat Anda cintai, meninggalkan Anda untuk menikah dengan teman karib Anda (kejadian). Lalu, Anda merasa terhina, kemudian melabrak mereka berdua dan melukai wajah mereka berdua. Hasilnya, Anda ditangkap polisi dan diproses hukum hingga masuk penjara. Atau kejadian yang sama Anda tanggapi dengan bersyukur, menganggap bahwa mungkin itu juga berkah terselubung dari Tuhan. Anda bahkan datang ke perkawinan mereka dan mendoakan mereka dengan ikhlas agar menjadi pasangan yang berbahagia. Hasilnya, Anda tenang untuk melangkah dan mencari pasangan baru pengganti kekasih tersebut.
Dalam tiga contoh di atas ada rumus bakunya, yakni: Kejadian + Tanggapan = Hasil (K+T=H). Dan hasil dari proses percengkeramaan "kejadian" dengan "tanggapan" itu lebih banyak ditentukan oleh "tanggapan" Anda atau "kejadian"; bukan didikte oleh "kejadian" itu sendiri. Anda bisa membuat atau mengolah setiap kejadian agar menjadi "kutuk" atau menjadi "berkah"; Anda bisa membuat peristiwa apapun menjadi pemicu untuk maju, atau penghancur semangat juang; Anda bisa membuat perlakuan-perlakuan orang yang tidak adil menjadi pemicu untuk bersikap adil, memperjuangkan keadilan, mengabdikan diri sebagai penegak hukum yang sungguh-sungguh, atau perlakuan yang tidak adil itu justru Anda ijinkan untuk menghancurkan motivasi untuk hidup dan berkarya.
Sungguh kita patut tak henti bersyukur bahwa Tuhan menciptakan kita semua (manusia) sebagai mahluk dengan kemampuan memberikan tanggapan-tanggapan secara kreatif. Output yang dihasilkan oleh manusia tidak selalu sama dengan input, karena kita bukan mesin produksi dipabrik sepatu. Kemalangan, dukacita, kesengsaraan, musibah, dan bencana, bisa kita tanggapi dengan konstruktif, beriman, berimajinasi, rekonstruksi memori, berpikir logis dan bertindak taktik, sehingga kemudian muncullah keriangan, suka cita, damai sejahtera, kebajikan, kearifan, dan sebagainya. Batas-batas kreativitas itu bahkan belum sepenuhnya bisa terpetakan oleh para periset dan cendikiawan yang pernah hidup sampai hari ini. Itu sebab berbagai kejadian yang paling buruk sekalipun bisa memunculkan inspirasi dan karya luar biasa dalam sejarah.
Apakah dengan memahami resep sukses bahwa K+T=H akan membuat Anda sukses? Itu saya tak berani jamin. Sebab bukan resep sukses ini yang penting; melainkan bagaimana sebuah resep sederhana macam begini Anda praktikkan gegap gempita dalam hidup, itulah yang paling menentukan. Dan kalau menggunakan cara berpikir AQ, maka resep sukses kali ini tidak lebih dari kejadian (K), sedangkan tanggapan (+T) Anda atas resep sukses inilah yang justru lebih menentukan hasilnya (=H).
Jadi, bagaimana tanggapan Anda kali ini?
Post a Comment