Joe Torre mungkin disebut sebagai hati dan jiwa tim bisbol New York Yankees. Sebagai manajer tim bisbol yang memenangkan kembali kejuaraan seri dunia pada tahun 1999, Torre dianggap bisa mengasuh jiwa para pemainnya bila mereka mengalami tekanan emosional yang sangat besar yang diakibatkan oleh semangat untuk memenangkan kejuaraan. Di dalam pekerjaan yang seringkali dipenuhi oleh contoh buruk kemarahan yang tidak terkendali dan ketidakpekaan, Torre muncul sebagai perkecualian, ia menjadi contoh kompetensi kerja kelompok dan kolaborasi.
Contohnya dalah ketika mereka merayakan kemenangan mereka dilapangan, segera setelah pertandingan final tahun 1999. Torre mencari pemain tertentu untuk dipeluknya, terutama Paul O;Neill, yang ayahnya baru saja meninggal dunia usia 79 tahun. Meskipun baru saja menerima berita kematian ayahnya, O'Neill memilih untuk tetap bermain dalam pertandingan yang menentukan di malam itu dan tangisnya meledak pada saat pertandingan berakhir. Kemudian, dipesta kemenangan di markas mereka, Torre mengangkat perjuangan pribadi O'Neill dan memujinya sebagai "seorang pejuang".
Torre juga mencari dua pemain lain keduanya telah kehilangan anggota keluarga selama musim pertandingan. Salah satunya adalah Scott Brosius, yang selama beberapa bulan sebelumnya telah berulangkali dipuji oleh Torre karena bersedia tetap bersemangat bekerja di dalam tim meskipun ia mengkhawatirkan ayahnya yang sedang sakit parah. Akhirnya, Torre memanfaatkan perayaan kemenangan itu untuk mendukung dua pemain yang kontraknya terancam tidak diperpanjang untuk musim kompetisi tahun depan. Ia menonjolkan dan memuji kedua pemain itu untuk menunjukkan kepada bosnya, yaitu pemilik klub, bahwa mereka terlalu berharga untuk dilepaskan.
Untuk diketahui, Torre bukan orang lemah: Jika diperlukan ia bisa tegas menegur. Tetapi ia juga terbuka tentang perasaannya sendiri kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ketika saudara laki-lakinya hampir meninggal ketika menunggu operasi tranplantasi jantung, Torre tidak menyambunyikan kekhawatirannya, ia membagi kecemasannya kepada para pemain sama seperti ketika ia sendiri menjalani perawatan ketika menderita kanker prostat pada musim semi sebelum timnya memenangkan kejuaraan.
Saling membagu emosi secara terbuka ini adalah salah satu ciri gaya kepemimpinan afiliatif, yang dicontohkan oleh Torre. Pemimpin seperti ini juga menghargai orang-orang dan perasaan-perasaannya tidak terlalu menekankan pencapaian hasil dan tujuan, dan lebih menekankan kebutuhan emosi pegawai. Mereka berusaha untuk membuat orang-orang senang, menciptakan harmoni, dan seperti yang telah dilakukan dengan sangat baik oleh Torre untuk membangun resonansi tim.
Meskipun kurang efektif sebagau pembangkit motivasu langsung terhadap kinerja, gaya afiliatif ini memiliki dampak positif yang luar biasa pada iklim emosi kelompok. Dalam hal mendorong perbaikan didalam segala hal, gaya ini hanya sedikit dibelakang gaya visioner dan pembimbingan. Misalnya, dengan menghargai pegawai sebagai manusia, menawarkan dukungan emosional selama masa-masa sulit dalam kehidupan pribadinya, pemimpin ini membangun kesetiaan besar dan menguatkan ikatan.
Kapan gaya afiliatif ini tepat doterapkan? Dampak positifnya membuat gaya ini cocok untuk membangun resonansi pada semua situasi, tetapi terutama perlu diterapkan ketika pemimpin berusaha meninggikan harmoni tim, meningkatkan moral, memperbaiki komunikasi, atau memperbaiki kepercayaan yang pernah putus di dalam sebuah organisasi.
Banyak budaya yang sangat menghargai ikatan pribadi yang kuat, menjadikan pembangunan relasi sebagai syarat mutlak hubungan bisnis. Pada sebagian besar budaya Asia juga Amerika Latin dan beberapa negara Eropa pembentukan relasi yang kuat adalah syarat bisnis. Langkah ini akan muncul secara alami pada pemimpin yang menunjukkan gaya afiliatif.
Sumber: PRIMAL LEADERSHIP, Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi; Daniel Goleman
Post a Comment